Kamis, 09 Oktober 2008

PERLUKAH MATA PELAJARAN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH?

Oleh: Ahmad Tafsir



Orang-orang Yunani Lama mengatakan bahwa tugas filosof yang paling utama ialah mendidik manusia agar menjadi manusia. Maksudnya, agar manusia itu memiliki kemanusiaan yang lebih tinggi. Ada derajat-derajat kemanusiaan. Ada orang yang memiliki derajat kemanusiaan yang tinggi, ada yang sedang dan ada yang rendah. Amanat ini diulangi lagi oleh Nietzsche lebih kurang 2500 tahun kemudian dengan mengatakan bahwa tugas manusia ialah menjadi manusia.
Menjadi manusia? Kok aneh. Bukankah kita manusia ini sejak kecil sudah merasa menjadi manusia? Nietzsche menjelaskan bukti-bukti -pada zamannya- bahwa banyak sekali orang tidak berhasil menjadi manusia. Mereka saling menyikut, saling menjatuhkan, merusak alam lingkungan, ingin benar sendiri, memaksakan kehendak dan seterusnya. Sifat-sifat itu tidak menunjukkan bahwa mereka itu manusia. Demikian kira-kira yang dimaksud Nietzsche. Kemudian J.P. Sartre mengulangi lagi keluhan seperti itu. Ia juga melihat pada zamannya, yang nota bene sudah betul-betul zaman moderen, kelakuan manusia masih sama dengan yang disaksikan Nietzsche, kalau bukan lebih buruk lagi.
Apa sebetulnya inti kekecewaan para filosof itu? Budi pekerti. Budi pekerti itu begitu rendah menurut pengamatan dan pemahaman mereka. Lantas mereka kecewa. Kemudian pada tahun 1977 Fritjof Capra menguraikan lagi hal serupa lebih luas dalam bukunya The Turning Point. Menurutnya, budi pekerti sekarang keterlaluan, dunia bukan telah berada di bibir tubir kehancuran seperti pada zaman Nietzsche melainkan telah hancur. Menurutnya pula perlu disusun dan diterapkan paradigma baru untuk menyusun kembali suatu kebudayaan yang di sana terdapat budi pekerti yang luhur. Begitu kira-kira ringkasan buku Capra yang tebal itu.
Ya, soal budi pekerti. Rasul-rasul Tuhan di utus ke dunia selalu membawa misi hendak memperbaiki budi pekerti umat manusia. Bahkan Muhammad saw, sebagai utusan Tuhan yang terakhir, membawa “hanya” satu misi yaitu memperbaiki budi pekerti umat manusia.
Uraian di atas telah mencukupi untuk menyimpulkan bahwa hal budi pekerti adalah salah satu
masalah paling utama dalam kehidupan ini. Karena itu wajarlah bila salah satu tugas pendidikan di
sekolah adalah menanamkan budi pekerti yang luhur pada anak didik.
Tatkala Pak Harto masih menjadi presiden kita, terjadi suatu perampokan dengan pemberatan yang luar biasa, di Bekasi. Tuan rumah dirampok hartanya, dibunuh, dan diperkosa. Menurut koran, ada di antara pelaku itu anak remaja. Koran dipenuhi oleh berita tentang kejadian itu. Segera saja berita itu menjadi pembicaraan orang. Orang berkata, bila hanya merampok okelah, tapi bila merampok disertai pembunuhan ditambah perkosaan, wah itu amat keterlaluan. Orang-orang geram membaca berita itu. Dan, entah bagaimana, Pak Harto ikut berbicara. Katanya, tolong diperhatikan pendidikan budi pekerti. Kira-kira begitulah isi kata-kata beliau ketika itu.
Sebagaimana biasa, jika presiden berbicara, para tokoh langsung saja laksana kucing terbakar kumis. Banyak sekali tokoh angkat bicara, termasuk ketua MUI ketika itu. Isi pembicaraan para tokoh itu sama: perlu ditingkatkan pendidikan budi pekerti. Dari sini lantas banyak tulisan di koran yang mengusulkan perlunya pendidikan budi pekerti di sekolah. Ada yang mengatakan bahwa anak sekolah sekarang pada nakal karena tidak adanya pendidikan budi pekerti di sekolah. Memang seperti ada benarnya karena dulu di Sekolah Rakyat (sekarang SD) memang ada pendidikan budi pekerti. Ujung-ujungnya muncul gerakan pemikiran yang amat penting yaitu menghendaki adanya mata pelajaran budi pekerti di sekolah. Bahkan kelihatannya ada usul yang lebih maju, perlu adanya mata pelajaran Budi Pekerti di sekolah terpisah dari mata pelajaran lainnya.
Nah, soal perlu atau tidak pendidikan budi pekerti di sekolah sebagai mata pelajaran tersendiri agaknya bukanlah persoalan yang sederhana. Itu bukan persoalan kecil. Saya kawatir banyak orang yang tidak mengetahui bahwa pemikiran itu sebenarnya tidak kuat basisnya dan saya juga kawatir banyak orang yang tidak mengetahui konsekwensi-konsekwensi pemikiran itu pada bagian ujungnya.
Ada tiga istilah dalam bahasa Indonesia yang artinya kadang-kadang dianggap sama oleh sementara orang, yaitu istilah Budi Pekerti, Etika dan Akhlak. Ini harus dijelaskan di sini.
Budi Pekerti adalah istilah netral. Ia merupakan ukuran buruk baik bagi perbuatan. Kita mengatakan kepada anak kita “Anak itu pekertinya amat baik, tirulah.” Yang kita maksud dengan “pekerti” adalah budi pekerti. “Remaja ini berbudi luhur”. Di sini “budi” adalah budi pekerti. Jadi, kita dapat menggunakan tiga kata: budi pekerti, budi, atau pekerti. Tidak berbudi, sama dengan tidak berpekerti, sama dengan tidak berbudi pekerti. Begitulah kira-kira. Budi pekerti adalah tuntunan sekaligus ukuran baik buruk perbuatan. Baik menurut apa? Belum dapat dijawab. Inilah yang dimaksud netral tadi. Budi pekerti itu akan jelas bila ia memakai kata etika atau akhlak.
Etika adalah budi pekerti menurut akal. Etika adalah ukuran baik buruk perbuatan menurut akal. Inilah yang biasanya berkembang di dunia Barat. Etika adalah cabang filsafat. Konon ada tiga cabang besar filsafat. Pertama, Teori Pengetahuan yang membicarakan hal tahu dan pengetahuan, kedua, Teori Hakikat yang membicarakan hakikat benda, dan ketiga, Teori Nilai yang membicarakan hal indah tidak indah (Estetika) dan baik buruk perbuatan (Etika). Karena Etika itu filsafat, dan sampai sekarang memang tetap filsafat, maka Etika itu adalah ukuran baik buruk perbuatan berdasar akal. Mana yang lebih baik satu isteri dan selingkuh di luar itu, atau memiliki banyak isteri tanpa selingkuh? Kira-kira, menurut akal, yang lebih baik ialah satu isteri dan selingkuh, asal tidak mengeluarkan uang dan tidak kena penyakit, kadang-kadang ditambah asal tidak diketahui isteri. Hal itu dapat terjadi bila ukuran yang digunakan adalah ukuran akal. Ukuran akal itu ialah logika yang inheren ada dalam akal itu. Mana yang lebih baik, jujur tapi merugikan orang lain atau bohong tapi menguntungkan orang lain. Jelas dong, lebih baik bohong tapi menguntungkan orang lain. Ini logis. Begitulah seterusnya bila akal digunakan dalam mengukur baik buruk perbuatan. Dan itulah Etika pada dataran esensinya.
Memang ada beberapa aliran Etika. Tetapi, pada aliran mana pun toh Etika itu tetap norma buruk baik perbuatan berdasarkan akal. Ada memang, aliran Etika yang berdasarkan agama, nah, yang ini menurut saya adalah akhlak.
Adapun Akhlak ia adalah budi pekerti yang ditentukan oleh agama. Dalam arti inilah nabi Muhammad saw diutus hanya untuk memperbaiki akhlak umat manusia. Akhlak ialah ukuran baik buruk perbuatan menurut agama.
Sekarang, apa yang dimaksud dengan Budi Pekerti yang perlu diajarkan di sekolah terpisah dari mata pelajaran lain? Budi Pekerti dalam pengertian mana? Bila Budi Pekerti yang dimaksud itu adalah Etika, itu sangat berbahaya, karena sebagian nilainya akan bertentangan dengan pelajaran Akhlak yang ada dalam mata pelajaran Agama. Bila dua-duanya diajarkan maka ancamannya ialah para murid kelak akan mengalami apa yang dikenal dengan split personality, yaitu kepribadian terpecah. Mengapa terpecah? Karena ada nilai yang dikatakan baik baik dan diajarkan oleh guru Budi Pekerti, sedang nilai itu buruk menurut ajaran Akhlak dari guru agama. Murid pilih yang mana? Tentu mereka menerima kedua-duanya karena guru itu sama dalam pandangan mereka, yaitu sama-sama harus ditiru dan digugu. Jadi, bila Budi Pekerti itu dalam arti Etika, ia dilarang keras diberikan di sekolah Indonesia. Bahayanya ya, itu tadi. Bila Budi Pekerti itu diartikan Akhlak, itu baik-baik saja, tetapi tidak usah diajarkan dalam mata pelajaran terpisah dari mata pelajaran Agama, karena akhlak itu sudah ada dalam pelajaran Agama, bahkan tadi dikatakan, inti pelajaran Agama (Islam) justru adalah akhlak. Dengan demikian jelas no way (tidak ada jalan) untuk memberikan pelajaran Budi Pekerti dalam bentuk mata pelajaran terpisah di sekolah, baik Budi Pekerti dalam arti Etika maupun Budi Pekerti dalam arti Akhlak.
Sekarang mulai kelihatan apa yang saya katakan di atas tadi bahwa pikiran tentang perlunya pendidikan Budi Pekerti tersendiri di sekolah kurang kuat basisnya. Mengapa kurang kuat?
Karena Pancasila itu tidak menghendaki adanya pendidikan Budi Pekerti. Inti Pancasila ialah keimanan, keimanan berarti harus beriman, harus beriman artinya harus beragama. Nah, dalam agama itu ada Budi Pekerti dalam arti akhlak. Bahkan tadi saya katakan, justru inti agama (Islam) adalah akhlak. Pikiran ini didasari pandangan bahwa Pancasila adalah filsafat negara dan filsafat menegara. Bila Pancasila sudah diganti, tentu uraian di atas tidak berguna. Ide tentang pendidikan Budi Pekerti di sekolah yang merupakan mata pelajaran tersendiri agaknya lebih sesuai dengan paham sekuler. Itu kelemahan pada dataran filsafat.
Tadi, di atas, saya pun mengatakan bisa jadi banyak orang tidak menyadari konsekwensi-konsekwensi yang akan muncul bila Budi Pekerti diajarkan terpisah dari agama. Seperti telah saya sebutkan, salah satu konsekwensinya ialah murid akan menderita kepribadian terpecah. Ini salah satu kelemahan pada dataran operasional. Tapi masih ada konsekwensi lain yaitu bila dilihat dari segi metodologis.
Para murid berakhlak mulia, sopan santun, di rumah, di masyarakat, di sekolah, di jalan raya, dan lain-lain, itu memang yang sangat kita idamkan. Salah seorang penyair besar Islam, Syauqi Bey, mengatakan bahwa bangsa adalah akhlaknya, hilang akhlak hilanglah bangsa itu. Agaknya apa yang dimaksud Syauqi Bey ini sama dengan yang dimaksud oleh beberapa tokoh besar Yunani Lama, Nietzsche dan Sartre tadi. Kita pun demikian, sekalipun kita bukan filosof. Sudah fitrahnya manusia itu menyenangi akhlak mulia. Yang aneh, penjahat pun menyenangi orang yang berakhlak mulia. Jadi, perlunya pendidikan akhlak di sekolah sudah jelas, tidak perlu lagi dibicarakan.
Tatkala dulu, menteri Wardiman, mengatakan bahwa masalah besar pendidikan kita ialah lulusan yang tidak sesuai dengan tuntutan lapangan kerja, banyak orang terperangah. Saya tidak. Karena menurut saya masalah paling besar dalam pendidikan kita ialah mengapa pendidikan kita masih sanggup menghasilkan koruptor, masih menghasilkan lulusan yang ingin menang sendiri, masih juga menghasikan lulusan yang suka memaksakan kehendak, dan sebangsanya. Kegagalan pendidikan kita terutama pada pendidikan akhlak. Ini kata kuncinya.
Agar pendidikan kita mampu menghasilkan lulusan berakhlak mulia sekurang-kurangnya perlu ditinjau dua hal. Pertama masalah paradigma kedua masalah operasional.
Inti Pancasila itu ialah keimanan, itu terlihat dengan jelas pada kelima gambar dalam lambang Pancasila. Di situ gambar bintang mengambil pojok-pojok empat gambar lainnya. Penjelasannya ada pada Mukaddimah UUD-45, yang meletakkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai inti. Jadi, inti (core) Pancasila adalah keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Konsep penting ini turun pada UUD-45, lihatlah pada bagian Mukaddimahnya. Selanjutnya konsep penting itu turun pula ke UU nomor 2 tahun 1989 pada pasl 4, tetapi kurang tegas. Tatkala konsep itu dicari dalam kurikulum sekolah, yaitu pada GBPP, nah, di sinilah konsep itu hilang. Ia gagal turun pada tahap operasional. Di sinilah, menurut saya, kekeliruan besar dalam pendidikan kita selama ini, bahkan sejak kemerdekaan.
Tidak turunnya konsep kunci itu ke dalam GBPP tentu membawa akibat penting. Akibat yang kelihatan ialah seolah-olah hanya guru agama saja yang bertanggung jawab dalam pendidikan keimanan itu. Bila disebutkan dalam GBPP bahwa core GBPP ini adalah pendidikan keimanan, maka hal pendidikan keimanan itu akan menjadi tanggung jawab kepala sekolah, semua guru, semua karyawan, kantin sekolah dan sebagainya. Kenyataannya, seperti yang kita saksikan, pendidikan keimanan di sekolah nyaris gagal, tandanya ialah akhlak anak-anak sekolah sebagiannya kurang baik, kenakalan meningkat. Tugas utama sekolah seharusnya menanamkan keimanan, iman yang kuat itulah yang akan memunculkan akhlak yang luhur dan penanaman iman itu bukan hanya tugas guru agama.
Sekarang, sebaiknya hal ini menjadi perhatian serius. Bila tidak, itu amat berbahaya, bisa-bisa krisis seperti yang kita alami sekarang terulang lagi. Perhatian serius itu dimulai dari memasang paradigma baru bagi pendidikan nasional kita, yaitu dengan meletakkan pendidikan keimanan sebagai inti (core) sistem pendidikan nasional pada semua jenjang dan jenis.
Pada tataran metodologis lain lagi persoalannya. Orang menyangka pendidikan akhlak itu dapat dilakukan melalui pengajaran akhlak. Ini sudah dilakukan oleh guru agama. Guru agama mengajarkan, murid mendengarkan dan mencatatnya. Diajarkan bahwa berbohong itu jelek, ruginya bila berbohong, untungnya bila jujur; ruginya bila boros, untungnya bila hemat; muliakan kedua orang tua lebih-lebih ibu karena surga terletak di bawah telapak kaki ibu, dan sebagainya dan sebagainya. Banyak sekali materi akhlak dalam pelajaran Agama (Islam) dan bila kurang masih boleh ditambah. Tapi, semua itu pengajaran (kognitif). Murid mengetahui dan bila diuji mereka dapat menjawab. Tetapi itu semua pengajaran. Dan guru agama telah berhasil dalam hal ini. Tetapi akhlak mereka sehari-hari bagaimana? Nah, ini dia.
Menurut Bloom (dan kawan-kawannya) bila sesuatu nilai sudah dipahami murid (kognitif), tentu mereka menerimanya (afektif), selanjutnya tentu -dengan sendirnya- mereka akan berbuat seperti itu (psikomotor). Contoh. Murid tahu bahwa mengukur luasan bentuk segi tiga adalah alas kali inggi dibagi dua (kognitif), ya kata mereka (afektif), dan bila mengukur tanah seperti itu mereka kalikan alas dengan tinggi bagi dua (psikomotor). Tetapi dalam hal nilai seperti akhlak halnya tidaklah seperti itu. Mereka tahu jujur itu baik bohong itu jelek (kognitif), dan mereka terima nilai itu, memang ya begitu kata mereka (afektif), tetapi sekali sekali dalam keadaan tertentu mereka bohong juga.
Itu menunjukkan bahwa pendidikan agama (dan akhlak) tidak dapat dilakukan melalui paradigma dari Bloom itu. Harus ada paradigma lain. Jika ingin belajar dari para nabi, maka yang dilakukan mereka ialah pendidikan keimanan (dan akhlak) dilakukan melalui peneladanan, pembiasaan, dan pemotivasian. Inilah tiga metode utama. Kekeliruan guru agama selama ini ialah mereka terlalu memfokuskan pada usaha pengajaran, padahal sebelum diajarkan pun pada umumnya murid itu sudah tahu, mereka sudah tahu bohong itu jelek jujur itu baik.
Untuk menutup tulisan ini saya ingin menekankan bahwa akhlak mulia hanya akan dimiliki seseorang bila ada sangsinya. Seseorang tidak mencuri bila ia takut dihukum. “Dihukum” itu adalah salah satu sangsi. Seseorang tidak melakukan perbuatan rendah karena malu pada masyarakat lingkungannnya. Malu di sini adalah sangsi juga. Katanya, budi pekerti orang di negara maju (Barat) baik-baik. Mereka sopan, tepat waktu, senang bersih, antri tertib, dan lain-lain. Jamaluddin al-Afghani tatkala pulang dari Paris menyatakan bahawa Islam saya lihat di Paris. Kawan-kawan kita yang telah melihat dunia Barat agaknya memiliki kesan begitu juga. Ya, itu disebabkan oleh kebudayaan mereka yang sudah terbentuk mapan. Kebudayaan itu dibentuk dan dikawal oleh sanksi yang ketat berupa hukum dan penegakan hukum secara ketat. Itu amat perlu, bila kita menginginkan warga negara berakhlak mulia. Tetapi, sangsi dari “luar” itu tidaklah cukup kuat. Harus ada sangsi dari “dalam” yang sesungguhnya lebih kuat pengaruhnya. Sangsi dari “dalam” ialah iman. Maka al-Ghazali mengatakan bahwa akhlak mulia dimiliki seseorang bila orang itu selalu merasa dilihat Allah. Selalu merasa dilihat Allah inilah iman yang sebenarnya.
Uraian paling akhir ini menjelaskan bahwa pendidikan akhlak memang tidak mungkin terpisah dari pendidikan agama karena akhlak itu basisnya adalah keimanan agama dan di pihak lain akhlak itu merupakan bagian dari agama bahkan intinya agama (Islam). Dan jika Budi Pekerti tadi diajarkan terlepas dari agama, maka ia akan kehilangan sangsi “dalam” yang justru paling penting dalam keberakhlakan seseorang.
Ahmad Tafsir
Guru Besar Ilmu Pendidikan
IAIN Bandung

Tidak ada komentar: