Kamis, 09 Oktober 2008

HAKIKAT PENDIDIKAN

Orang-orang Yunani Lama, lebih kurang 600 tahun Sebelum Masehi, telah menyatakan bahwa pendidikan ialah usaha membantu manusia menjadi manusia. Ada dua kata yang penting dalam kalimat itu, pertama “membantu” dan kedua “manusia”.
Manusia perlu dibantu agar ia berhasil menjadi manusia. Itu menunjukkan bahwa tidaklah mudah menjadi manusia. Karena itulah maka sejak dahulu banyak manusia gagal menjadi manusia. Perlu dibantu. Jadi, tujuan mendidik ialah manusia yang telah menjadi manusia. Agar tujuan itu dapat dicapai dan agar program dapat disusun maka ciri-ciri manusia yang telah menjadi manusia itu haruslah jelas.
Apa manusia yang menjadi tujuan pendidikan itu? Tentulah hal ini akan ditentukan oleh filsafat hidup masing-masing orang. Orang-orang Yunani Lama itu menentukan ada tiga syarat untuk disebut manusia. Pertama, memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri; kedua, cinta tanah air; dan ketiga berpengetahuan.
Kemampuan mengendalikan diri memang penting dalam kehidupan ini. Ini telah diketahui sejak dulu sekali. Belum lama ini (1995) muncul buku Goleman yang menjelaskan betapa pentingnya kemampuan mengendalikan diri tersebut. Ia menyebutnya emotional intelligence (EI) yang sering disingkat dengan EQ (emotional quotient) . Ia mengatakan bahwa EI (EQ) lebih penting ketimbang IQ. Nah, orang Yunani telah mengetahui hal itu. Pythagoras, salah seorang filosof besar pada zaman itu memberi syarat pada murid-muridnya agar murid-muridnya tidak makan kacang tanah dan ayam putih. Katanya, dua jenis makanan ini akan menyebabkan sulit mengendalikan diri.
Orang-orang zaman sekarang juga –kelihatannya- memahami pentingnya memiliki kemampuan mengendalikan diri. Sering orang tua menasehati menantunya agar mampu mengendalikan diri tatkala dapat uang banyak, tatkala memperoleh kesuksesan. Sering orang menasehati orang lain agar sabar; sabar adalah salah satu ciri kemampuan mengendalikan diri. Ya, ini memang penting. Banyak orang menyesali perceraiannya karena tatkala ia cerai itu ia dalam keadaan tidak terkendali; banyak orang yang putus pertunangannya gara-gara terlanjur dan itu adalah ciri kurang mampu mengendalikan diri. Banyak yang jatuh dari tempat tinggi karena kurang mampu mengendalikan diri. Jatuh seperti itu akan amat tidak enak. Menyesal, malu, rugi. Kok hanya gara-gara ketelanjuran. Ketelanjuran adalah salah satu ciri kurang memiliki kemampuan mengendalikan diri.
Jika orang telah mampu mengendalikan diri, itu berarti ia telah memiliki akhlak mulia. Nah dengan sendirinya cinta pada tanah air juga akan tinggi. Cinta tanah air orang Yunani Lama itu adalah dalam arti cinta pada tempat tinggal. Konsep inilah yang menjadi cikal bakal pelajaran civic atau kewarganegaraan. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya sampai sekarang inti civic tetap saja cinta tempat tinggal. Civic justru akan rusak bila pengertiannya digeser dari pengertian itu. Ya, cinta tempat tinggal. Jangan merusak alam, jangan mencorat coret tembok, jangan mengganggu ketenangan tetangga. Bila yang seperti itu terujud, maka kehidupan akan menjadi kehidupan yang enak. Bener juga.
Bila konsep ini digeser, misalnya menjadi cinta bangsa, maka bahayanya ialah chauvinisme, bila disempitkan maka akan leih berbahaya lagi. Bila diubah menjadi cnta dunia, maka konsep akan diterima sebagai terlalu luas dan abstrak. Memang yang terbaik ialah cinta tempat tinggal. Di mana pun ia tinggal ia akan mencntai tempat itu.
Manusia yang menjadi tujuan pendidikan itu harus memiliki pengetahuan yang tinggi. Intinya ialah orang harus mampu berpikir benar. Mendengar ini mungkin akan ada orang bertanya, apa ada orang yang berpikir tidak benar. Banyak, orang gila misalnya. Orang yang sudah kuat secara ekonomi, tetapi masih mencuri atau korupsi juga, jelas itu orang yang tidak mampu berpikir benar. Orang seperti itu sebenarnya sejenis oring gila juga, sakit jiwa. Orang Yunani beranggapan berpikir cara filsafat atau berfilsafat adalah latihan terbaik untuk mampu berpikir benar.
Yang di atas itu adalah tentang konsep manusia. Konsep itu masih layak dipakai sekarang. Masih bagus.
Aspek pendidikan yang kedua ialah menolong. Mengapa menolong, bukan mencetak, atau mewujudkan? Ya, karena pendidik mengetahui bahwa pada manusia itu ada potensi yang dapat dikembangkan untuk menjadi manusia. Pada setiap manusia itu ada potensi untuk menjadi manusia. Tetapi, ada juga potensi untuk menjadi bukan manusia, menjadi binatang misalnya. Teori inilah yang dapat menjelaskan mengapa orang yang dididik itu ada juga yang gagal menjadi manusia. Misalnya, ada juga beberapa tamatan perguruan tinggi yang punya sifat ingin menang sendiri (ini bukan sifat manusia), ada juga yang sudah kaya tetapi masih korupsi (ini juga bukan sifat manusia). Kegagalan pendidik dalam membantu manusia menjadi manusia itu memang ada, tetapi hanya sedikit.
Pendidik berpendapat batu tidak mungkin ditolong menjadi manusia, karena, ya itu tadi, batu tidak memiliki potensi menjadi manusia. Dari sinilah pendidik mengetahui bahwa dalam mendidik pendidik itu harus mengetahui poteni-potensi anak didiknya. Ini bidang psikologi; karena itu pendidik yang baik tentu mengetahui psikologi mengenai potensi-potensi itu.
Kata “menolong” juga menegaskan bahwa perbuatan mendidik itu hanya sekedar menolong. Jadi, pendidik jauh sebelum berbuat telah mengetahui bahwa muridnya itu nanti ada yang akan berhasil menjadi manusia dan ada yang tidak.
Apakah pendidik salah bila ia gagal? Pendidik biasanya merasa bersalah. Tetapi sebenarnya pedidik itu tidak bersalah. Itu hanya pembenaran terhadap teori itu saja.
Kata “menolong” juga mengkiaskan agar pendidik tidak sombong. Bila berhasil maka hasil itu adalah berkat usaha murid itu sendiri dan usaha dari orang atau lainnya, sebagiannya merupakan hasil si pendidik.
Kata “menolong” juga mengajarkan kepada pendidik bahwa ia mestilah melakukan pertolongan itu dengan kasih saying. Kata kasih sayang itu telah terdapat di dalam kata menolong itu. Tidak ada pertolongan yang kosong dari kasih saying. Konsekwensinya ialah pendidik tidak akan berhasil menolong bila dalam menolong itu tidak ada rasa kasih sayang.
Kata “menolong” juga mengandung pengertian hal yang benar. Itu pun sudah terdapat dalam kata menolong itu. Jadi, pendidik itu harus menolong anak didik, dan pertolongannya itu harus berisi sesuatu yang benar. Karena itulah pendidik tidak mengenal istilah “mendidik anak mencuri, atau mendidik anak membohongg”. Sebab “mencuri” dan “membohong” itu tidak ada dalam kata menolong. Al-Qur`an menegaskan “tolong menolonglah kamu dalam kebaikan” , itu hanyalah menegaskan.

Tidak ada komentar: