Dalam bahasa Indonesia ada tiga sebutan untuk pelajar, yaitu murid, anak didik, dan peserta didik. Salah satu tesis magister mengenalkan istilah baru yaitu “dinidik” tetapi kelihatannya istilah itu amat tidak umum bahkan belum banyak orang yang mengenalnya.
Sebutan murid bersifat umum, sama umumnya dengan sebutan anak didik dan peserta didik.
Istilah murid kelihatannya khas pengaruh agama Islam. Di dalam Islam istilah ini diperkenalkan oleh kalangan shufi. Istilah murid dalam tasauf mengandung pengertian orang yang sedang belajar menyucikan diri dan sedang berjalan menuju Tuhan. Yang paling menonjol dalam istilah itu ialah kepatuhan murid pada guru (mursyid) nya. Patuh di sini adalah dalam arti tidak membantah sama sekali. Hubungan guru (mursyid) dan murid adalah hubungan searah. Pengajaran berlangsung dari subyek (mursyid) ke obyek (murid). Dalam ilmu pendidikan hal seperti ini disebut pengajaran berpusat pada guru.
Sebutan anak didik mengandung pengertian guru menyayangi murid seperti anaknya sendiri. Faktor kasih sayang guru terhadap anak didik dianggap salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Dalam sebutan anak didik agaknya pengajaran masih berpusat pada guru, tetapi tidak lagi seketat pada guru-murid seperti di atas.
Sebutan peserta didik adalah sebutan yang paling mutakhir. Istilah ini menekankan pentingnya murid berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Dalam sebutan ini aktivitas pelajar dalam proses pendidikan dianggap salah satu kata kunci. Jika kita prosentasekan, mungkin kira-kira begini: pada pengajaran guru-murid kegiatan 100% pada guru, murid 0%; pada pengajaran guru-anak didik, mungkin 75% pada guru 25% pada anak didik; pada pengajaran guru-peserta didik, 50% pada guru 50% pada murid. Dalam pandangan paling mutakhir para ahli menghendaki murid aktif sampai dengan 75%, bahkan bila mungkin biarlah guru berperan 0%. Jadi perubahan istilah dari murid ke anak didik kemudian menjadi peserta didik, agaknya bermaksud memberikan perubahan pada peran pelajar dalam proses pembelajaran.
Dalam pendidikan, istilah mana sebenarnya yang paling tepat? Saya memilih istilah murid. Jadi, istilah murid lah yang paling tepat bagi semua orang yang sedang belajar pada guru, bukan anak didik dan bukan pula peserta didik. Saya pilih istilah murid karena mengandung banyak kelebihan dibandingkan dengan dua istilah lainnya.
Sa’id Hawwa (Sa’id Hawwa, Mensucikan Jiwa, Penerjemah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Jakarta, Robbani Press, 1999) menjelaskan adab dan tugas murid (yang dapat juga disebut sifat-sifat murid) sebagai berikut ini.
Pertama, murid harus mendahulukan kesucian jiwa sebelum lainnya. Sama halnya dengan shalat, ia tidak sah bila tidak suci dari hadats dan najis. Menyemarakkan hati dengan ilmu tidak sah kecuali setelah hati itu suci dari kekotoran akhlak. Intinya di sini ialah murid itu jiwanya harus suci. Indikatornya terlihat pada akhlaknya.
Kedua, murid harus mengurangi keterikatannya dengan kesibukan duniawiah karena kesibukan itu akan melengahkan dari menuntut ilmu. Tuhan menyatakan bahwa Ia tidak akan menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongga dadanya (al-Ahzab:4). Jika pikiran terpecah maka murid tidak akan dapat memahami hakikat. Karena itu dikatakan
“ Ilmu tidak akan memberikan kepadamu sebagiannya sebelum kamu menyerahkan kepadanya seluruh jiwamu; jika kamu telah memberikan seluruh jiwamu kepadanya tetapi ia baru memberikan sebagiannya kepadamu maka itu berarti kamu dalam bahaya.” Pikiran yang terpencar pada berbagai hal adalah seperti sungai kecil yang airnya berpencar kemudian sebagiannya diserap tanah dan sebagian lagi menguap ke udara sehingga tidak ada air yang terkumpul dan sampai ke ladang tanaman. Intinya ialah murid harus berkonsentrasi pada menuntut ilmu, tidak mengkonsentrasikan diri pada selain itu.
Ketiga, tidak sombong terhadap orang yang berilmu, tidak bertindak sewenang-wenang terhadap guru; ia harus patuh kepada guru seperti patuhnya orang sakit terhadap dokter yang merawatnya. Murid harus tawadldlu’ kepada gurunya dan mencari pahala dengan cara berkhidmat pada guru.
Di antara sikap sombong terhadap guru ialah ia tidak mengambil manfaat dari ilmu yang diajarkan guru. Ilmu itu enggan terhadap murid yang congkak seperti enggannya banjir terhadap tanah tinggi. Intinya ialah patuh pada guru; tawadldlu’ itu salah satu indikator kepatuhan.
Keempat, orang yang menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga diri dari mendengarkan perbedaan pendapat atau khilafiah antar mazhab karena hal itu akan membingungkan pikirannya. Perbedaan pendapat dapat diberikan pada belajar tahap lanjut.
Kelima, penuntut ilmu harus mendahulukan menekuni ilmu yang paling penting untuk dirinya. Jika usianya mendukung barulah ia menekuni ilmu lain yang berkaitan dengan ilmu paling penting tersebut.
Keenam, tidak menekuni banyak ilmu sekaligus, melainkan berurutan dari yang paling penting. Ilmu yang paling utama ialah ilmu mengenal Allah.
Ketujuh, tidak memasuki cabang ilmu sebelum menguasai cabang ilmu sebelumnya. Ilmu itu sifatnya beratahap dan berurutan. Antara satu ilmu denagan ilmu lainnya seringkali memiliki sifat prerequisite.
Kedelapan, hendaklah mengetahui ciri-ciri ilmu yang paling mulia, itu diketahui dari hasil belajarnya, dan kekuatan dalilnya. Contoh (dari segi hasil): hasil belajar ilmu agama ialah kehidupan yang abadi, sedangkan hasil belajar ilmu kedokteran ialah kehidupan yang fana. Jadi belajar ilmu agama lebih utama ketimbang belajar ilmu kedokteran.
Dari sekian adab dan tugas murid yang dijelaskan oleh Sa’id Hawwa tersebut di atas ada dua hal yang menjadi inti, yaitu pertama, murid harus selalu berusaha menyucikan jiwanya, dan kedua, murid harus patuh pada guru.
Dalam uraian Hawwa tersebut konsep yang ada pada istilah anak didik, yaitu guru sayang pada anak didikr seperti pada anaknya sendiri, sudah tercakup, dan itu lebih jelas lagi pada uraiannya tentang kewajiban guru. Yang belum jelas dalam uraian Hawwa tersebut ialah konsep penting yang terkandung dalam istilah peserta didik. Bahkan, ada kesan, konsep murid dalam uraian di atas mengabaikan peran serta murid dalam proses pendidikan.
Konsep tentang adab dan tugas murid dalam uraian Hawwa tersebut di atas adalah murid dalam konteks tasauf. Sekalipun demikian konsep itu dapat juga diterima dalam konsep murid secara umum.
Konsep adab dan tugas murid dalam pendapat Hawwa itu dapat dibakukan untuk sebutan pelajar di sekolah apa pun dengan penambahan pada dua segi, yaitu pertama peran serta murid dalam pembelajaran diperhitungkan dan kedua daya kreatif murid harus dikembangkan.
Berdasarkan uraian di atas agaknya dapat disimpulkan konsep sebagai beikut:
1. Istilah yang paling tepat untuk pelajar ialah murid, bukan anak didik atau peserta didik;
2. Istilah murid mencakupi 5 konsep berikut:
- Murid harus berusaha mensucikan batinnya;
- Murid harus menganggap bahwa belajar dan menyucikan batin itu adalah
suatu bentuk ibadah;
- Murid berhak mendapat kasih sayang dari gurunya;
- Muris harus dikembangkan daya kreativitasnya dalam pembelajaran.
Alasan pemilihan istilah “murid” karena istilah itu berisi konsep yang lebih menjamin tercapainya tujuan pendidikan yaitu terwujudnya manusia yang memiliki kemanusiaan yang tinggi.
Jumat, 10 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar