Jumat, 10 Oktober 2008

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI KE DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Oleh: Ahmad Tafsir



Pendidikan akhlak itu amat penting. Akhlak dapat menjamin kelangsungan hidup seseorang, masyarakat, negara dan dunia. Sejarah menjelaskan bahwa tidak ada negara yang hancur karena lemah penguasaan sain dan teknologinya. Tidak ada juga negara yang hancur karena miskin. Sejarah menjelaskan bahwa negara Saba`iyyah yang makmur itu hancur karena akhlak; negara Sodom hancur karena akhlak, negara Mesir kuno, yang rajanya adalah tuhan (Fir’aun) hancur karena akhlak; imperium Rumawi yang begitu kuat hancur karena akhlak; negara kita babak belur juga karena akhlak; negara-negara itu hancur karena buruknya akhlak para pemimpin.
Definisi Akhlak
Ada tiga kata yang dapat berarti akhlak. Pertama budi pekerti. Ini yang netral. Kedua etika, yaitu budi pekerti berdasarkan akal. Ketiga akhlak, yaitu budi pekerti berdasarkan agama. Yang cocok untuk orang Indonesia ialah budi pekerti dalam arti akhlak.
Pancasila itu inti (core) nya ialah keberimanan. Itu artinya, setiap warga negara Indonesia haruslah beriman. Beriman tentu harus beragama. Akhlaknya pun haruslah akhlak yang berdasarkan agama. Dengan demikian budi pekerti untuk orang Indonesia
–selama masih menjadikan Pancasila sebagai filsafat negara- pastilah budi pekerti dalam arti akhlak.
Butir-butir budi pekerti yang direkomendasikan untuk diajarkan oleh Proyek Pembinaan Anak dan Remaja Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995/1996) ada 56 buah. Semuanya ada dalam materi pelajaran agama. Pendidikan agama (Islam) memang intinya adalah pendidikan akhlak. Dengan demikian, pengintegrasian materi akhlak yang direkomendasikan (56 butir) itu sudah selesai karena memang sejak dahulu sudah terintegrasi dalam mata pelajaran Agama Islam. Jadi, dalam hal ini tidak ada masalah. Ada atau tidak ada rekomendasi tentang materi akhlak tersebut sama saja. Masalahnya bukan terletak pada materi akhlak atau budi pekerti tersebut.

Masalah Pokok Pendidikan Akhlak
Persoalannya ialah mengapa pendidikan akhlak itu selama ini dirasakan tidak berhasil secara maksimal. Dengan kata lain, mengapa pendidikan agama Islam itu dirasakan tidak berhasil secara maksimal.
Gagalnya pendidikan agama Islam itu sebenarnya bukan karena faktor guru, bukan pula karena faktor jumlah jam pelajaran yang sering dikatakan kurang. Gagalnya pendidikan agama itu karena dua hal. Pertama karena sistem pendidikan nasional kita salah, dan kedua, karena pendekatan pendidikan agama yang digunakan oleh guru agama kurang tepat.
Yang pertama, memang ada yang salah dalam sistem pendidikan nasional kita. Pendidikan agama (Islam) di negara kita sudah ada sejak 1 Januari 1946. Tetapi sejak itu pula pendidikan agama itu berada dalam sistem yang salah. Yang salah dalam sistem pendidikan nasional kita ialah sistem pendidikan kita tidak menjadikan pendidikan agama sebagai core sistem.
Pancasila itu corenya ialah keberimanan. Lihatlah gambar bintang di dada burung garuda itu. Ia terletak di tengah, itu menggambarakan bahawa ia menjadi core bagi sila-sila lainnya. UUD-45, sebagai turunan Pancasila, corenya adalah keberimanan juga. Lihatlah pada pembukaan UUD-45. Ini betul. Mestinya seluruh undang-undang sebagai turunan UUD-45 haruslah menjadikan keberimanan sebagai core nya. Salahnya ialah UU pendidikan kita (UU No.2/89) ialah tidak menjadikan keberimanan sebagai corenya; yang dijadikan core ialah manusia Indonesia seutuhnya (pasal 4). Reformasi pendidikan itu yang paling penting ialah mengubah kata seutuhnya menjadi beriman. Bila ini dilakukan berarti kita melakukan perubahan pada tingkat paradigma. Selama ini perubahan-perubahan yang kita lakukan hanyalah pada tingkat aksesori, bukan pada tingkat paradigma. Karena itu hasil yang diperoleh dari perubahan itu tidaklah signifikan. Ya, akhlak lulusan tetap saja buruk, bahkan semakin ke sini kelihatannya semakin memburuk.
Pada pasal 4 UU No.2/89 dikatakan bahwa tujuan pendidikan kita ialah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,…. Yang dijadikan core dalam tujuan ini ialah manusia
seutuhnya, sedangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa sejajar dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan (dan seterusnya). Akibat dari rumusan ini ialah kurikulum terkompartemental, yaitu pembentukan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa hanya menjadi tugas guru agama, sama dengan pengajaran Matematika hanya menjadi tugas guru Matematika. Dan itulah yang terjadi selama ini. Bila manusia beriman dijadikan core maka tugas pembentukan manusia beriman itu akan menjadi tugas guru agama, guru lainnya, kepala sekolah dan orang tua murid. Dengan cara begitu pendidikan agama akan berhasil maksimal. Bila pendidikan agama tidak dijadikan core sistem (dengan sendirinya menjadi core kurikulum), dijamin pendidikan agama tetap tidak akan berhasil sekalipun berbagai perbaikan dilakukan.
Yang kedua, pendekatan yang digunakan guru agama selama ini hanyalah pendekatan rasional. Ini memang perlu untuk aspek pengisian pengetahuan agama. Tetapi untuk aspek penanaman iman pendekatan rasional itu tidak berdaya.
Banyak hadis yang menjelaskan bahwa inti iman adalah rasa, yaitu merasa dilihat Tuhan. Nah, untuk menghasilkan lulusan yang selalu merasa dilihat Tuhan bagaimana? Di sinilah kekurangan kita selama ini. Seharusnya selain pendekatan rasional (untuk aspek pengetahuan) kita tambahkan pendekatan rasa (untuk menanamkan rasa iman). Pendekatan rasa ini untuk sementara kita sebut saja pendekatan tasawuf. Itu bukanlah berarti murid-murid harus mengamalkan tasawuf; itu hanyalah nama pendekatan.
Bila pendekatan rasional menurunkan metodologi pengajaran tertentu yang sudah dengan baik dikuasai dan digunakan guru agama, maka pendekatan tasawuf juga memiliki metodologi pengajaran tertentu yang belum diketahui dan belum digunakan dengan baik oleh guru agama.
Kesimpulan
Jika kita menginginkan lulusan pendidikan kita berakhlak mulia, maka
(1) Jadikanlah pendidikan agama sebagai core sistem pendidikan nasional;
(2) Guru agama Islam menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan rasional dan pendekatan tasawuf.








IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
KE DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM



Oleh: Ahmad Tafsir




Disampaikan pada Acara
Temu Konsultasi Pengembangan Budi Pekerti dalam Kurikulum Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum




Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama
Jakarta, 8 Mei 2001

Tidak ada komentar: