Kamis, 09 Oktober 2008

KORUPSI SEBAGAI PENYAKIT JIWA

Oleh: AhmadTafsir

Siapa yang tidak mengenal kata korupsi? Kata ini amat terkenal akhir-akhir ini. Kata inilah yang menjadi salah satu penyebab utama krisis yang menghimpit kita sekarang.
Gampang sekali orang membuat perkiraan si A melakukan korupsi. Sering kita mendengar orang berkata “Saya tahu jumlah pendapatannya setiap bulan, ia tidak merangkap pekerjaan lain, saya tahu gaji pokoknya. Kok ia kaya sekali? Pasti ia melakukan korupsi.” “Saya tahu gaji bupati, saya tahu ia tidak memiliki tambahan lain, tapi kok hidupnya mewah sekali, pasti ia korupsi.” Begitulah ocehan yang sering kita dengar. Korupsi memang ada sekalipun sulit dibuktikan. Berikut sedikit analisis tentang korupsi.

Bagaimana Cara Melakukan Korupsi?
Sebenarnya korupsi itu sangat sulit dilakukan karena korupsi tidak pernah dilakukan sendirian. Korupsi harus dilakukan bersama orang atau pihak lain. Korupsi pasti dilakukan oleh sekurang-kurangnya dua orang. Selalu ada kolusi dalam tindak korupsi.
Kolusi juga tidak mudah dilakukan. Kolusi akan mudah dilakukan bila ada teman dekat dan teman dekat itu biasanya didasari sesuatu hubungan, mungkin hubungan darah, sebahasa, sekampung, secita-cita, atau lainnya. Kolusi dengan teman dekat inilah yang disebut nepotis.
Urutan korupsi itu kira-kira sebagai berikut: korupsi -- kolusi -- nepotis. Ketiganya ini tidak dapat dipisahkan. Yang inti adalah korupsi. Itulah sebabnya KKN itu cukup diwakili kata korupsi saja atau kata korupsi maknanya ialah KKN.
Berdasarkan urutan pemikiran itu kita dapat membuat kesimpulan: memberantas KKN ialah memberantas korupsi; bila korupsi hilang maka kolusi dan nepotis pada hakikatnya akan hilang. Berdasarkan pemikiran itu kita dapat pula membuat kesimpulan lain: kolusi dan nepotis sebenarnya tidak berbahaya asal saja tidak diikuti korupsi.

Obyek Korupsi
Bila kita mendengar kata korupsi segera saja pikiran kita melayang pada setumpuk
uang atau benda berharga lainnya. Sebenarnya korupsi itu obyeknya tidak selalu uang atau materi berharga. Obyek korupsi dapat juga berupa kedudukan atau harga diri. Berikut ini pembahasan dibatasi pada korupsi dengan obyek uang atau benda berharga.
Dapatkah korupsi diberantas? Ada yang dapat dengan mudah ada yang sangat sulit. Korupsi yang wajar mudah diberantas, sedangkan korupsi yang tidak wajar sangat sulit diberantas. Memangnya ada korupsi yang wajar dan ada yang tidak wajar? Ya, berikut ini keterangannya.

Dua Macam Korupsi
Korupsi wajar ialah korupsi yang logis, artinya, korupsi itu dilakukan dengan alasan logis atau wajar. Seorang guru telah berdinas dua puluh tahun. Setahun lagi ia akan pensiun, cicilan rumah sederhana (RS)nya belum lunas, masih 4 tahun lagi. Ia amat membutuhkan uang untuk melunasi RSnya, bila ia pensiun ia tidak akan mampu menyisihkan uang pensiunnya untuk meneruskan cicilannya. Ia amat membutuhkan. Ini adalah alasan logis. Seolah-lah ia berkata “Saya terpaksa korupsi sekali ini saja, sesudah itu saya akan tobat, tobaaat.” Inilah korupsi yang wajar, yaitu korupsi yang logis, menurut pandangan logika, bukan menurut pandangan agama. Korupsi yang wajar ini amat mudah diberantas.
Korupsi yang sangat sulit diberantas ialah korupsi yang tidak wajar, yaitu korupsi yang tidak mempunyai alasan yang logis. Menurut logika ia tidak boleh melakukan korupsi, tetapi kenyataannya ia lakukan. Tentu aneh. Ya, memang aneh. Itulah sebabnya kita sebut korupsi tak wajar. Mungkin Anda tidak percaya ada orang korupsi tidak wajar. Saya katakan kepada Anda “Anda harus percaya, karena justru korupsi model inilah yang banyak.”
Ada seseorang yang memiliki jabatan yang bagus, gajinya besar, kadang-kadang disedikan berbagai fasilitas untuknya, pendapatan di luar gaji (dan sah) cukup besar, ditambah mendapat warisan yang lumayan. Walhasil ia dapat disebut orang kaya. Tapi ia melakukan korupsi juga. Ini tidak wajar. Ini tidak logis. Ada dua alasan untuk mengatakan itu tidak wajar.
Pertama, tidak wajar, karena untuk apa ia melakukan korupsi? Perlu rumah, rumah sudah ada; perlu mobil, mobil sudah ada; perlu deposito, deposito sudah ada; ia tidak kekurangan materi. Tetapi ia korupsi? Mengapa? Di sini ada rahasia, nanti saya bongkar rahasia itu.
Kedua, tidak wajar, karena ia mengetahui bila korupsinya diketahui (terbongkar) ia akan malu besar. Orang akan berkata “Terlalu, sudah begitu kaya kok masih korupsi.” Orang lain berkata “Hewan saja hanya mengambil sesuai kebutuhan, tak tahu malu.” “Apa ia tidak kasihan pada isteri, anak-anak dan keluarganya?” kata yang lain.
Korupsi ini tidak wajar dilakukannya karena ia pun tahu bila terbongkar kedudukannya akan terancam, ia mungkin dipecat bahkan mungkin ke pengadilan dan dipenjara. Orang akan berkata “Sayang sekali, sudah begitu kaya kok korupsi, akhirnya dipenjara.” Yang lain berkata “Kan sayang, beliau kan tokoh yang dipuji-puji, beliau orang terkenal.”
Kesimpulannya amat jelas bahwa korupsi tak wajar itu adalah korupsi tanpa alasan yang logis, justru alasannya akan sangat merugikan dan membahayakan. Ia tidak membutuhkan, ia tahu itu berbahaya. Tetapi yakinlah Anda justru korupsi yang tidak wajar inilah yang banyak terdapat. Aneh kan?

Korupsi sebagai Penyakit Jiwa
Bagi orang yang telah cukup mendalam mempelajari manusia, perangai seperti itu tidaklah dianggapnya aneh. Itu biasa. Bagaimana penjelasannya? Inilah penjelasan tentang rahasia yang saya sebutkan sebelum ini.
Korupsi yang tidak wajar itu sebenarnya sulit sekali dilakukan karena tidak ada alasan (baik secara psikologis maupun logis) untuk melakukannya. Kalimat itu berlaku bagi orang normal, orang sehat secara psikologis. Korupsi yang tidak wajar itu hanya mungkin dapat dilakukan oleh orang yang tidak normal, yaitu orang yang secara psikologis sakit. Karena ia sedang sakit, maka ia lakukan juga sekalipun tidak logis. Orang yang secara psikologis sakit memang sering melakukan tindakan yang tidak logis. Sesuatu yang salah bagi orang sehat dapat saja dianggap benar oleh orang sakit. Sama halnya orang yang demam malaria, gula dirasakannya pahit, sebenarnya gula itu manis bagi orang sehat. Inilah rahasia itu.
Apa ada orang berbuat tanpa alasan sama sekali? Sebenarnya tidak ada. Lalu, orang yang melakukan korupsi tidak wajar itu apa sebenarnya alasannya? Tadinya saya tidak tahu alasannya, tetapi setelah saya membuka-buka al-Qur`an saya temukan alasan itu dalam surat al Humazah. Di situ dikatakan (ayat 1-2) “Celaka besar pengumpat dan pencela, pengumpul harta dan menghitung-hitungnya.” Pada kata “menghitung-hitungnya” itulah pemecahan rahasia tadi.
Mengapa ia korupsi, padahal ia tidak kekurangan sesuatu apapun, padahal ia tahu itu sangat berbahaya? Ia sedang sakit jiwa. Sakitnya ialah senang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Jika hartanya berkurang maka penyakitnya akan memberikan penderitaan kejiwaan padanya; jika sebulan hartanya tidak bertambah, maka ia merasakan penderitaan. Katakanlah ia memiliki 5 mobil, lantas hilang satu, ia akan amat menderita, sekalipun ia masih punya 4 mobil. “Mengapa harus menderita?” kata Anda, “Toh ia masih punya 4?” Itulah penyakitnya. Yang menyebabkan ia merasakan penderitaan itu ialah penyakitnya itu, bukan mobil yang hilang itu. Tadinya ada 5 dalam hitungannya, setelah hilang tinggal 4 dalam hitungannya. Hitungan yang mengecil itulah penyebab penderitaan.
Penyakit jiwa jenis ini memang aneh. Kesenangannya menghitung-hitung: “Sawahku sekian hektar di sana, kaplingku sekian puluh di situ, mobilku sekian buah, depositoku sekian juta, dan seterusnya. Ia senang menghitung-hitung. Bila seminggu atau sebulan (tergantung beratnya penyakit) hartanya tidak bertambah, maka ia akan merasakan penderitaan yang bersangatan. Penderitaan itu dapat berupa kegelisahan, dada berdebar-debar, gampang marah, sulit tidur, kurang nafsu makan, kurang bergairah terhadap isteri. Harta tidak bertambah dalam sebulan. Inilah sebabnya ia nekat melakukan korupsi sekalipun ia tahu itu sangat berbahaya, akan mendatangkan malu, akan dicopot dari jabatan, bahkan akan masuk penjara. Ia seolah-olah berkata dalam hatinya, “Biar aku malu, biar aku dicopot, peduli amat anak-anakku, biar aku dipenjara, tak apa-apa, asal penderitaanku sekarang berkurang.” Apa penderitaannya? Setelah seminggu atau sebulan, setelah dihitung-hitung hartanya tidak bertambah. “Tidak bertambah” itulah yang menjadi penyebab penderitaan. Dia itu ditekan, dipaksa, oleh penyakitnya itu, untuk melakukan korupsi. Inilah penjelasan dari Allah. Maha benar Allah. Terima kasih Allah, tadinya saya tidak tahu penjelasannnya, dari firmanMu itulah aku memperoleh penjelasan.

Penyembuhan
Lalu, bagaimana penyembuhannya? Penyembuhannya sangat sulit karena yang bersangkutan tidak mengetahui bahwa ia sedang sakit, ia justru menganggap kelakukannya itu baik. Ini gejala umum pada penderita penyakit jiwa. Bahkan sering kali orang sakit jiwa
mengatakan dokternya itulah yang sakit, bukan dia.
Karena korupsi tak wajar itu merupakan salah satu bentuk penyakit jiwa mungkin Anda langsung menebak “Psikologlah yang dapat menyembuhkan.” Tetapi apa yang akan dilakukan oleh psikolog? Ia hanya akan mengatakan “Kau kalau mau sembuh berhentilah menghitung-hitung harta.” Saya dapat pastikan psikolog itu tidak akan berhasil menyembuhkanya. Karena apa? Karena orang itu tidak tahu bahwa sedang ia sakit. Ia justru membanggakan penyakitnya itu. Ia akan berkata “Mengapa saya dilarang menghitung-hitung harta saya”? Tetapi bila psikolog itu dapat meyakinkannya tentang perlunya tobat, lantas memperkuat iman, maka ia akan sembuh.
Koruspi, sebenarnya hanya dapat dilakukan oleh orang yang akhlaknya rendah, orang yang berakhlak mulia, minta ampuun, tidak akan sanggup melakukannya. Akhlak rendah itu disebabkan oleh iman yang lemah. Karena itu perkuatlah imannya. Konsep inilah seharusnya yang diresepkan oleh psikolog itu.
Memperkuat iman itu dapat dilakukan dengan cara mendekatkan diri kepada Allah. Bagaimana mendekatkan diri kepada Allah? Cara paling cepat dekat dengan Allah ialah: Menjadi dermawan, tidak menyakiti orang Islam, puasa sunat, dzikir dan wirid. Tetapi sebelum itu lakukanlah perintah-perintah wajib.
Mengapa penyakit itu sembuh bila kita dekat dengan Allah? Bila kita dekat dengan Allah maka sebagian sifat Allah itu akan melekat pada kita. Sama halnya bila kita dekat api unggun maka sifat panas api sebagiannya akan menular atau pindah dan melekat pada kita. Bila kita menjauh dari api maka sifat panas itu akan menghilang, karena itu kita harus selalu dekat dengan Allah.
Bila sifat Allah itu sebagian (tentu sebagian amat kecil) melekat pada kita tentu sifat kita pun akan mirip sifat Allah. Allah mengutuk korupsi, maka kita pun akan mengutuk korupsi. Bila telah mengutuk tentu sembuh.

Tidak ada komentar: