Kamis, 09 Oktober 2008

MEMPERTAHANKAN KESUCIAN RUHANI

Oleh: Ahmad Tafsir


Telah kita tinggalkan Ramadlan. Bulan pensucian ruhani. Pada hari ini kita semua memikul beban berat untuk mempertahankan kesucian itu. Selama sebulan Tuhan menyaksikan kita bangun dini hari. Alangkah malangnya bila setelah hari ini Tuhan melihat kita tidur lelap bahkan melewati waktu subuh. Selama Ramadlan bibir kita selalu basah dengan dzikir, do’a, dan kalimat-kalimat al-Qur`an. Alangkah malangnya bila setelah Ramadlan bibir ini digunakan untuk menggunjing, memfitnah, mencaci maki dan menghujat. Selama Ramadlan kita melaparkan perut dari makanan yang halal di siang hari. Apakah kita rela setelah itu memenuhi perut kita dengan makanan dan minuman haram. Pada bulan Syawwal dan seterusnya ini kita akan diuji apakah kita termasuk di antara orang yang terus mampu mensucikan diri, berdzikir, shalat, beramal shaleh, atau tetap saja mendahulukan dunia. Apakah kita termasuk orang yang tazakka wa dzakarasma rabbihi fashalla (al-A’la:14-15) atau termasuk orang yang tu`tsirunal hayatad dunya (al-A’la:16).
Ramadlan adalah hari-hari latihan kesucian ruhani, pasca Ramadlan adalah hari-hari mempertahankannya.
Dalam mempertahankan kesucian itu memang ada yang kita khawatirkan. Kita patut berhati-hati menjaga diri menghadapi hari-hari pasca Ramadlan ini. Nabi pun, sekalipun ia telah dijamin kesempurnaannya oleh Allah, sering merintih memohon penjagaan, “Tuhan, jangan tinggalkan aku sendirian sekejap mata pun.” Itu karena beliau tahu betapa sulitnya mempertahankan kesucian itu.
Kita patut cemas menghadapi hari-hari pasca Ramadlan. Dalam salah satu sabda Rasul saw disebutkan bahwa ada dua macam orang yang berpuasa itu, pertama yang mendapat pengampunan, dan yang kedua yang hanya mendapat lapar dan dahaga. Kata nabi selanjutnya “Alangkah sedikitnya orang yang shaum dan alangkah banyaknya yang hanya memperoleh lapar dan dahaga.” Kita cemas jangan-jangan kita termasuk yang kedua.
Apakah kita termasuk orang yang shaum? Jawabannya ialah apakah kita berhasil menjadi orang yang taqwa dan itu dibuktikan oleh sikap dan prilaku kita pada pasca Ramadlan.
Tatkala akan memasuki Ramadlan kita sering sekali mendengarkan ulasan para ulama tentang ayat 183 surat al-Baqarah yang artinya:
Wahai orang-orang beriman diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu menjadi orang taqwa.
Ayat ini menegaskan tentang kewajiban puasa pada bulan Ramadlan dan tujuan atau faedah puasa Ramadlan.
Sekarang kita sudah selesai melaksanakan ibadah puasa yang sangat berat itu untuk tahun ini. Apakah kita masih akan bertemu dengan Ramadlan tahun depan? Allahu a’lam. Apakah kita berhasil menjadi orang taqwa sebagaimana yang dimaksud oleh ayat al-Qur`an itu? Mari kita dalami beberapa ciri orang taqwa yang terdapat didalam ayat al-Qur`an surat Ali ‘Imran ayat 133-135.
Berdasarkan ayat al-Qur`an di atas dapat diketahui sebagian ciri orang taqwa sebagai berikut.
Pertama, menginfaqkan sebagian hartanya baik dalam keadaan banyak hartanya maupun dalam keadaan sedikit.
Mungkin Anda mengira pasti orang yang banyak hartanya akan lebih mudah menginfaqkan hartanya, karena hartanya banyak. Dugaan orang awam, yang sedikit hartanya tentulah sulit menginfaqkan hartanya, ya, karena hartanya hanya sedikit. Tetapi, kenyataannya tidaklah demikian. Justru orang-orang kaya itulah yang kebanyakannya sulit mengeluarkan infaq. Dalam prosentase, lebih banyak orang yang tidak kaya yang sanggup menginfaqkan hartanya. Aneh? Tidak aneh. Karena semakin kaya seseorang akan semakin banyak kekurangannya. Sementara itu orang yang tidak kaya lebih mudah merasakan kebutuhan orang miskin. Cobalah Anda ingat-ingat tamu Anda selama ini. Sebagian tamu Anda orang kaya, sebagian launnya tidak kaya. Siapa di antara mereka yang paling banyak mengeluh tentang hartanya, keuangannya, atau perusahaannya? Siapa di antara mereka yang kelihatan lebih banyak kekurangannya? Menurut pengalaman saya orang kayalah yang paling banyak mengeluh dan paling banyak kekurangannya. Itulah sebabnya maka orang tidak kayalah lebih mudah menginfaqkan hartanya ketimbang orang kaya.
Kedua, mampu menahan ajakan nafsu amarahnya. Nafsu amarah ialah nafsu yang selalu mengajak berbuat jahat. Ini dijelaskan dalam surat Yusuf ayat 53 yang artinya Sesungguhnya nafsu (amarah) itu selalu menyuruh berbuat jahat. Itu sudah jelas karena itu firman Allah. Yang membingungkan kita ialah mengapa akal sehat kita seringkali kalah oleh ajakan nafsu.
Sering kita mengalami keganjilan yang tidak kita pahami, mengapa sesuatu perbuatan yang sudah kita ketahui salah kok kita lakukan juga, tidak jarang berulang-ulang. Kita lakukan suatu kesalahan, lantas kita menyesal; anehnya besok atau lusa perbuatan yang sama kita ulangi lagi, lantas menyesal lagi,tetapi segera diulangi lagi. Apa apa pada diri kita ini? Ada apa pada diri kita ini? Pernahkan Anda merenungkannya? Mengapa demikian? Pertanyaan kita terjawab oleh surat Yusuf ayat 53 itu. Rasulullah saw menegaskan bahwa perang paling besar ialah perang menghadapi nafsu (amarah) kita sendiri.
Tatkala puasa kita benar-benar dilatih, selama sebulan, mengendalikan nafsu amarah tersebut. Wajarnya, hasil latihan sebulan itu telah mencukupi untuk memberikan kemampuan menahan nafsu selama sebelas bulan yang akan datang ini, sampai bertemu dengan Ramadlan yang akan datang.
Ketiga, memaafkan kesalahan orang lain. Dalam keadaan normal, manusia tidak mungkin menyimpan kesalahan orang lain karena hal itu akan menjadi beban kejiwaannya. Orang yang mendendam, menyimpan kesalahan orang lain, pasti membenci orang yang dianggap bersalah padanya, memiliki rasa benci itu merupakan penyakit jiwa. Jadi, orang yang menyimpan kesalahan orang lain, secara psikologis, adalah orang yang tidak sehat. Karena itu secara normal, tidaklah mungkin seseorang menyimpan keslahan orang lain. Sekali lagi, dalam keadaan normal, begitu orang dianggap bersalah kepada kita, langsung saja kita maafkan, waktu itu juga. Bahkan tanpa ia meminta maaf, demi kesehatan jiwa kita sendiri.
Namun, kenyataannya lain. Bodohnya kita, kita tidak memaafkan kesalahan orang kepada kita, sekalipun ia sudah meminta maaf kepada kita. Bodohnya kita, kita menyiksa diri sendiri, dengan sadar kita menanam penyakit dalam jiwa kita. Tidaklah mengherankan Islam mengajarkan agar kita sesegera mungkin memaafkan kesalahan orang lain kepada kita. Tetapi, manusia memang aneh. Ia enggan memaafkan dan lebih enggan lagi meminta maaf. Dalam sebuah hadis diakui juga sifat manusia yang umum itu. Dalam hadis itu masih dibolehkan kita menyimpan dendam paling lama tiga hari, setelah itu wajib kita saling memaafkan.
Sulit seseorang memaafkan, lebih sulit lagi meminta maaf. Mengapa? Karena pada manusia itu ada harga diri. Ini baik. Harga diri memang perlu. Tetapi, di sini, harga diri itu disalahartikan. Sebetulnya dengan meminta maaf tidaklah mengurangi harga diri, bahkan sebaliknya akan menambah harga diri, karena hanya orang yang berjiwa besarlah yang bersedia lebih dahulu meminta maaf. Jadi, hal meminta maaf itu adalah hal yang umum, sepanjang masa, di mana saja, bukan hal khusus di hari baik bulan baik ini saja.
Umumnya dalam masyarakat kita, kita saling memaafkan pada hari idulfitri seperti ini, padahal sebenarnya kita harus saling memaafkan sepanjang masa di mana saja. Bagaimana kalau kesalahan pada seseorang dilakukan pada bulan Syawwal, dan menunggu minta maaf di bulan Syawwal yang akan datang? Bukankah kita dengan sengaja menyimpan penyakit selama setahun?
Tetapi baiklah, mungkin kita masih terlalu awwam, artinya sifat kemanusiaan kita masih terlalu dominan, artinya rasa harga diri kita dalam arti yang keliru tadi masih terlalu menonjol, sehingga kita malu meminta maaf. Okelah, pada bulan idul fitri inilah waktu yang paling baik untuk meminta maaf. Kalau begitu hari idulfitri juga berarti hari penyembuhan penyakit jiwa. Dalam acara halal bi hala ini minta maaflah, mungkin di luar acara ini rasa malu tadi akan dominan lagi.
Ada pertanyaan, mengapa sih pada hari idulfitri ini lebih mudah meminta maaf dan memberi maaf? Ini dapat dibahas secara khusus.
Keempat, bila melakukan kesalahan ia ingat kepadaTuhan dan segera minta ampun kepadaNya dan tidak mengulangi perbuatannya itu. Perbuatan salah kepada manusia dapat dimaafkan oleh manusia, perbuatan salah kepada Tuhan harus meminta ampun kepada Tuhan.
Kita ini sering sekali menzalimi diri kita sendiri. Salah satu contohnya ialah di atas tadi, kita menyimpan kesalahan orang lain kepada kita, padahal kita tahu seharusnya kita langsung memaafkan bila ada orang bersalah kepada kita demi menjaga kesehatan diri kita sendiri. Akal manusia seringkali kalah oleh nafsu amarahnya. Contoh kedua juga telah disebut di atas tadi, yaitu malu meinta maaf bila kita bersalah. Padahal normalnya kita tidak perlu malu sebab hal itu tidaklah menurunkan harga diri kita bahkan menaikkan.
Di dalam ayat al-Qur`an di atas tadi disebutkan metodenya. Dengan mengingat Allah maka kita akan mampu segera memaafkan kesalahan orang kepada kita dan akan mampu pula minta maaf bila kita bersalah. Dikatakan “dengan mengingat Allah” bukan dengan mengingat siapa kita, apa kedudukan kita, atau berapa tinggi harga diri kita. Karena mengingat siapa kita, apa posisi kita, harga diri kita, maka kita tidak mampu segera memaafkan kesalahan orang lain kepada kita dan juga tidak sanggup minta maaf bila bersalah. Ingatlah, Tuhan dalam ayat itu mengatakan bahwa perbuatan salah itu adalah perbuatan yang menzalimi diri sendiri.
Infak merupakan salah satu cara untuk mengatasi kesenjangan antara kaya dan miskin, yang merupakan masalah utama yang kita hadapi sekarang. Menahan nafsu amarah, dapat dijadikan peredam nafsu membuat kerusuhan. Memaafkan kesalahan orang lain dapat meredam kesenangan menghujat orang lain. Dzikrullah dapat memperkuat ikatan dengan Tuhan.
Marilah kita kuatkan tekad untuk melestarikan hasil-hasil Ramadlan yang baru lalu. Tetapkan niat kita bahwa kita ingin terus menuju kesempurnaan dengan cara mengikuti ketentuan Allah dan rasulNya.

2 komentar:

ReganaPOIN mengatakan...

sangat menyentuh...

ReganaPOIN mengatakan...

ya lah prof...