Jumat, 10 Oktober 2008

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI KE DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Oleh: Ahmad Tafsir



Pendidikan akhlak itu amat penting. Akhlak dapat menjamin kelangsungan hidup seseorang, masyarakat, negara dan dunia. Sejarah menjelaskan bahwa tidak ada negara yang hancur karena lemah penguasaan sain dan teknologinya. Tidak ada juga negara yang hancur karena miskin. Sejarah menjelaskan bahwa negara Saba`iyyah yang makmur itu hancur karena akhlak; negara Sodom hancur karena akhlak, negara Mesir kuno, yang rajanya adalah tuhan (Fir’aun) hancur karena akhlak; imperium Rumawi yang begitu kuat hancur karena akhlak; negara kita babak belur juga karena akhlak; negara-negara itu hancur karena buruknya akhlak para pemimpin.
Definisi Akhlak
Ada tiga kata yang dapat berarti akhlak. Pertama budi pekerti. Ini yang netral. Kedua etika, yaitu budi pekerti berdasarkan akal. Ketiga akhlak, yaitu budi pekerti berdasarkan agama. Yang cocok untuk orang Indonesia ialah budi pekerti dalam arti akhlak.
Pancasila itu inti (core) nya ialah keberimanan. Itu artinya, setiap warga negara Indonesia haruslah beriman. Beriman tentu harus beragama. Akhlaknya pun haruslah akhlak yang berdasarkan agama. Dengan demikian budi pekerti untuk orang Indonesia
–selama masih menjadikan Pancasila sebagai filsafat negara- pastilah budi pekerti dalam arti akhlak.
Butir-butir budi pekerti yang direkomendasikan untuk diajarkan oleh Proyek Pembinaan Anak dan Remaja Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995/1996) ada 56 buah. Semuanya ada dalam materi pelajaran agama. Pendidikan agama (Islam) memang intinya adalah pendidikan akhlak. Dengan demikian, pengintegrasian materi akhlak yang direkomendasikan (56 butir) itu sudah selesai karena memang sejak dahulu sudah terintegrasi dalam mata pelajaran Agama Islam. Jadi, dalam hal ini tidak ada masalah. Ada atau tidak ada rekomendasi tentang materi akhlak tersebut sama saja. Masalahnya bukan terletak pada materi akhlak atau budi pekerti tersebut.

Masalah Pokok Pendidikan Akhlak
Persoalannya ialah mengapa pendidikan akhlak itu selama ini dirasakan tidak berhasil secara maksimal. Dengan kata lain, mengapa pendidikan agama Islam itu dirasakan tidak berhasil secara maksimal.
Gagalnya pendidikan agama Islam itu sebenarnya bukan karena faktor guru, bukan pula karena faktor jumlah jam pelajaran yang sering dikatakan kurang. Gagalnya pendidikan agama itu karena dua hal. Pertama karena sistem pendidikan nasional kita salah, dan kedua, karena pendekatan pendidikan agama yang digunakan oleh guru agama kurang tepat.
Yang pertama, memang ada yang salah dalam sistem pendidikan nasional kita. Pendidikan agama (Islam) di negara kita sudah ada sejak 1 Januari 1946. Tetapi sejak itu pula pendidikan agama itu berada dalam sistem yang salah. Yang salah dalam sistem pendidikan nasional kita ialah sistem pendidikan kita tidak menjadikan pendidikan agama sebagai core sistem.
Pancasila itu corenya ialah keberimanan. Lihatlah gambar bintang di dada burung garuda itu. Ia terletak di tengah, itu menggambarakan bahawa ia menjadi core bagi sila-sila lainnya. UUD-45, sebagai turunan Pancasila, corenya adalah keberimanan juga. Lihatlah pada pembukaan UUD-45. Ini betul. Mestinya seluruh undang-undang sebagai turunan UUD-45 haruslah menjadikan keberimanan sebagai core nya. Salahnya ialah UU pendidikan kita (UU No.2/89) ialah tidak menjadikan keberimanan sebagai corenya; yang dijadikan core ialah manusia Indonesia seutuhnya (pasal 4). Reformasi pendidikan itu yang paling penting ialah mengubah kata seutuhnya menjadi beriman. Bila ini dilakukan berarti kita melakukan perubahan pada tingkat paradigma. Selama ini perubahan-perubahan yang kita lakukan hanyalah pada tingkat aksesori, bukan pada tingkat paradigma. Karena itu hasil yang diperoleh dari perubahan itu tidaklah signifikan. Ya, akhlak lulusan tetap saja buruk, bahkan semakin ke sini kelihatannya semakin memburuk.
Pada pasal 4 UU No.2/89 dikatakan bahwa tujuan pendidikan kita ialah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,…. Yang dijadikan core dalam tujuan ini ialah manusia
seutuhnya, sedangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa sejajar dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan (dan seterusnya). Akibat dari rumusan ini ialah kurikulum terkompartemental, yaitu pembentukan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa hanya menjadi tugas guru agama, sama dengan pengajaran Matematika hanya menjadi tugas guru Matematika. Dan itulah yang terjadi selama ini. Bila manusia beriman dijadikan core maka tugas pembentukan manusia beriman itu akan menjadi tugas guru agama, guru lainnya, kepala sekolah dan orang tua murid. Dengan cara begitu pendidikan agama akan berhasil maksimal. Bila pendidikan agama tidak dijadikan core sistem (dengan sendirinya menjadi core kurikulum), dijamin pendidikan agama tetap tidak akan berhasil sekalipun berbagai perbaikan dilakukan.
Yang kedua, pendekatan yang digunakan guru agama selama ini hanyalah pendekatan rasional. Ini memang perlu untuk aspek pengisian pengetahuan agama. Tetapi untuk aspek penanaman iman pendekatan rasional itu tidak berdaya.
Banyak hadis yang menjelaskan bahwa inti iman adalah rasa, yaitu merasa dilihat Tuhan. Nah, untuk menghasilkan lulusan yang selalu merasa dilihat Tuhan bagaimana? Di sinilah kekurangan kita selama ini. Seharusnya selain pendekatan rasional (untuk aspek pengetahuan) kita tambahkan pendekatan rasa (untuk menanamkan rasa iman). Pendekatan rasa ini untuk sementara kita sebut saja pendekatan tasawuf. Itu bukanlah berarti murid-murid harus mengamalkan tasawuf; itu hanyalah nama pendekatan.
Bila pendekatan rasional menurunkan metodologi pengajaran tertentu yang sudah dengan baik dikuasai dan digunakan guru agama, maka pendekatan tasawuf juga memiliki metodologi pengajaran tertentu yang belum diketahui dan belum digunakan dengan baik oleh guru agama.
Kesimpulan
Jika kita menginginkan lulusan pendidikan kita berakhlak mulia, maka
(1) Jadikanlah pendidikan agama sebagai core sistem pendidikan nasional;
(2) Guru agama Islam menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan rasional dan pendekatan tasawuf.








IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
KE DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM



Oleh: Ahmad Tafsir




Disampaikan pada Acara
Temu Konsultasi Pengembangan Budi Pekerti dalam Kurikulum Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum




Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama
Jakarta, 8 Mei 2001

M U R I D

Dalam bahasa Indonesia ada tiga sebutan untuk pelajar, yaitu murid, anak didik, dan peserta didik. Salah satu tesis magister mengenalkan istilah baru yaitu “dinidik” tetapi kelihatannya istilah itu amat tidak umum bahkan belum banyak orang yang mengenalnya.
Sebutan murid bersifat umum, sama umumnya dengan sebutan anak didik dan peserta didik.
Istilah murid kelihatannya khas pengaruh agama Islam. Di dalam Islam istilah ini diperkenalkan oleh kalangan shufi. Istilah murid dalam tasauf mengandung pengertian orang yang sedang belajar menyucikan diri dan sedang berjalan menuju Tuhan. Yang paling menonjol dalam istilah itu ialah kepatuhan murid pada guru (mursyid) nya. Patuh di sini adalah dalam arti tidak membantah sama sekali. Hubungan guru (mursyid) dan murid adalah hubungan searah. Pengajaran berlangsung dari subyek (mursyid) ke obyek (murid). Dalam ilmu pendidikan hal seperti ini disebut pengajaran berpusat pada guru.
Sebutan anak didik mengandung pengertian guru menyayangi murid seperti anaknya sendiri. Faktor kasih sayang guru terhadap anak didik dianggap salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Dalam sebutan anak didik agaknya pengajaran masih berpusat pada guru, tetapi tidak lagi seketat pada guru-murid seperti di atas.
Sebutan peserta didik adalah sebutan yang paling mutakhir. Istilah ini menekankan pentingnya murid berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Dalam sebutan ini aktivitas pelajar dalam proses pendidikan dianggap salah satu kata kunci. Jika kita prosentasekan, mungkin kira-kira begini: pada pengajaran guru-murid kegiatan 100% pada guru, murid 0%; pada pengajaran guru-anak didik, mungkin 75% pada guru 25% pada anak didik; pada pengajaran guru-peserta didik, 50% pada guru 50% pada murid. Dalam pandangan paling mutakhir para ahli menghendaki murid aktif sampai dengan 75%, bahkan bila mungkin biarlah guru berperan 0%. Jadi perubahan istilah dari murid ke anak didik kemudian menjadi peserta didik, agaknya bermaksud memberikan perubahan pada peran pelajar dalam proses pembelajaran.
Dalam pendidikan, istilah mana sebenarnya yang paling tepat? Saya memilih istilah murid. Jadi, istilah murid lah yang paling tepat bagi semua orang yang sedang belajar pada guru, bukan anak didik dan bukan pula peserta didik. Saya pilih istilah murid karena mengandung banyak kelebihan dibandingkan dengan dua istilah lainnya.
Sa’id Hawwa (Sa’id Hawwa, Mensucikan Jiwa, Penerjemah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Jakarta, Robbani Press, 1999) menjelaskan adab dan tugas murid (yang dapat juga disebut sifat-sifat murid) sebagai berikut ini.
Pertama, murid harus mendahulukan kesucian jiwa sebelum lainnya. Sama halnya dengan shalat, ia tidak sah bila tidak suci dari hadats dan najis. Menyemarakkan hati dengan ilmu tidak sah kecuali setelah hati itu suci dari kekotoran akhlak. Intinya di sini ialah murid itu jiwanya harus suci. Indikatornya terlihat pada akhlaknya.
Kedua, murid harus mengurangi keterikatannya dengan kesibukan duniawiah karena kesibukan itu akan melengahkan dari menuntut ilmu. Tuhan menyatakan bahwa Ia tidak akan menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongga dadanya (al-Ahzab:4). Jika pikiran terpecah maka murid tidak akan dapat memahami hakikat. Karena itu dikatakan
“ Ilmu tidak akan memberikan kepadamu sebagiannya sebelum kamu menyerahkan kepadanya seluruh jiwamu; jika kamu telah memberikan seluruh jiwamu kepadanya tetapi ia baru memberikan sebagiannya kepadamu maka itu berarti kamu dalam bahaya.” Pikiran yang terpencar pada berbagai hal adalah seperti sungai kecil yang airnya berpencar kemudian sebagiannya diserap tanah dan sebagian lagi menguap ke udara sehingga tidak ada air yang terkumpul dan sampai ke ladang tanaman. Intinya ialah murid harus berkonsentrasi pada menuntut ilmu, tidak mengkonsentrasikan diri pada selain itu.
Ketiga, tidak sombong terhadap orang yang berilmu, tidak bertindak sewenang-wenang terhadap guru; ia harus patuh kepada guru seperti patuhnya orang sakit terhadap dokter yang merawatnya. Murid harus tawadldlu’ kepada gurunya dan mencari pahala dengan cara berkhidmat pada guru.
Di antara sikap sombong terhadap guru ialah ia tidak mengambil manfaat dari ilmu yang diajarkan guru. Ilmu itu enggan terhadap murid yang congkak seperti enggannya banjir terhadap tanah tinggi. Intinya ialah patuh pada guru; tawadldlu’ itu salah satu indikator kepatuhan.
Keempat, orang yang menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga diri dari mendengarkan perbedaan pendapat atau khilafiah antar mazhab karena hal itu akan membingungkan pikirannya. Perbedaan pendapat dapat diberikan pada belajar tahap lanjut.
Kelima, penuntut ilmu harus mendahulukan menekuni ilmu yang paling penting untuk dirinya. Jika usianya mendukung barulah ia menekuni ilmu lain yang berkaitan dengan ilmu paling penting tersebut.
Keenam, tidak menekuni banyak ilmu sekaligus, melainkan berurutan dari yang paling penting. Ilmu yang paling utama ialah ilmu mengenal Allah.
Ketujuh, tidak memasuki cabang ilmu sebelum menguasai cabang ilmu sebelumnya. Ilmu itu sifatnya beratahap dan berurutan. Antara satu ilmu denagan ilmu lainnya seringkali memiliki sifat prerequisite.
Kedelapan, hendaklah mengetahui ciri-ciri ilmu yang paling mulia, itu diketahui dari hasil belajarnya, dan kekuatan dalilnya. Contoh (dari segi hasil): hasil belajar ilmu agama ialah kehidupan yang abadi, sedangkan hasil belajar ilmu kedokteran ialah kehidupan yang fana. Jadi belajar ilmu agama lebih utama ketimbang belajar ilmu kedokteran.
Dari sekian adab dan tugas murid yang dijelaskan oleh Sa’id Hawwa tersebut di atas ada dua hal yang menjadi inti, yaitu pertama, murid harus selalu berusaha menyucikan jiwanya, dan kedua, murid harus patuh pada guru.
Dalam uraian Hawwa tersebut konsep yang ada pada istilah anak didik, yaitu guru sayang pada anak didikr seperti pada anaknya sendiri, sudah tercakup, dan itu lebih jelas lagi pada uraiannya tentang kewajiban guru. Yang belum jelas dalam uraian Hawwa tersebut ialah konsep penting yang terkandung dalam istilah peserta didik. Bahkan, ada kesan, konsep murid dalam uraian di atas mengabaikan peran serta murid dalam proses pendidikan.
Konsep tentang adab dan tugas murid dalam uraian Hawwa tersebut di atas adalah murid dalam konteks tasauf. Sekalipun demikian konsep itu dapat juga diterima dalam konsep murid secara umum.
Konsep adab dan tugas murid dalam pendapat Hawwa itu dapat dibakukan untuk sebutan pelajar di sekolah apa pun dengan penambahan pada dua segi, yaitu pertama peran serta murid dalam pembelajaran diperhitungkan dan kedua daya kreatif murid harus dikembangkan.
Berdasarkan uraian di atas agaknya dapat disimpulkan konsep sebagai beikut:
1. Istilah yang paling tepat untuk pelajar ialah murid, bukan anak didik atau peserta didik;
2. Istilah murid mencakupi 5 konsep berikut:
- Murid harus berusaha mensucikan batinnya;
- Murid harus menganggap bahwa belajar dan menyucikan batin itu adalah
suatu bentuk ibadah;
- Murid berhak mendapat kasih sayang dari gurunya;
- Muris harus dikembangkan daya kreativitasnya dalam pembelajaran.
Alasan pemilihan istilah “murid” karena istilah itu berisi konsep yang lebih menjamin tercapainya tujuan pendidikan yaitu terwujudnya manusia yang memiliki kemanusiaan yang tinggi.

TUJUAN PENDIDIKAAN

Tujuan pendidikan akan sama dengan gambaran manusia terbaik menurut orang tertentu. Mungkin saja seseorang tidak mampu merumuskan dengan kata-kata atau tertulis tentang bagaimana manusia yang baik yang ia maksud. Sekalipun demikian tetap saja ia menginginkan tujuan pendidikan itu haruslah manusia terbaik. Tujuan pendidikan sama dengan tujuan manusia. Manusia menginginkan semua manusia, termasuk anak keturunannya, menjadi manusia yang baik. Sampai di sini tidaklah ada perbedaan antara seseorang dengan orang lain mengenai tujuan pendidikan. Perbedaan akan muncul tatkala merumuskan ciri-ciri manusia yang baik itu.
Kualitas baik bagi seseorang biasanya ditentukan oleh pandangan hidupnya. Bila pandangan hidupnya berupa agama, maka manusia yang baik itu adalah manusia yang baik menurut agamanya. Bila pandangan hidupnya sesuatu filsafat, maka manusia yang baik itu adalah manusia yang baik menurut filsafatnya itu. Bila pandangan hidupnya berupa warisan nilai dari nenek moyang, maka manusia yang baik itu adalah manusia yang baik menurut pandangan nenek moyangnya itu. Yang paling banyak terdapat di dunia ini ialah campuran ketiga sumber nilai tersebut.
Dari sinilah muncul perbedaan-perbedaan tentang tujuan pendidikan. Perbedaan itu dipersempit tatkala negara itu merumuskan tujuan pendidikan negara (tujuan pendidikan nasional) nya. Tatkala membuat rumusan terjadilah “perdebatan” berkepanjangan. Penganut agama menginginkan tujuan pendidikan negara dirumuskan berdasarkan agamanya; orang filsafat menginginkan tujuan pendidikan negara ditentukan oleh ajaran filsafatnya; penganut warisan nenek moyang demikian juga.
Untunglah setiap negara mempunyai filsafat negaranya. Sesuai dengan filsafat negaranya itu negara tersebut merumuskana tujuan pendidikan negaranya. Dari jurusan ini akan muncul tujuan pendidikan menurut masing-masing negara. Ini jauh lebih sempit dibandingkan tujuan pendidikan menurut orang demi orang.
Katakanlah ada satu rumusan tujuan pendidikan dalam satu negara. Apakah itu merupakan jaminan dalam negara itu tidak ada orang yang menginginkan rumusan yang lain? Tentu ada, karena filsafat negara belum tentu diyakini terbaik oleh semua warga negara. Gejala ini jelas kelihatan tatkala wakil-wakil rakyat negara itu merumuskan tujuan pendidikan negaranya. Akhirnya apa yang terjadi? Yang terjadi ialah rumusan tujuan pendidikan negara dtetapkan dengan voting wakil rakyat. Ini berarti rumusan itu tidak benar-benar disepakati oleh seluruh warga negara.
Apakah ini berlaku untuk selama-lamanya? Ya, ini akan berlaku untuk selama-lamanya. Sesuatu keyakinan adalah milik orang yang meyakini. Keyakinannya itu tidak dapat diubah –dengan cara apapun- oleh pihak lain, oleh kekuasaan negara sekalipun.
Jika demikian maka rumusan tujuan pendidikan dapat menjadi penyebab perpecahan suatu negara. Ya, dan tidak. Ya, jika negara memaksakan semua usaha pendidikan harus melaksanakan pendidikan persis seperti rumusan tujuan itu. Tidak, bila negara memboleh kan usaha pendidikan menambahi atau mengurangi rumusan tujuan itu, asal dapat menjamin lulusannya menjadi warga negara yang baik (menurut undang-undang negara).
Perdebatan dapat juga terjadi karena rumusan tujuan pendidikan dianggap tidak sesuai dengan filsafat negara. Sebenarnya perdebatan ini wajar saja, karena pemahaman terhadap isi filsafat negara mungkin saja tidak persis sama antara orang yang satu orang lainnya.
Menghadapi perbedaan-perbedaan pendapat itu kita harus mengambil sikap demokratis. Artinya, biarkan rumusan itu, dukung pelaksanaan rumusan itu, demi beroperasinya negara, dengan syarat rumusan itu tidak menyimpang jauh sehingga mengancam keberlangsungan negara tersebut.

Kamis, 09 Oktober 2008

KORUPSI SEBAGAI PENYAKIT JIWA

Oleh: AhmadTafsir

Siapa yang tidak mengenal kata korupsi? Kata ini amat terkenal akhir-akhir ini. Kata inilah yang menjadi salah satu penyebab utama krisis yang menghimpit kita sekarang.
Gampang sekali orang membuat perkiraan si A melakukan korupsi. Sering kita mendengar orang berkata “Saya tahu jumlah pendapatannya setiap bulan, ia tidak merangkap pekerjaan lain, saya tahu gaji pokoknya. Kok ia kaya sekali? Pasti ia melakukan korupsi.” “Saya tahu gaji bupati, saya tahu ia tidak memiliki tambahan lain, tapi kok hidupnya mewah sekali, pasti ia korupsi.” Begitulah ocehan yang sering kita dengar. Korupsi memang ada sekalipun sulit dibuktikan. Berikut sedikit analisis tentang korupsi.

Bagaimana Cara Melakukan Korupsi?
Sebenarnya korupsi itu sangat sulit dilakukan karena korupsi tidak pernah dilakukan sendirian. Korupsi harus dilakukan bersama orang atau pihak lain. Korupsi pasti dilakukan oleh sekurang-kurangnya dua orang. Selalu ada kolusi dalam tindak korupsi.
Kolusi juga tidak mudah dilakukan. Kolusi akan mudah dilakukan bila ada teman dekat dan teman dekat itu biasanya didasari sesuatu hubungan, mungkin hubungan darah, sebahasa, sekampung, secita-cita, atau lainnya. Kolusi dengan teman dekat inilah yang disebut nepotis.
Urutan korupsi itu kira-kira sebagai berikut: korupsi -- kolusi -- nepotis. Ketiganya ini tidak dapat dipisahkan. Yang inti adalah korupsi. Itulah sebabnya KKN itu cukup diwakili kata korupsi saja atau kata korupsi maknanya ialah KKN.
Berdasarkan urutan pemikiran itu kita dapat membuat kesimpulan: memberantas KKN ialah memberantas korupsi; bila korupsi hilang maka kolusi dan nepotis pada hakikatnya akan hilang. Berdasarkan pemikiran itu kita dapat pula membuat kesimpulan lain: kolusi dan nepotis sebenarnya tidak berbahaya asal saja tidak diikuti korupsi.

Obyek Korupsi
Bila kita mendengar kata korupsi segera saja pikiran kita melayang pada setumpuk
uang atau benda berharga lainnya. Sebenarnya korupsi itu obyeknya tidak selalu uang atau materi berharga. Obyek korupsi dapat juga berupa kedudukan atau harga diri. Berikut ini pembahasan dibatasi pada korupsi dengan obyek uang atau benda berharga.
Dapatkah korupsi diberantas? Ada yang dapat dengan mudah ada yang sangat sulit. Korupsi yang wajar mudah diberantas, sedangkan korupsi yang tidak wajar sangat sulit diberantas. Memangnya ada korupsi yang wajar dan ada yang tidak wajar? Ya, berikut ini keterangannya.

Dua Macam Korupsi
Korupsi wajar ialah korupsi yang logis, artinya, korupsi itu dilakukan dengan alasan logis atau wajar. Seorang guru telah berdinas dua puluh tahun. Setahun lagi ia akan pensiun, cicilan rumah sederhana (RS)nya belum lunas, masih 4 tahun lagi. Ia amat membutuhkan uang untuk melunasi RSnya, bila ia pensiun ia tidak akan mampu menyisihkan uang pensiunnya untuk meneruskan cicilannya. Ia amat membutuhkan. Ini adalah alasan logis. Seolah-lah ia berkata “Saya terpaksa korupsi sekali ini saja, sesudah itu saya akan tobat, tobaaat.” Inilah korupsi yang wajar, yaitu korupsi yang logis, menurut pandangan logika, bukan menurut pandangan agama. Korupsi yang wajar ini amat mudah diberantas.
Korupsi yang sangat sulit diberantas ialah korupsi yang tidak wajar, yaitu korupsi yang tidak mempunyai alasan yang logis. Menurut logika ia tidak boleh melakukan korupsi, tetapi kenyataannya ia lakukan. Tentu aneh. Ya, memang aneh. Itulah sebabnya kita sebut korupsi tak wajar. Mungkin Anda tidak percaya ada orang korupsi tidak wajar. Saya katakan kepada Anda “Anda harus percaya, karena justru korupsi model inilah yang banyak.”
Ada seseorang yang memiliki jabatan yang bagus, gajinya besar, kadang-kadang disedikan berbagai fasilitas untuknya, pendapatan di luar gaji (dan sah) cukup besar, ditambah mendapat warisan yang lumayan. Walhasil ia dapat disebut orang kaya. Tapi ia melakukan korupsi juga. Ini tidak wajar. Ini tidak logis. Ada dua alasan untuk mengatakan itu tidak wajar.
Pertama, tidak wajar, karena untuk apa ia melakukan korupsi? Perlu rumah, rumah sudah ada; perlu mobil, mobil sudah ada; perlu deposito, deposito sudah ada; ia tidak kekurangan materi. Tetapi ia korupsi? Mengapa? Di sini ada rahasia, nanti saya bongkar rahasia itu.
Kedua, tidak wajar, karena ia mengetahui bila korupsinya diketahui (terbongkar) ia akan malu besar. Orang akan berkata “Terlalu, sudah begitu kaya kok masih korupsi.” Orang lain berkata “Hewan saja hanya mengambil sesuai kebutuhan, tak tahu malu.” “Apa ia tidak kasihan pada isteri, anak-anak dan keluarganya?” kata yang lain.
Korupsi ini tidak wajar dilakukannya karena ia pun tahu bila terbongkar kedudukannya akan terancam, ia mungkin dipecat bahkan mungkin ke pengadilan dan dipenjara. Orang akan berkata “Sayang sekali, sudah begitu kaya kok korupsi, akhirnya dipenjara.” Yang lain berkata “Kan sayang, beliau kan tokoh yang dipuji-puji, beliau orang terkenal.”
Kesimpulannya amat jelas bahwa korupsi tak wajar itu adalah korupsi tanpa alasan yang logis, justru alasannya akan sangat merugikan dan membahayakan. Ia tidak membutuhkan, ia tahu itu berbahaya. Tetapi yakinlah Anda justru korupsi yang tidak wajar inilah yang banyak terdapat. Aneh kan?

Korupsi sebagai Penyakit Jiwa
Bagi orang yang telah cukup mendalam mempelajari manusia, perangai seperti itu tidaklah dianggapnya aneh. Itu biasa. Bagaimana penjelasannya? Inilah penjelasan tentang rahasia yang saya sebutkan sebelum ini.
Korupsi yang tidak wajar itu sebenarnya sulit sekali dilakukan karena tidak ada alasan (baik secara psikologis maupun logis) untuk melakukannya. Kalimat itu berlaku bagi orang normal, orang sehat secara psikologis. Korupsi yang tidak wajar itu hanya mungkin dapat dilakukan oleh orang yang tidak normal, yaitu orang yang secara psikologis sakit. Karena ia sedang sakit, maka ia lakukan juga sekalipun tidak logis. Orang yang secara psikologis sakit memang sering melakukan tindakan yang tidak logis. Sesuatu yang salah bagi orang sehat dapat saja dianggap benar oleh orang sakit. Sama halnya orang yang demam malaria, gula dirasakannya pahit, sebenarnya gula itu manis bagi orang sehat. Inilah rahasia itu.
Apa ada orang berbuat tanpa alasan sama sekali? Sebenarnya tidak ada. Lalu, orang yang melakukan korupsi tidak wajar itu apa sebenarnya alasannya? Tadinya saya tidak tahu alasannya, tetapi setelah saya membuka-buka al-Qur`an saya temukan alasan itu dalam surat al Humazah. Di situ dikatakan (ayat 1-2) “Celaka besar pengumpat dan pencela, pengumpul harta dan menghitung-hitungnya.” Pada kata “menghitung-hitungnya” itulah pemecahan rahasia tadi.
Mengapa ia korupsi, padahal ia tidak kekurangan sesuatu apapun, padahal ia tahu itu sangat berbahaya? Ia sedang sakit jiwa. Sakitnya ialah senang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Jika hartanya berkurang maka penyakitnya akan memberikan penderitaan kejiwaan padanya; jika sebulan hartanya tidak bertambah, maka ia merasakan penderitaan. Katakanlah ia memiliki 5 mobil, lantas hilang satu, ia akan amat menderita, sekalipun ia masih punya 4 mobil. “Mengapa harus menderita?” kata Anda, “Toh ia masih punya 4?” Itulah penyakitnya. Yang menyebabkan ia merasakan penderitaan itu ialah penyakitnya itu, bukan mobil yang hilang itu. Tadinya ada 5 dalam hitungannya, setelah hilang tinggal 4 dalam hitungannya. Hitungan yang mengecil itulah penyebab penderitaan.
Penyakit jiwa jenis ini memang aneh. Kesenangannya menghitung-hitung: “Sawahku sekian hektar di sana, kaplingku sekian puluh di situ, mobilku sekian buah, depositoku sekian juta, dan seterusnya. Ia senang menghitung-hitung. Bila seminggu atau sebulan (tergantung beratnya penyakit) hartanya tidak bertambah, maka ia akan merasakan penderitaan yang bersangatan. Penderitaan itu dapat berupa kegelisahan, dada berdebar-debar, gampang marah, sulit tidur, kurang nafsu makan, kurang bergairah terhadap isteri. Harta tidak bertambah dalam sebulan. Inilah sebabnya ia nekat melakukan korupsi sekalipun ia tahu itu sangat berbahaya, akan mendatangkan malu, akan dicopot dari jabatan, bahkan akan masuk penjara. Ia seolah-olah berkata dalam hatinya, “Biar aku malu, biar aku dicopot, peduli amat anak-anakku, biar aku dipenjara, tak apa-apa, asal penderitaanku sekarang berkurang.” Apa penderitaannya? Setelah seminggu atau sebulan, setelah dihitung-hitung hartanya tidak bertambah. “Tidak bertambah” itulah yang menjadi penyebab penderitaan. Dia itu ditekan, dipaksa, oleh penyakitnya itu, untuk melakukan korupsi. Inilah penjelasan dari Allah. Maha benar Allah. Terima kasih Allah, tadinya saya tidak tahu penjelasannnya, dari firmanMu itulah aku memperoleh penjelasan.

Penyembuhan
Lalu, bagaimana penyembuhannya? Penyembuhannya sangat sulit karena yang bersangkutan tidak mengetahui bahwa ia sedang sakit, ia justru menganggap kelakukannya itu baik. Ini gejala umum pada penderita penyakit jiwa. Bahkan sering kali orang sakit jiwa
mengatakan dokternya itulah yang sakit, bukan dia.
Karena korupsi tak wajar itu merupakan salah satu bentuk penyakit jiwa mungkin Anda langsung menebak “Psikologlah yang dapat menyembuhkan.” Tetapi apa yang akan dilakukan oleh psikolog? Ia hanya akan mengatakan “Kau kalau mau sembuh berhentilah menghitung-hitung harta.” Saya dapat pastikan psikolog itu tidak akan berhasil menyembuhkanya. Karena apa? Karena orang itu tidak tahu bahwa sedang ia sakit. Ia justru membanggakan penyakitnya itu. Ia akan berkata “Mengapa saya dilarang menghitung-hitung harta saya”? Tetapi bila psikolog itu dapat meyakinkannya tentang perlunya tobat, lantas memperkuat iman, maka ia akan sembuh.
Koruspi, sebenarnya hanya dapat dilakukan oleh orang yang akhlaknya rendah, orang yang berakhlak mulia, minta ampuun, tidak akan sanggup melakukannya. Akhlak rendah itu disebabkan oleh iman yang lemah. Karena itu perkuatlah imannya. Konsep inilah seharusnya yang diresepkan oleh psikolog itu.
Memperkuat iman itu dapat dilakukan dengan cara mendekatkan diri kepada Allah. Bagaimana mendekatkan diri kepada Allah? Cara paling cepat dekat dengan Allah ialah: Menjadi dermawan, tidak menyakiti orang Islam, puasa sunat, dzikir dan wirid. Tetapi sebelum itu lakukanlah perintah-perintah wajib.
Mengapa penyakit itu sembuh bila kita dekat dengan Allah? Bila kita dekat dengan Allah maka sebagian sifat Allah itu akan melekat pada kita. Sama halnya bila kita dekat api unggun maka sifat panas api sebagiannya akan menular atau pindah dan melekat pada kita. Bila kita menjauh dari api maka sifat panas itu akan menghilang, karena itu kita harus selalu dekat dengan Allah.
Bila sifat Allah itu sebagian (tentu sebagian amat kecil) melekat pada kita tentu sifat kita pun akan mirip sifat Allah. Allah mengutuk korupsi, maka kita pun akan mengutuk korupsi. Bila telah mengutuk tentu sembuh.

HAKIKAT MANUSIA

Harus dibicarakan lebih dahulu tentang siapa manusia itu sebenarnya. Itu berarti kita harus berbicara tentang hakikat manusia. Pendidikan yang baik harus didisain sesuai dengan pengertian kita tentang hakikat manusia. Apa hakikat manusia?
Penjelasan yang terbaik tentang hakikat manusia ialah penjelasan dari pencipta manusia itu. Penjelasan oleh rasio manusia akan mempunyai kelemahan karena akal itu terbatas kemampuannya. Bukti terbaik tentang keterbatasan akal ialah akal itu tidak mengetahui apa akal itu sebenarnya.
Berikut dijelaskan hakikat manusia menurut al-Qur`an. Al-Qur`an adalah kitab yang dipercayai memuat firman Tuhan dan masih asli.
Menurut al-Qur`an manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan. Jadi, manusia itu berasal dan datang dari Tuhan. Bila ada argumen yang kuat untuk membuktikan bahwa manusia bukan ciptaan Tuhan dan argumen itu lebih kuat ketimbang argumen yang membuktikan bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan, maka yang akan kita ambil ialah pndapat yang mengatakan bahwa manusia bukan ciptaan Tuhan. Dan bila itu yang diambil maka harus juga dijelaskan bagaimana cara munculnya manusia itu.
Al-Qur`an menyatakan bahwa manusia itu mempunyai unsur jasmani (material) dan itu sungguh-sungguh. Itu dijelaskan dalam al-Qur`an antara lain dalam surat al-Qashash ayat 77. Di dalam surat al-A’raf ayat 31 Tuhan mengatakan bahwa makan dan minum bagi manusia adalah suatu keharusan. Ini suatu indikasi bahwa manusia itu memiliki unsur jasmani. Al-Syaibani (1979:131-132) mengutip tiga buah hadis nabi Muhammad saw yang menerangkan bahwa manusia itu mempunyai aspek jasmani. Tidak ada pendapat di kalangan ulama muslim yang meremehkan fungsi jasmani. Pengakuan pentingnya fungsi jasmani dalam Islam terlihat juga di dalam al-Qur`an surat al-Baqarah ayat 57, 60, 168; begitu juga di dalam surat al-A’raf ayat 31-32.
Akal adalah salah satu aspek penting dalam hakikat manusia. Ini dijelaskan dalam banyak tempat di dalam al-Qur`an. Harun Nasution (1982:39-48) menjelaskan bahwa ada tujuh kata yang digunakan al-Qur`an untuk mewakili konsep akal. Pertama kata nazara, seperti di dalam surat Qaaf ayat 6-7, surat al-Thaariq ayat 5-7, al-Ghasiyah 17-20. Kedua kata tadabbara, seperti dalam surat Shaad ayat 29, surat Muhammad ayat 24. Ketiga kata tafakkara, seperti di dalam surat al-Nahl ayat 68-69, al-Jatsiyah ayat 12-13. Keempat kata faqiha, kelima kata tadzakkara, keenam kata fahima, dan ketujuh kata ‘aqala.
Kata-kata itu semua menunjukkan bahwa al-Qur`an mengakui bahwa akal adalah aspek penting dalam hakikat manusia. Akal adalah alat untuk berpikir. Jadi, dengan demikian, salah satu hakikat manusia ialah ia ingin, ia mampu, dan ia melakukan berpikir.
Abdul Fattah Jalal (1988:57-58) menjelaskan bahwa kata ‘aqala di dalam al-Qur`an kebanyakan digunakan dalam bentuk fi’l (kata kerja), hanya sedikit dalam bentuk ism (kata benda); itu menunjukkan bahwa pada akal yang penting ialah berpikir bukan akal sebagai otak berupa benda. Menurut Jalal juga (1988:58), kata ‘aqala menghasilkan kata ‘aqaluhu, ta’qiluna, na’qilu, ya’qiluha, dan ya’qiluna, dimuat di dalam al-Qur`an pada 49 tempat. Kata al-albaab (jamak dari al-lubb) juga berarti akal, terdapat di dalam al-Qur`an pada 16 tempat. Tambahan dari Jalal itu memperjelas pemahaman kita bahwa akal atau berpikir adalah salah satu unsur manusia yang hakiki.
Aspek lainnya ialah ruh atau ruhani. Penjelasan al-Qur`an tentang aspek ini terdapat di dalam al-Qur`an antara lain dalam surat al-Hijr ayat 29: Tatkala Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan meniupkan ke dalamnya ruhKu, maka sujudlah kalian kepadanya. Ayat yang sama terdapat di dalam surat Shaad ayat 72. Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa manusia memiliki ruh.
Al-Syaibani (1979:130) menyatakan bahwa manusia memiliki tiga potensi yang sama pentingnya jaitu jasmani, akal, dam ruh. Muhammad Quthb (1988:31) menyatakan bahwa eksistensi manusia ialah jasmani, akal, dan ruh; ketiganya menyusun manusia menjadi satu kesatuan.
Apa hakikat jasmani itu? Jelas. Apa hakikat akal itu? Sebagiannya kita ketahui, sebagian lainnya tidak. Jadi, mengenai hakikat akal kurang jelas. Apa hakikat ruh atau ruhani itu? Ini tidak jelas sama sekali. Tuhan mengatakan di dalam surat al-Israa` ayat 85 bahwa pengetahuan manusia tidak mencukupi untuk mengetahui hakikat ruh.
Abdul Fattah Jalal mencoba membedakan antara ruh dan qalb; menurutnya dua potensi itu tidak sama, tetapi ia tidak menjelaskan perbedaannya dan tidak pula mendefinisikannya. Menurutnya (1988:62-64), kata al-qalb dan al-quluub tertulis 132 kali di dalam al-Qur`an, di samping itu ada juga kata al-fu`ad yang secara bahasa berarti al-qalb juga; selain itu al-Qur`an juga menggunakan kata al-shadr dan shuduur yang berarti dada tetapi menunjuk pengertian al-qalb.
Pengkajian tentang hakikat manusia menyimpulkan bahwa unsur ruh atau ruhani, yang memiliki nama antara lain al-qalb tadi, ternyata amat penting. Al-Qalb, yang di sini diartikan ruhani, adalah tempat bersemayamnya iman. Iman itu tidak bersemayan di jasmani, tidak juga di akal, ia di al-qalb.
Iman itu di dalam al-qalb atau ruhani. Ini disebutkan di dalam al-Qur`an surat al-Ma`idah ayat 41. Surat al-Hujaraat ayat 14 lebih tegas lagi menerangkan hal itu: Orang-orang Arab Baduwi itu berkata, kami telah beriman; katakan kepada mereka bahwa mereka belum beriman, mereka mestinya mengatakan kami telah tunduk, karena iman belum masuk ke dalam qalb mereka.
Ayat ini menjelaskan bahwa iman itu tempatnya di al-qalb. Kita menerjemahkan al-qalb dengan kalbu. Menurut al-Qurthubi (Jalal:1988:63) kata al-quluub dibaca rafa’ (al-qulubu) karena berfungsi sebagai subyek (fa’il) dan takwa diidlafatkan (disandarkan) kepada kata al-quluub karena takwa itu ada di dalam hati. Nabi Muhammad saw berkata Takwa itu ada di sini, sambil ia menunjuk ke arah dadanya.
Abdul Fattah Jalal tidak menjelaskan apa hakikat ruh itu. Ia juga mengutip al-Qur`an surat al-Israa` ayat 85 yang mengatakan bahwa manusia tidak akan dapat memahami hakikat ruh. Ia hanya mengomentari bahwa ruh itu ditiupkan ke dalam segumpal tanah liat lantas Adam itu hidup, ruh itu ditiupkan ke alam janin lantas janin itu hidup.

PERLUKAH MATA PELAJARAN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH?

Oleh: Ahmad Tafsir



Orang-orang Yunani Lama mengatakan bahwa tugas filosof yang paling utama ialah mendidik manusia agar menjadi manusia. Maksudnya, agar manusia itu memiliki kemanusiaan yang lebih tinggi. Ada derajat-derajat kemanusiaan. Ada orang yang memiliki derajat kemanusiaan yang tinggi, ada yang sedang dan ada yang rendah. Amanat ini diulangi lagi oleh Nietzsche lebih kurang 2500 tahun kemudian dengan mengatakan bahwa tugas manusia ialah menjadi manusia.
Menjadi manusia? Kok aneh. Bukankah kita manusia ini sejak kecil sudah merasa menjadi manusia? Nietzsche menjelaskan bukti-bukti -pada zamannya- bahwa banyak sekali orang tidak berhasil menjadi manusia. Mereka saling menyikut, saling menjatuhkan, merusak alam lingkungan, ingin benar sendiri, memaksakan kehendak dan seterusnya. Sifat-sifat itu tidak menunjukkan bahwa mereka itu manusia. Demikian kira-kira yang dimaksud Nietzsche. Kemudian J.P. Sartre mengulangi lagi keluhan seperti itu. Ia juga melihat pada zamannya, yang nota bene sudah betul-betul zaman moderen, kelakuan manusia masih sama dengan yang disaksikan Nietzsche, kalau bukan lebih buruk lagi.
Apa sebetulnya inti kekecewaan para filosof itu? Budi pekerti. Budi pekerti itu begitu rendah menurut pengamatan dan pemahaman mereka. Lantas mereka kecewa. Kemudian pada tahun 1977 Fritjof Capra menguraikan lagi hal serupa lebih luas dalam bukunya The Turning Point. Menurutnya, budi pekerti sekarang keterlaluan, dunia bukan telah berada di bibir tubir kehancuran seperti pada zaman Nietzsche melainkan telah hancur. Menurutnya pula perlu disusun dan diterapkan paradigma baru untuk menyusun kembali suatu kebudayaan yang di sana terdapat budi pekerti yang luhur. Begitu kira-kira ringkasan buku Capra yang tebal itu.
Ya, soal budi pekerti. Rasul-rasul Tuhan di utus ke dunia selalu membawa misi hendak memperbaiki budi pekerti umat manusia. Bahkan Muhammad saw, sebagai utusan Tuhan yang terakhir, membawa “hanya” satu misi yaitu memperbaiki budi pekerti umat manusia.
Uraian di atas telah mencukupi untuk menyimpulkan bahwa hal budi pekerti adalah salah satu
masalah paling utama dalam kehidupan ini. Karena itu wajarlah bila salah satu tugas pendidikan di
sekolah adalah menanamkan budi pekerti yang luhur pada anak didik.
Tatkala Pak Harto masih menjadi presiden kita, terjadi suatu perampokan dengan pemberatan yang luar biasa, di Bekasi. Tuan rumah dirampok hartanya, dibunuh, dan diperkosa. Menurut koran, ada di antara pelaku itu anak remaja. Koran dipenuhi oleh berita tentang kejadian itu. Segera saja berita itu menjadi pembicaraan orang. Orang berkata, bila hanya merampok okelah, tapi bila merampok disertai pembunuhan ditambah perkosaan, wah itu amat keterlaluan. Orang-orang geram membaca berita itu. Dan, entah bagaimana, Pak Harto ikut berbicara. Katanya, tolong diperhatikan pendidikan budi pekerti. Kira-kira begitulah isi kata-kata beliau ketika itu.
Sebagaimana biasa, jika presiden berbicara, para tokoh langsung saja laksana kucing terbakar kumis. Banyak sekali tokoh angkat bicara, termasuk ketua MUI ketika itu. Isi pembicaraan para tokoh itu sama: perlu ditingkatkan pendidikan budi pekerti. Dari sini lantas banyak tulisan di koran yang mengusulkan perlunya pendidikan budi pekerti di sekolah. Ada yang mengatakan bahwa anak sekolah sekarang pada nakal karena tidak adanya pendidikan budi pekerti di sekolah. Memang seperti ada benarnya karena dulu di Sekolah Rakyat (sekarang SD) memang ada pendidikan budi pekerti. Ujung-ujungnya muncul gerakan pemikiran yang amat penting yaitu menghendaki adanya mata pelajaran budi pekerti di sekolah. Bahkan kelihatannya ada usul yang lebih maju, perlu adanya mata pelajaran Budi Pekerti di sekolah terpisah dari mata pelajaran lainnya.
Nah, soal perlu atau tidak pendidikan budi pekerti di sekolah sebagai mata pelajaran tersendiri agaknya bukanlah persoalan yang sederhana. Itu bukan persoalan kecil. Saya kawatir banyak orang yang tidak mengetahui bahwa pemikiran itu sebenarnya tidak kuat basisnya dan saya juga kawatir banyak orang yang tidak mengetahui konsekwensi-konsekwensi pemikiran itu pada bagian ujungnya.
Ada tiga istilah dalam bahasa Indonesia yang artinya kadang-kadang dianggap sama oleh sementara orang, yaitu istilah Budi Pekerti, Etika dan Akhlak. Ini harus dijelaskan di sini.
Budi Pekerti adalah istilah netral. Ia merupakan ukuran buruk baik bagi perbuatan. Kita mengatakan kepada anak kita “Anak itu pekertinya amat baik, tirulah.” Yang kita maksud dengan “pekerti” adalah budi pekerti. “Remaja ini berbudi luhur”. Di sini “budi” adalah budi pekerti. Jadi, kita dapat menggunakan tiga kata: budi pekerti, budi, atau pekerti. Tidak berbudi, sama dengan tidak berpekerti, sama dengan tidak berbudi pekerti. Begitulah kira-kira. Budi pekerti adalah tuntunan sekaligus ukuran baik buruk perbuatan. Baik menurut apa? Belum dapat dijawab. Inilah yang dimaksud netral tadi. Budi pekerti itu akan jelas bila ia memakai kata etika atau akhlak.
Etika adalah budi pekerti menurut akal. Etika adalah ukuran baik buruk perbuatan menurut akal. Inilah yang biasanya berkembang di dunia Barat. Etika adalah cabang filsafat. Konon ada tiga cabang besar filsafat. Pertama, Teori Pengetahuan yang membicarakan hal tahu dan pengetahuan, kedua, Teori Hakikat yang membicarakan hakikat benda, dan ketiga, Teori Nilai yang membicarakan hal indah tidak indah (Estetika) dan baik buruk perbuatan (Etika). Karena Etika itu filsafat, dan sampai sekarang memang tetap filsafat, maka Etika itu adalah ukuran baik buruk perbuatan berdasar akal. Mana yang lebih baik satu isteri dan selingkuh di luar itu, atau memiliki banyak isteri tanpa selingkuh? Kira-kira, menurut akal, yang lebih baik ialah satu isteri dan selingkuh, asal tidak mengeluarkan uang dan tidak kena penyakit, kadang-kadang ditambah asal tidak diketahui isteri. Hal itu dapat terjadi bila ukuran yang digunakan adalah ukuran akal. Ukuran akal itu ialah logika yang inheren ada dalam akal itu. Mana yang lebih baik, jujur tapi merugikan orang lain atau bohong tapi menguntungkan orang lain. Jelas dong, lebih baik bohong tapi menguntungkan orang lain. Ini logis. Begitulah seterusnya bila akal digunakan dalam mengukur baik buruk perbuatan. Dan itulah Etika pada dataran esensinya.
Memang ada beberapa aliran Etika. Tetapi, pada aliran mana pun toh Etika itu tetap norma buruk baik perbuatan berdasarkan akal. Ada memang, aliran Etika yang berdasarkan agama, nah, yang ini menurut saya adalah akhlak.
Adapun Akhlak ia adalah budi pekerti yang ditentukan oleh agama. Dalam arti inilah nabi Muhammad saw diutus hanya untuk memperbaiki akhlak umat manusia. Akhlak ialah ukuran baik buruk perbuatan menurut agama.
Sekarang, apa yang dimaksud dengan Budi Pekerti yang perlu diajarkan di sekolah terpisah dari mata pelajaran lain? Budi Pekerti dalam pengertian mana? Bila Budi Pekerti yang dimaksud itu adalah Etika, itu sangat berbahaya, karena sebagian nilainya akan bertentangan dengan pelajaran Akhlak yang ada dalam mata pelajaran Agama. Bila dua-duanya diajarkan maka ancamannya ialah para murid kelak akan mengalami apa yang dikenal dengan split personality, yaitu kepribadian terpecah. Mengapa terpecah? Karena ada nilai yang dikatakan baik baik dan diajarkan oleh guru Budi Pekerti, sedang nilai itu buruk menurut ajaran Akhlak dari guru agama. Murid pilih yang mana? Tentu mereka menerima kedua-duanya karena guru itu sama dalam pandangan mereka, yaitu sama-sama harus ditiru dan digugu. Jadi, bila Budi Pekerti itu dalam arti Etika, ia dilarang keras diberikan di sekolah Indonesia. Bahayanya ya, itu tadi. Bila Budi Pekerti itu diartikan Akhlak, itu baik-baik saja, tetapi tidak usah diajarkan dalam mata pelajaran terpisah dari mata pelajaran Agama, karena akhlak itu sudah ada dalam pelajaran Agama, bahkan tadi dikatakan, inti pelajaran Agama (Islam) justru adalah akhlak. Dengan demikian jelas no way (tidak ada jalan) untuk memberikan pelajaran Budi Pekerti dalam bentuk mata pelajaran terpisah di sekolah, baik Budi Pekerti dalam arti Etika maupun Budi Pekerti dalam arti Akhlak.
Sekarang mulai kelihatan apa yang saya katakan di atas tadi bahwa pikiran tentang perlunya pendidikan Budi Pekerti tersendiri di sekolah kurang kuat basisnya. Mengapa kurang kuat?
Karena Pancasila itu tidak menghendaki adanya pendidikan Budi Pekerti. Inti Pancasila ialah keimanan, keimanan berarti harus beriman, harus beriman artinya harus beragama. Nah, dalam agama itu ada Budi Pekerti dalam arti akhlak. Bahkan tadi saya katakan, justru inti agama (Islam) adalah akhlak. Pikiran ini didasari pandangan bahwa Pancasila adalah filsafat negara dan filsafat menegara. Bila Pancasila sudah diganti, tentu uraian di atas tidak berguna. Ide tentang pendidikan Budi Pekerti di sekolah yang merupakan mata pelajaran tersendiri agaknya lebih sesuai dengan paham sekuler. Itu kelemahan pada dataran filsafat.
Tadi, di atas, saya pun mengatakan bisa jadi banyak orang tidak menyadari konsekwensi-konsekwensi yang akan muncul bila Budi Pekerti diajarkan terpisah dari agama. Seperti telah saya sebutkan, salah satu konsekwensinya ialah murid akan menderita kepribadian terpecah. Ini salah satu kelemahan pada dataran operasional. Tapi masih ada konsekwensi lain yaitu bila dilihat dari segi metodologis.
Para murid berakhlak mulia, sopan santun, di rumah, di masyarakat, di sekolah, di jalan raya, dan lain-lain, itu memang yang sangat kita idamkan. Salah seorang penyair besar Islam, Syauqi Bey, mengatakan bahwa bangsa adalah akhlaknya, hilang akhlak hilanglah bangsa itu. Agaknya apa yang dimaksud Syauqi Bey ini sama dengan yang dimaksud oleh beberapa tokoh besar Yunani Lama, Nietzsche dan Sartre tadi. Kita pun demikian, sekalipun kita bukan filosof. Sudah fitrahnya manusia itu menyenangi akhlak mulia. Yang aneh, penjahat pun menyenangi orang yang berakhlak mulia. Jadi, perlunya pendidikan akhlak di sekolah sudah jelas, tidak perlu lagi dibicarakan.
Tatkala dulu, menteri Wardiman, mengatakan bahwa masalah besar pendidikan kita ialah lulusan yang tidak sesuai dengan tuntutan lapangan kerja, banyak orang terperangah. Saya tidak. Karena menurut saya masalah paling besar dalam pendidikan kita ialah mengapa pendidikan kita masih sanggup menghasilkan koruptor, masih menghasilkan lulusan yang ingin menang sendiri, masih juga menghasikan lulusan yang suka memaksakan kehendak, dan sebangsanya. Kegagalan pendidikan kita terutama pada pendidikan akhlak. Ini kata kuncinya.
Agar pendidikan kita mampu menghasilkan lulusan berakhlak mulia sekurang-kurangnya perlu ditinjau dua hal. Pertama masalah paradigma kedua masalah operasional.
Inti Pancasila itu ialah keimanan, itu terlihat dengan jelas pada kelima gambar dalam lambang Pancasila. Di situ gambar bintang mengambil pojok-pojok empat gambar lainnya. Penjelasannya ada pada Mukaddimah UUD-45, yang meletakkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai inti. Jadi, inti (core) Pancasila adalah keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Konsep penting ini turun pada UUD-45, lihatlah pada bagian Mukaddimahnya. Selanjutnya konsep penting itu turun pula ke UU nomor 2 tahun 1989 pada pasl 4, tetapi kurang tegas. Tatkala konsep itu dicari dalam kurikulum sekolah, yaitu pada GBPP, nah, di sinilah konsep itu hilang. Ia gagal turun pada tahap operasional. Di sinilah, menurut saya, kekeliruan besar dalam pendidikan kita selama ini, bahkan sejak kemerdekaan.
Tidak turunnya konsep kunci itu ke dalam GBPP tentu membawa akibat penting. Akibat yang kelihatan ialah seolah-olah hanya guru agama saja yang bertanggung jawab dalam pendidikan keimanan itu. Bila disebutkan dalam GBPP bahwa core GBPP ini adalah pendidikan keimanan, maka hal pendidikan keimanan itu akan menjadi tanggung jawab kepala sekolah, semua guru, semua karyawan, kantin sekolah dan sebagainya. Kenyataannya, seperti yang kita saksikan, pendidikan keimanan di sekolah nyaris gagal, tandanya ialah akhlak anak-anak sekolah sebagiannya kurang baik, kenakalan meningkat. Tugas utama sekolah seharusnya menanamkan keimanan, iman yang kuat itulah yang akan memunculkan akhlak yang luhur dan penanaman iman itu bukan hanya tugas guru agama.
Sekarang, sebaiknya hal ini menjadi perhatian serius. Bila tidak, itu amat berbahaya, bisa-bisa krisis seperti yang kita alami sekarang terulang lagi. Perhatian serius itu dimulai dari memasang paradigma baru bagi pendidikan nasional kita, yaitu dengan meletakkan pendidikan keimanan sebagai inti (core) sistem pendidikan nasional pada semua jenjang dan jenis.
Pada tataran metodologis lain lagi persoalannya. Orang menyangka pendidikan akhlak itu dapat dilakukan melalui pengajaran akhlak. Ini sudah dilakukan oleh guru agama. Guru agama mengajarkan, murid mendengarkan dan mencatatnya. Diajarkan bahwa berbohong itu jelek, ruginya bila berbohong, untungnya bila jujur; ruginya bila boros, untungnya bila hemat; muliakan kedua orang tua lebih-lebih ibu karena surga terletak di bawah telapak kaki ibu, dan sebagainya dan sebagainya. Banyak sekali materi akhlak dalam pelajaran Agama (Islam) dan bila kurang masih boleh ditambah. Tapi, semua itu pengajaran (kognitif). Murid mengetahui dan bila diuji mereka dapat menjawab. Tetapi itu semua pengajaran. Dan guru agama telah berhasil dalam hal ini. Tetapi akhlak mereka sehari-hari bagaimana? Nah, ini dia.
Menurut Bloom (dan kawan-kawannya) bila sesuatu nilai sudah dipahami murid (kognitif), tentu mereka menerimanya (afektif), selanjutnya tentu -dengan sendirnya- mereka akan berbuat seperti itu (psikomotor). Contoh. Murid tahu bahwa mengukur luasan bentuk segi tiga adalah alas kali inggi dibagi dua (kognitif), ya kata mereka (afektif), dan bila mengukur tanah seperti itu mereka kalikan alas dengan tinggi bagi dua (psikomotor). Tetapi dalam hal nilai seperti akhlak halnya tidaklah seperti itu. Mereka tahu jujur itu baik bohong itu jelek (kognitif), dan mereka terima nilai itu, memang ya begitu kata mereka (afektif), tetapi sekali sekali dalam keadaan tertentu mereka bohong juga.
Itu menunjukkan bahwa pendidikan agama (dan akhlak) tidak dapat dilakukan melalui paradigma dari Bloom itu. Harus ada paradigma lain. Jika ingin belajar dari para nabi, maka yang dilakukan mereka ialah pendidikan keimanan (dan akhlak) dilakukan melalui peneladanan, pembiasaan, dan pemotivasian. Inilah tiga metode utama. Kekeliruan guru agama selama ini ialah mereka terlalu memfokuskan pada usaha pengajaran, padahal sebelum diajarkan pun pada umumnya murid itu sudah tahu, mereka sudah tahu bohong itu jelek jujur itu baik.
Untuk menutup tulisan ini saya ingin menekankan bahwa akhlak mulia hanya akan dimiliki seseorang bila ada sangsinya. Seseorang tidak mencuri bila ia takut dihukum. “Dihukum” itu adalah salah satu sangsi. Seseorang tidak melakukan perbuatan rendah karena malu pada masyarakat lingkungannnya. Malu di sini adalah sangsi juga. Katanya, budi pekerti orang di negara maju (Barat) baik-baik. Mereka sopan, tepat waktu, senang bersih, antri tertib, dan lain-lain. Jamaluddin al-Afghani tatkala pulang dari Paris menyatakan bahawa Islam saya lihat di Paris. Kawan-kawan kita yang telah melihat dunia Barat agaknya memiliki kesan begitu juga. Ya, itu disebabkan oleh kebudayaan mereka yang sudah terbentuk mapan. Kebudayaan itu dibentuk dan dikawal oleh sanksi yang ketat berupa hukum dan penegakan hukum secara ketat. Itu amat perlu, bila kita menginginkan warga negara berakhlak mulia. Tetapi, sangsi dari “luar” itu tidaklah cukup kuat. Harus ada sangsi dari “dalam” yang sesungguhnya lebih kuat pengaruhnya. Sangsi dari “dalam” ialah iman. Maka al-Ghazali mengatakan bahwa akhlak mulia dimiliki seseorang bila orang itu selalu merasa dilihat Allah. Selalu merasa dilihat Allah inilah iman yang sebenarnya.
Uraian paling akhir ini menjelaskan bahwa pendidikan akhlak memang tidak mungkin terpisah dari pendidikan agama karena akhlak itu basisnya adalah keimanan agama dan di pihak lain akhlak itu merupakan bagian dari agama bahkan intinya agama (Islam). Dan jika Budi Pekerti tadi diajarkan terlepas dari agama, maka ia akan kehilangan sangsi “dalam” yang justru paling penting dalam keberakhlakan seseorang.
Ahmad Tafsir
Guru Besar Ilmu Pendidikan
IAIN Bandung

KAJIAN PENDIDIKAN ISLAMI DI IAIN/UIN

Oleh: Prof.Dr. Ahmad Tafsir



Pendidikan Islam merupakan aktivitas yang sudah dilakukan oleh orang Islam sejak awal kelahiran Islam. Tidak mengherankan dalam bidang ini telah berkembang konsep-konsep pendidikan. Konsep-konsep pendidikan yang mereka kembangkan itu kiranya dapat disebut konsep pendidikan (yang) Islami. Namun, konsep-konsep pendidikan Islami itu tidaklah berkembang sepesat konsep-konsep pendidikan Barat. Selama ini kajian pendidikan Islam di IAIN lebih banyak mengadopsi konsep-konsep pendidikan Barat ketimbang memproduksi sendiri. Perlu diketahui mengapa lambat berkembang dan jika hendak dikembangkan ke arah mana ia dikembangkan.
Sementara itu pendidikan Barat yang selama ini dibangga-banggakan, saat ini agaknya mulai mendapat sorotan cukup tajam. Mengapa? Karena ia dituding menjadi penyebab kacaunya kebudayaan Barat. Mungkinkah konsep pendidikan Islam dapat memberikan sumbangan kepada pendidikan Barat yang disebut sebagai penyebab kacaunya budaya Barat? Persoalan-persoalan penting ini dibahas pada uraian berikut ini.

Peristilahan

Sampai sekarang istilah “Pendidikan Islam” itu masih sering disamakan dengan istilah “Pendidikan Agama Islam.” Dua istilah itu masih interchangeable (saling dipertukarkan). Masih cukup banyak orang menyangka Pendidikan Islam itu adalah Pendidikan Agama Islam. Salah penyebutan ini dapat dipahami, karena Islam adalah nama agama, dan kita sering menyebutnya “agama Islam.” Jadi, boleh saja kita menyebut “Pendidikan Islam” dengan sebutan “Pendidikan Agama Islam.”
Untuk membakukan pengertian kedua istilah itu, dalam berbagai tulisan telah ditegaskan pengertian kedua istilah tersebut (Lihat misalnya Tafsir,1994:24-33;1997:8). Tim Penulis dari fakultas Tarbiyah IAIN Semarang (1999:5) menyebutkan bahwa Pendidikan Islam merupakan suatu sistem; sebagai suatu sistem Pendidikan Islam memiliki komponen-komponen yang secara keseluruhan mendukung terwujudnya sosok Muslim yang diidealkan. Telah ditegaskan bahwa Pendidikan Islam adalah nama sistem, yaitu sistem pendidikan yang Islami. Pendidikan Islam ialah pendidikan yang berdasarkan Islam. Pendidikan Islam ialah pendidikan yang teori-teorinya disusun berdasarkan al-Qur`an dan hadis. Untuk memahami pengertian ini secara lebih jelas “Pendidikan Islam” itu dapat dibandingkan dengan “Pendidikan Barat” seperti di atas tadi istilah itu digunakan. Jika “Pendidikan Islam” adalah pendidikan yang berdasarkan Islam, maka Pendidikan Barat adalah pendidikan yang berdasarkan Rasionalisme, yaitu pendidikan yang teori-teorinya disusun berdasarkan ajaran Rasionalisme. Rasionalisme adalah paham dalam filsafat yang mengatakan bahwa kebenaran itu diperoleh dan diukur dengan akal (Tafsir,1997:111). Jadi, pendidikan Barat ialah pendidikan yang teori-teorinya dibuat berdasarkan akal, karena itu Pendidikan Barat dapat disebut “Pendidikan Rasionalis.” Dalam pemakaiannya sehari-hari kata “Pendidikan Rasionalis” disederhanakan menjadi “Pendidikan” saja. Analog dengan ini maka nantinya istilah “Pendidikan Islam ” juga akan menjadi “pendidikan” saja.
Adapun “Pendidikan Agama Islam” dibakukan sebagai nama kegiatan dalam mendididikkan agama Islam. Sebagai mata pelajaran namanya ialah “Agama Islam.” Usaha-usaha dalam mendidikkan agama Islam itulah yang disebut sebagai “pendidikan agama Islam.” Dalam hal ini Pendidikan Agama Islam sejajar atau sekategori dengan pendidikan Matematika (nama mata pelajarannya ialah Matematika), pendidikan Olah Raga (nama mata pelajarannya ialah Olah Raga), pendidikan Biologi (nama mata pelajarnnya ialah Biologi), pendidikan agama Islam (nama mata pelajarannya ialah Agama Islam) dan sebagainya. Yang penting diperhatikan di sini ialah Pendidikan Islam adalah nama sistem sedangkan Pendidikan Agama Islam adalah nama kegiatan (dalam mendidikkan agama Islam kepada siswa).
Di dalam berbagai peraturan yang ada sekarang, misalnya dalam buku kurikulum (Garis-garis Besar Program Pengajaran-GBPP) di sekolah-sekolah istilah Pendidikan Agama Islam itu dipakai untuk nama mata pelajaran, demikian juga beberapa mata pelajaran lain seperti Pendidikan Olah Raga, Pendidikan Kesenian, Pendidikan Keterampilan, dan sebagainya.
Penamaan Pendidikan Agama Islam sebagai nama mata pelajaran ternyata didukung oleh Tim Penulis dari fakultas Tarbiyah IAIN Semarang. Mereka mengatakan bahwa Pendidikan Agama Islam merupakan sebutan yang diberikan pada salah satu subyek pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa dalam menyelesaikan pendidikannya pada tingkat tertentu. Ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kurikulum suatu sekolah... (Lihat Tim Penulis,1999:4).
Sebagaimana dijelaskan di atas sebenarnya penamaan itu keliru, nama mata pelajarannya seharusnya “Agama Islam” sedangkan Pendidikan Agama Islam adalah nama kegiatan pendidikannya. Mengapa nama mata pelajarannya seharusnya “Agama Islam”? Karena yang diajarkan adalah Agama Islam, bukan Pendidikan Agama Islam. Nama kegiatannya adalah Pendidikan Agama Islam dan kata “pendidikan” ini ada pada dan mengikuti setiap mata pelajaran. Karena itu pada perubahan kurikulum yang akan datang sebaiknya nama mata pelajaran “Pendidikan Agama Islam” itu diubah menjadi “Agama Islam” saja.
Dalam lembaga pendidikan Islami (misalnya SD Islam), nama sistemnya adalah pendidikan Islam, di dalamnya tentu ada Agama Islam sebagai salah satu mata pelajaran dan kegiatannya di sebut Pendidikan Agama Islam. Dalam lembaga pendidikan yang bukan Islami, misalnya dalam sistem pendidikan Pancasilais ( sistem pendidikan nasional) terdapat juga mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (yang seharusnya Agama Islam).
Ada lagi istilah yang masih membingungkan para mahasiswa dalam mengkaji pendidikan Islam, yaitu penegasan tentang perbedaan Ilmu Pendidikan Islam dan Filsafat Pendidikan Islam. Perbedaan ini juga telah dicoba dijelaskan secara tertulis dalam berbagai tulisan, misalnya dalam buku yang saya Filsafat Umum yang terbit pertama kali tahun 1990, dan Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam yang terbit pertama kali 1992.
Untuk memperjelas perbedaan pengertian kedua istilah itu kita perlu memahami perbedaan antara filsafat dan ilmu (sain). Perbedaan itu ialah sebagai berikut (Lihat lebih lanjut Tafsir,1994:14;1990:15).
Tatkala manusia baru lahir ia tidak mengetahui apa-apa, demikian disebutkan di dalam al-Qur`an. Tatkala manusia itu berumur 40 tahunan pengetahuannya banyak sekali. Pengetahuan ialah semua yang diketahui. Pengertian itu umum sekali sifatnya. Setelah diidentifikasi dapatlah diketahui bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia itu ternyata ada tiga macam, yaitu pengetahuan sain, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik. Matrik berikut dapat menjelaskan secara gampang:

Jenis Pengetahuan Obyek Paradigma Metode Kriteria
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
S A I N empiris sain sain rasional-empiris

FILSAFAT abstrak-rasional rasional rasional rasional

MISTIK abstrak-supra mistik mistik keyakinan,
rasional kadang-kadang
empiris
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pengetahuan sain ialah pengetahuan tentang obyek-obyek empiris, diperoleh melalui penelitian sain (scientific research), kebenarannya diukur dengan logika dan data empiris. Bila teorinya logis dan empiris maka teori itu benar. Paradigmanya ialah paradigma sain (scientific paradigm). Pengetahuan sain inilah yang disebut ilmu dalam bahasa Indonesia; jadi, pengetahuan sain adalah pengetahun ilmu (harap diingat: bukan ilmu pengetahuan). Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan tentang obyek-obyek abstrak tetapi masih mampu dicapai oleh logika, kebenarannya diukur dengan logika, bila teorinya logis maka teori itu benar, bila tidak, salah. Paradigmanya ialah paradigma logika (logical paradigm). Sedangkan pengetahuan mistik ialah pengetahuan tentang obyek-obyek yang abstrak-supra-logis, yaitu obyek-obyek yang abstrak dan akal tidak dapat mencapainya. Kebenaran pengetahuan ini diukur dengan keyakinan, kadang-kadang kebenarannya dapat diukur secara empiris, paradigmanya ialah paradigma mistik (mistical paradigm) (Uraian lebih luas lihat dalam Tafsir,1990:14-16;1994:5-11).
Filsafat Pendidikan Islam adalah filsafat, yaitu filsafat tentang pendidikan Islami. Obyek kajiannya ialah bagian-bagian yang abstrak tentang pendidikan. Kebenarannya ditentukan apakah teori-teorinya logis atau tidak, bila logis maka benar, bila tidak, maka salah. Sedangkan Ilmu Pendidikan Islam ia adalah ilmu (sain), obyek kajiannya ialah bagian-bagian pendidikan yang empirik. Kebenarannya ditentukan apakah teori-teorinya logis dan empiris atau tidak, bila logis dan empiris, maka teori itu benar, bila tidak, salah.
Kebingungan mahasiswa selama ini kelihatannya disebabkan juga oleh kenyataan buku-buku literatur bidang pendidikan Islam yang ada selama ini, terutama yang klasik dalam bahasa Arab, pada umumnya tidak memisahkan kedua disiplin pengetahuan itu. Dalam buku-buku itu ada filsafat pendidikan dan ada juga ilmu pendidikan. Penulisnya tidak memisahkan keduanya.
Untuk keperluan ketajaman studi agaknya antara kedua disiplin itu harus dipisahkan secara tegas. Untuk kepentingan aplikasi jelas pemisahan itu amat perlu, sebab teori filsafat tidaklah dapat dioperasikan, yang dapat dioperasikan adalah teori ilmu.

Perlunya Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam

Dalam bukunya yang baru terbit (1999) Azyumardi Azra menyatakan kekecewaannya yang mendalam tentang kurangnya perhatian terhadap kajian Ilmu Pendidikan Islam. Ia mengatakan, kajian kependidikan Islam nampaknya merupakan bidang yang belum tergarap secara serius. Bahkan, katanya lagi, lebih memperihatinkan lagi, kajian kependidikan Islam dalam konteks Indonesia lebih ketinggalan (Azyumardi Azra,1999:85). Dia kecewa berat rupanya karena pada saat yang sama, aspirasi dan tuntutan masyarakat muslim terhadap (peningkatan mutu) pendidikan Islam semakin besar (Azyumardi Azra,1999:85). Saya memahami benar yang dikeluhkan penulis muda tersebut.
Sebenarnya, sejak adanya fakultas Tarbiyah di IAIN, Pendidikan Islam telah dijadikan salah satu bahan kajian; “Pendidikan Islam” telah muncul sebagai salah satu nama mata kuliah. Tetapi, dengan tidak bermaksud mengecilkan usaha tokoh-tokoh terdahulu, usaha mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam yang serius di fakultas Tarbiyah IAIN memang barulah dimulai sekitar akhir tahun 1993.
Pada bulan Oktober 1993 telah diadakan Musyawarah Nasional Ilmu Penidikan Islam di Ciawi, Bogor; musyawarah itu diselenggarakan oleh Departemen Agama. Salah satu rekomendasi penting yang diberikan oleh musyawarah itu ialah Agar ada usaha sungguh-sungguh untuk mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam.
Sesungguhnya keinginan adanya usaha sungguh-sungguh untuk mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam telah ada sejak lama sebelum pertemuan di Ciawi itu tetapi dapat dikatakan belum sungguh-sungguh. Keinginan itu didorong antara lain oleh kenyataan banyaknya sekolah Islam yang kurang baik mutunya. Mutu yang kurang baik itu diduga disebabkan oleh belum digunakannya teori-teori pendidikan (Islami) yang sesuai dengan tuntutan zaman. Dugaan itu ternyata benar, itu saya ketahui -misalnya- berdasarkan penelitian yang saya lakukan.
Pada tahun 1984 saya menulis thesis magister di Pascasarjana IAIN Jakarta dan pada tahun 1988 saya menulis disertasi, juga di lembaga yang sama. Baik thesis maupun disertasi yang saya tulis itu semuanya mengenai pendidikan Islam di organisasi Muhammadiyah. Dalam penelitian itu saya menemukan sesuatu yang menurut hemat saya amat menarik. Apa yang saya temukan?
Pada waktu itu (1988), saya menemukan lebih banyak sekolah Katolik yang baik dibandingkan dengan sekolah Islam, dalam perbandingan. Itu saya ungkapkan secara dramatis dalam susunan “Sulit mencari sekolah Islam yang baik, sama sulitnya dengan mencari sekolah Katolik yang buruk.”
Temuan itu mendorong saya mempelajari lebih jauh. Tatkala saya tanyakan mengapa sekolah-sekolah Islam banyak yang buruk, rata-rata jawaban yang diberikan ialah “karena kekurangan biaya, kekurangan dana.” Data “kekurangan dana” ini saya usut terus. Diujungnya saya meragukan kebenaran itu karena kenyataannya umat Islam itu tidaklah seluruhnya miskin, setiap tahun banyak sekali orang Islam yang mengerjakan ibadah haji yang kedua, ketiga dan selanjutnya. Data menjelaskan bahwa setiap tahun kira-kira 10% jama’ah haji Indonesia adalah mereka yang mengerjakan haji mengulang (kedua, ketiga, dn seterusnya). Amat menarik, ibadah haji mengulang yang hukumnya mungkin hanya sunnat, sedangkan membangun sekolah yang baik hukumnya sekurang-kurangnya fardhu kifayah tetapi banyak orang Islam mendahulukan mengerjakan yang sunnat itu. Ada apa pada umat islam? Mengapa demikian? Mengapa umat Islam itu mendahulukan ibadah sunnat ketimbang fardhu kifayah? Jadi, di sini, ada masalah yang harus diselesaikan, masalah itu bukan masalah kaya atau miskin,masalahnya terletak pada pemikiran dan sikap.
Penelitian saya di sekolah-sekolah Islam menghasilkan kenyataan lain yang sesungguhnya tidak mengejutkan. Banyak sekolah Islam yang dipimpin oleh kepala sekolah yang tidak dididik untuk itu, banyak guru yang mengajarkan mata pelajaran yang ia tidak disiapkan untuk tugas itu. Banyak sekolah yang dibangun tidak melalui perencanaan yang memadai. Banyak lembaga pendidikan yang kacau administrasinya. Kesimpulannya ialah pengurus-pengurus sekolah Islam itu belum menerapkan paham profesionalisme dalam pengelolaan sekolah. Padahal hadis nabi menjelaskan bahwa menerapkan profesionalisme itu merupakan keharusan bagi orang Islam.
Dua kenyataan itu membawa saya pada penyelidikan lanjutan yang saya lakukan setelah saya selesai ujian disertasi. Dari penyelidikan itu saya memperoleh kesimpulan penting: Pandangan dan pemikiran umat Islam tentang pendidikan harus diperbaiki. Bagaimana memperbaikinya?
Sesuai dengan kelemahan yang ada, maka perbaikan dilakukan dalam dua hal, pertama perbaikan segi pandangan atau sikap. Para ahli pendidikan Islam harus memberikan penjelasan bagaimana pandangan dan sikap orang Islam itu seharusnya terhadap kekayaannya, terhadap kewajibannya, dan terhadap tanggung jawab sosialnya. Kelemahan segi penguasaan teori pendidikan diperbaiki dengan cara menyediakan bagi mereka teori-teori pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman. Bagian kedua inilah yang menjadi pendorong luar biasa pada saya dan kawan-kawan untuk secara lebih sungguh-sungguh mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam itu.
Salah satu rekomendasi musyarah Ciawi itu ialah agar di Departemen Agama mendirikan Konsorsium Ilmu Pendidikan Islam. Dalam Musyawarah Nasional Pendidikan Islam di Ciawi itu, Zakiah Daradjat menekankan pentingnya ada konsorsium Ilmu Pendidikan Islam; perguruan tinggi hendaknya mengusahakan adanya konsorsium itu. Konsorsium itulah kelaknya diharapkan dapat memperhatikan pengembangan Ilmu Pendidikan Islam. Tetapi, usul ini belum mendapat tanggapan serius dari Departemen Agama. Karena itu kami dan kawan-kawan mendirikan Asosiasi Sarjana Pendidkan Islam (ASPI) pada tahun 1995, yang saya ketuai sampai sekarang (1999).
Organisasi ASPI ini tidaklah hebat, sampai sekarang (1999) susunan personalianya sangat sederhana yaitu hanya ada seorang ketua dan seorang sekretaris, belum memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga secara resmi, belum memiliki stempel, usahanya hanya satu macam yaitu mengorganisasikan seminar-seminar nasional Ilmu Pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh fakultas Tarbiyah IAIN seluruh Indonesia dan menindaklanjuti hasil seminar itu dalam bentuk menerbitkannya, bila dianggap sebagai karya yang baik. Sekarang ini telah diterbitkan buku (1) Epistemologi untuk Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam, di dalamnya ada peta pengembangan Ilmu Pendidikan Islam (2) Pendidikan Agama di Rumah Tangga untuk Anak 0-12 Tahun. Akan terbit pada waktu yang tidak lama lagi (3) Pendidikan Agama di Rumah Tangga untuk Remaja 12-18 Tahun, dan (4) Pendidikan Agama di Lembaga Kursus.
Apa yang dihasilkan ASPI itu sebenarnya kecil saja nilainya. Yang dianggap hasil bernilai besar ialah telah tumbuhnya kesadaran dan keberanian di kalangan sarjana pendidikan Islam untuk mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam. Sejak tahun 1994 banyak buku Ilmu Pendidikan Islam yang diterbitkan yang ditulis oleh anggota ASPI.

Munculnya Jurusan Ilmu Pendidikan Islam di Fakultas Tarbiyah IAIN

Ilmu Pendidikan Islam sudah dijadikan salah satu mata kuliah sejak lama. Mata kuliah ini selalu muncul dalam kurikulum fakultas Tarbiyah jurusan Pendidikan Agama Islam. Karena alokasi waktu yang diberikan terlalu kecil tentu tidak mungkin dilakukan studi pendidikan Islam yang mendalam dalam perkuliahan. Kajian serius barulah mungkin bila Ilmu Pendidikan Islam itu dijadikan satu jurusan tersendiri.
Salah satu topik yang dibicarakan dalam Musyawarah Nasional Pendidikan Islam di Ciawi itu ialah Perlunya Pembukaan Jurusan Ilmu Pendidikan Islam di fakultas Tarbiyah IAIN. Pembukaan jurusan ini dimaksudkan agar pengkajian dan pengembangan Ilmu Pendidikan Islam itu dapat dilakukan lebih sungguh-sungguh. Karena itu maka dalam Kurikulum IAIN Tahun 1995 muncullah jurusan Kependidikan Islam (KI) lengkap dengan silabusnya.
Nama jurusan “Kependidikan Islam” adalah hasil kompromi. Penggagas munculnya jurusan ini, yaitu Ahmad Tafsir, mengusulkan nama “Ilmu Pendidikan Islam” tetapi setelah melalui diskusi yang cukup alot yang disetujui ialah nama “Kependidikan Islam” (KI), tidak apa-apa.
Di dalam Kurikulum IAIN 1995 disebutkan bahwa tujuan jurusan ini ialah untuk menghasilkan sarjana strata satu (S1) yang ahli dalam Ilmu Pendidikan Islam, lulusan jurusan ini tidak disiapkan untuk menjadi guru agama. Tatkala menyusun Kurikulum 1995 itu belumlah disadari bahwa sarjana S1 sebenarnya belum berkualifikasi ahli. Sementara itu pada tahun 1997 timbul masalah, mahasiswa jurusan KI menuntut supaya mereka kelaknya diperbolehkan menjadi guru agama. Alasan mereka yang sulit ditolak ialah alasan hukum. Fakultas Tarbiyah adalah fakultas keguruan yang menghasilkan guru, ia adalah lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK); jadi, lulusannya secara otomatis harus boleh menjagi guru. Penyelasaian masalah ini ternyata tidak begitu mudah.
Dalam seminar nasional pendidikan Islam di fakultas Tarbiyah IAIN Banjarmasin direkomendasikan agar ada pertemuan nasional yang diselenggarakan oleh Direktorat Perguruan Tinggi Agama Departemen Agama untuk menuntaskan persoalan ini. Pertemuan itu tidak jadi berlangsung. Penyelesaian masalah ini akhirnya dilakukan dengan cara memberikan ijazah Akta Mengajar IV kepada mereka dengan kewajiban mengambil beberapa mata kuliah tambahan sebanyak 18 SKS. Kebijakan itu dikomunikasikan kepada seluruh pimpinan fakultas Tarbiyah IAIN seluruh Indonesia oleh dekan fakultas Tarbiyah IAIN Bandung yang kebetulan merangkap ketua ASPI. Sekarang, keberadaan jurusan ini pada program S1 ada baiknya direnungkan kembali. Jurusan ini sebenarnya lebih tepat dibuka pada jenjang Pascasarjana di IAIN.

Kajian Ilmu Pendidikan Islam di Pascasarjana IAIN/UIN

Pada tahun 1982 dibuka Program Pascasarjana di IAIN Jakarta, setahun kemudian dibuka juga di IAIN Yogyakarta. Sekarang ini (1999) telah ada Program Pascasarjana di IAIN Surabaya, IAIN Ujungpandang, IAIN Bandung, IAIN Medan, IAIN Aceh, IAIN Pekanbaru, IAIN Semarang, dan STAIN Malang selain Pascasarjana di IAN Jakarta dan IAIN Yogyakarta tadi, jadi sudah ada sembilan IAIN yang membuka Program Psacasarjana dan satu STAIN, jumlah seluruhnya sepuluh. Di seluruh Pascasarjana itu ada jurusan Ilmu Pendidikan Islam, sekurang-kurangnya ada perhatian khusus terhadap studi Ilmu Pendidikan Islam. Memang di Pascasarjana IAIN inilah terdapat peluang yang besar untuk mendidik ahli Ilmu Pendidikan Islam.
Kembali ke Azyumardi Azra yang sudah dikutip di atas. Menurut pendapatnya (lihat Azyumardi Azra,1999:86-94) pola kajian kependidikan Islam yang sudah dilakukan selama ini di IAIN dimulai dengan pola kajian historis. Ini adalah kajian kependidikan Islam yang menjelaskan pendidikan Islam dari segi sejarah. Katanya, karya Mahmud Yunus dan dilengkapi oleh karya Mulyanto Sumardi dapat dijadikan contoh. Saya setuju pendapat itu. Pola kedua disebutnya pola kajian pemikiran kependidikan. Menurutnya karya-karya Hasan Langgulung, Muzayyin Arifin, Zakiah Daradjat, Syahminan Zaini, Abdul Munir Mulkhan, Ahmad D. Marimba, dapat dijadikan contoh karya pola ini. Selanjutnya, ada pola lain, yaitu pola kajian metode. Dia menyebut karya Ahmad Tafsir dapat dijadikan contoh, sekalipun masih harus disempurnakan.
Ketiga pola yang disebutkan itu dapat saya rasakan dan saya pahami. Memang benar, karya-karya itu belum mencakupi aspek yang luas. Masih sangat banyak kebutuhan masyarakat dalam pendidikan yang belum dijadikan topik pengkajian.
Dengan memperhatikan thesis dan disertasi yang ditulis oleh mahasiswa Pascasarjana IAIN dapat diketahui bahwa tujuan kajian Ilmu Pendidikan Islam sampai sekarang (l999) terlalu menekankan pengungkapan (kembali) pemikiran tokoh klasik tentang pendidikan. Jika digunakan pola-pola Azyumardi tadi, maka kajian ini dapat digolongkan dalam pola kajian historis-pemikiran, jadi, dua pola disatukan. Ada thesis yang berjudul Konsep Guru Menurut al-Ghazali, ditulis oleh Imam Syafe’i pada Pascasarjana IAIN Yogyakarta tahun 1989; ada thesis yang berjudul Menguak Konsep Pendidikan Islam Klasik: Studi Atas Pemikian Ibnu Maskawayh, ditulis oleh Agus Salim Daulay di Pascasarjana IAIN Yogyakarta, 1995; Muhyidin Baesuni menulis thesis yang berjudul Konsep Pendidikan Moral Menurut Syeikh Nawani al-Bantani, Pascasarjana IAIN Yogyarakat, 1996; Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Ibnu Maskawayh dan al-Ghazali, thesis magister yang ditulis oleh Junaedi di Pascasarjana IAIN Yogyakarta, 1997; Konsep Pedagogik Ibnu Khaldun, thesis ditulis oleh Warul Walidin AK di Pascasarjana IAIN Yogyakarta tahun 1997; Pemikiran Ibnu Taymiyah tentang Pendidikan, thesis yang ditulis oleh Ahmad Dimyati pada Pascasarjana IAIN Yogyakarta tahun 1995 dan banyak lagi lainnya.
Pengungkapan kembali pemikiran tokoh kontemporer juga dilakukan misalnya Pemikiran Pendidikan Islam Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, thesis yang ditulis oleh Ilmiyati, Pascasarjana IAIN Yogyakarta, tahun 1997; Pemikiran Pendidikan Islam Kontemporer: Studi Atas Pemikiran Hasan Langgulung, thesis ditulis oleh Mahfud Junaedi, Pascasarjana IAIN Yogyakarta, 1997 dan masih ada yang lain.
Studi pendidikan Islam seperti itu memang diperlukan. Dengan mengungkapkan (kembali) teori-teori pendidikan klasik boleh jadi ditemukan teori yang dapat digunakan untuk meningkatkan pendidikan umat Islam sekarang ini. Tetapi, jika teori-teori klasik itu hanya diungkapkan, tidak diproyeksikan untuk digunakan dalam usaha peningkatan mutu pendidikan Islam -mutu sekolah-sekolah Islam misalnya- maka kajian seperti itu hanya kecil saja nilainya. Hanya kecil saja, karena studi seperti itu (1) tidak akan akan banyak membantu dalam memperkaya teori Ilmu Pendidikan Islam, dan (2) tidak akan banyak membantu dalam memperbaiki mutu pendidikan di kalangan umat Islam. Karena itu perlu dilakukan perubahan tujuan dalam kajian Pendidikan Islam di Pascasarjana IAIN.
Berikut ini diajukan tiga tahap -bukan pola- kajian Pendidikan Islam di Pascasarjana di IAIN yang dilihat dari segi urgensinya.

Tahap 1: Kajian untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan Umat Islam Indonesia

Umat Islam di Indonesia banyak sekali mendirikan lembaga pendidikan berupa sekolah. Untuk tingkat sekolah dasar (SD) misalnya, umat Islam mendirikan Madrasah Ibtida`iyah Swasta (MIS). Sekarang (l999) jumlah MIS ada lebih kurang 92% dari jumlah MI seluruhnya sedangkan Madrasah Ibtida`yah Negeri (MIN) hanya lebih kurang 8%. Mutu MIN dan MIS itu pada dasarnya sama saja, yaitu kurang baik. Tidak kalah pentingnya, umat Islam juga menyelenggarakan pendidikan di rumah tangga. Mutu pendidikan Islam di rumah juga kurang baik mutu.
Kenyataan itu menunjukkan bahwa para ahli pendidikan Islam harus segera menyediakan teori-teori pendidikan (yang Islami) yang lebih baik dari pada yang ada sekarang, teori-teori itu harus disesuaikan dengan tuntutan keadaan sekarang. Jadi, diperlukan kajian pendidian Islam yang bertujuan membuat teori-teori pendidikan Islam yang kelaknya dapat digunakan oleh orang Islam Indonesia dalam meningkatkan mutu pendidikan Islam di rumah tangga, di sekolah, dan di lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
Penyusunan teori pendidikan Islam untuk memenuhi keperluan umat Islam tersebut haruslah didahulukan, harus dijadikan prioritas pertama dalam kajian pendidikan Islam di Pascasarjana IAIN. Peningkatan sumber daya manusia (SDM) di kalangan umat Islam Indonesia harus segera dilakukan dengan sungguh-sungguh agar umat Islam mampu berperan lebih konstruktif dalam masyarakat Indonesia yang telah hidup dalam budaya global.
Topik-topik kajian untuk ini dapat dibagi dua, pertama mengubah sikap yang keliru tentang pendidikan, kedua menyediakan teori-teori pendidikan.
Sikap umat Islam selama ini yang agaknya keliru antara lain ialah sebagai berikut:
(1) Mendahulukan amal sunnat dan membelakangkan amal wajib atau fardhu; pandangan
ini harus diubah menjadi mendahulukan yang wajib atau fardhu dan menomorduakan
yang sunnat;
(2) Kurang mementingkan profesionalisme dalam pengelolaan pendidikan; diubah menjadi
menerapkan paham profesionalisme dalam pengelolaan pendidikan;
(3) Pendapat bahwa sekolah Islam harus baik tetapi harus murah; diubah menjadi sekolah
Islam harus baik dan yang baik pasti mahal.
Mengenai penyediaan teori ternyata teori-teori pendidikan yang harus disediakan amat banyak, kelompok teori yang diperlukan itu dapat dilihat pada matrik berikut:






---------------------------------------------------------------------------------------------------------
a b c d e f g h i j
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
1 x x x x x x x x x x
2 x x x x x x x x x x
3 x x x x x x x x x x
4 x x x x x x x x x x
5 x x x x x x x x x x
6 x x x x x x x x x x
7 x x x x x x x x x x
8 x x x x x x x x x x
9 x x x x x x x x x x
10 x x x x x x x x x x
11 x x x x x x x x x x
12 x x x x x x x x x x
13 x x x x x x x x x x
14 x x x x x x x x x x
15 x x x x x x x x x x
16 x x x x x x x x x x
17 x x x x x x x x x x
18 x x x x x x x x x x
19 x x x x x x x x x x
20 x x x x x x x x x x
21 x x x x x x x x x x
22 x x x x x x x x x x
23 x x x x x x x x x x
24 x x x x x x x x x x
25 x x x x x x x x x x
26 x x x x x x x x x x
27 x x x x x x x x x x
28 x x x x x x x x x x
29 x x x x x x x x x x
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kelompok-kelompok pendidikan yang perlu dikembangkan (perlu disediakan teorinya) di atas itu sekurang-kurangnya ialah berikut ini:
1. Treori pendidikan pranatal
2. Teori pendidikan anak di rumah tangga karir
3. Teori pendidikan anak di rumah tangga non-karir
4. Teori pendidikan remaja di rumah tangga karir
5. Teori pendidikan remaja di rumah tangga non-karir
6. Teori pendidikan anak di rumah tangga kelas bawah
7. Teori pendidikan anak di rumah tangga kelas atas
8. Teori pendidikan remaja di rumah tangga kelas bawah
9. Teori pendidikan remaja di rumah tangga kelas atas
10. Teori pendidikan untuk pesantren tradisional
11. Teori pendidikan untuk pesantren moderen
12. Teori pendidikan untuk pesantren kilat
13. Teori pendidikan untuk majlis ta’lim
14. Teori pendidikan untuk khotbah-khotbah
15. Teori pendidikan untuk kursus-kursus
16. Teori pendidikan untuk kantor-kantor
17. Teori pendidikan untuk rumah sakit
18. Teori pendidikan untuk rumah yatim
19. Teori pendidikan untuk tahanan anak-anak
20. Teori pendidikan untuk tahanan remaja
21. Teori pendidikan untuk tahanan dewasa
22. Teori pendidikan untuk para pengusaha
23. Teori pendidikan di taman kanak-kanak
24. Teori pendidikan di SD
25. Teori pendidikan untuk Ibtida`iyah
26. Teori pendidikan untuk SLTP
27. Teori pendidikan untuk Tsanawiyah
28. Teori pendidikan untuk sekolah menengah umum
29. Teori pendidikan untuk sekolah menengah kejuruan
30. Teori pendidikan untuk perguruan tinggi
31. Teori pendidikan untuk anak luar biasa
dan lain-lain.
Jadi, sekurang-kurangnya ada 31 kelompok pendidikan yang memerlukan teori-teori pendidikan Islami. Dikatakan “kelompok” karena setiap kelompok itu sebenarnya merupakan “induk” yang dapat dibagi lagi menjadi beberapa topik. Dengan demikian teori yang diperlukan untuk meningkatkan mutu pendidikan umat Islam sangat banyak. Matrik di atas dapat dianggap sebagai peta pengembangan atau peta penelitian pendidikan Islam.
Selanjutnya, masing-masing kelompok itu dibagi lagi menurut komponen-komponen pendidikannya. Komponen-komponen itu sekurang-kurangnya adalah sebagai berikut:
a. Tujuan, b. Pendidik, c. Anak didik, d. Kurikulum, e. Metode,
f. Buku teks siswa dan guru, g. Pembiayaan, h. Ruang kelas,
i. Perangkat keras lainnya, j. Kegiatan.
Dengan demikian akan ditemukan sekurang-kurangnya 31X10 = 310 topik yang harus dikembangkan dengan cara menyusun teori-teorinya. Jadi, dilihat dari keperluan umat Islam Indonesia tugas kajian pendidikan Islam di Pascasarjana IAIN sebenarnya amat berat, dosen dan mahasiswa jurusan Ilmu Pendidikan Islam Pascasarjana IAIN mestinya sangat sibuk.

Tahap 2: Kajian Pendidikan Islam untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan Indonesia

Pada bulan Juli 1997 Indonesia sebagai bangsa dan negara mulai mengalami krisis. Krisis itu dimulai dengan krisis moneter dengan ciri nilai rupiah turun terhadap dollar AS. Krisis moneter ini segera berkembang menjadi krisis ekonomi dengan tanda yang menonjol berupa banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Tak lama kemudian muncul krisis politik yang ditandai dengan ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah dan pada puncak krisis ini Soeharto berhenti sebagai presiden.
Para ahli menyebutkan bahwa krisis itu disebabkan oleh adanya kesalahan di bidang politik, hukum, dan ekonomi. Maksudnya, ada beberapa kekeliruan dalam kebijakan bidang politik, ada beberapa kekeliruan dalam kebijakan bidang hukum, ada beberapa kekeliruan kebijakan dalam bidang ekonomi. Kekeliruan-kekeliruan itu menyebabkan terjadinya krisis moneter, meningkat menjadi krisis ekonomi, dan selanjutnya berkembang menjadi krisis politik. Kesimpulannya, kekeliruan-kekeliruan dalam tiga bidang itulah yang menjadi penyebab krisis.
Pada intinya, ketiga krisis itu disebabkan oleh meralelanya perbuatan korupsi. Agar korupsi itu mudah dilakukan maka diperlukan kerjasama, kerjasama inilah yang disebut kolusi; agar kolusi itu berjalan mulus maka diperlukan penempatan pertugas-petugas penting dari kalangan kawan, kenalan, atau keluarga, yang penempatannya tidak melalui prosedur yang wajar, inilah hakikat nepotisme. Jadi dapatlah dipahami bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) itu intinya yang sebenarnya hanya satu yaitu korupsi.
Korupsi itu ada yang wajar dan ada yang tidak wajar. Korupsi yang wajar ialah korupsi yang dilakukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan, perumahan, kesehatan, dan pendidikan. Setelah kebutuhan pokok itu terpenuhi, orang tersebut berhenti melakukan korupsi. Ini adalah korupsi wajar dilihat dari sudut pandang psikologis. Korupsi yang memprakporandakan negara kita sekarang ini (1997 dan masih berlangsung 1999) adalah korupsi yang tidak wajar. Korupsi yang tidak wajar adalah yang merupakan penyakit jiwa. Dalam al-Qur`an barangkali Abu Lahab adalah contoh orang yang mengidap penyakit jiwa dalam bentuk senang menghitung-hitung kekayaannya. Begitu juga orang yang menderita penyakit ini (korupsi) ia akan merasakan penderitaan (kejiwaan) bila tidak melakukan korupsi dan jiwanya akan tenang bila melakukan korupsi. Sebenarnya orang seperti ini tidak lagi memerlukan harta, yang ia perlukan ialah menghitung-hitung hartanya; bila tidak selalu bertambah maka menderitalah ia.
Korupsi yang tidak wajar itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang sedang sakit. Dikatakan sakit karena tindakannya itu tidak rasional, ia sudah neniliki kecukupan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, bahkan sudah mampu memenuhi kebutuhan-kebutahan tidak pokok baik yang sekunder, tertier (atau apa lagi), seperti hiburan, makan enak, mobil mewah, main golf, dan sebangsanya; ia mengetahui bahwa korupsi itu tidak baik, baik menurut pandangan ilmu maupun pandangan agama; ia tahu bahwa bila korupsinya diketahui orang maka ia akan celaka, tetapi ia lakukan juga korupsi. Jelas ini merupakan penyakit. Sama halnya dengan orang yang mencandu minuman keras. Ia tahu bahwa minuman keras itu sangat berbahaya bagi dirinya dan orang lain, tetapi ia meminumnya juga. Mengapa? Karena pencandu itu adalah orang yang sedang sakit secara kejiwaan. Agaknya ada jenis penyakit yang belum masuk dalam daftar kedokteran jiwa, yaitu penyakit korupsi, yaitu bila seseorang telah kecanduan korupsi. Nah, korupsi yang tidak wajar inilah yang menjadi salah satu penyebab utama kebangkrutan negara kita sekarang (1999).
Korupsi yang tidak wajar itulah yang menjadi salah satu penyebab awal kehancuran negara kita sekarang ini. Tapi, bila dianalisis lebih jauh, maka segera akan diketahui bahwa penyakit korupsi itu sebenarnya bukan penyebab awal terjadinya krisis. Penyakit korupsi itu ada penyebabnya. Penyebab awalnya adalah karena kemerosotan akhlak telah melampaui batas. Akhlak yang telah rusak parah itulah yang menyebabkan seseorang mampu melakukan korupsi yang tidak wajar. Orang yang akhlaknya baik tidak akan mampu melakukan korupsi, sekalipun -mungkin- ia mau melakukannya, apalagi korupsi yang tidak wajar.
Akhlak yang rendah telah menyebabkan timbulnya penyakit jiwa yang disebut jiwa korup. Jiwa korup inilah yang mampu melakukan tindakan korupsi yang tidak wajar tersebut. Maka dapatlah diketahui bahwa penyebab awal krisis yang kita alami sekarang adalah kemerosotan akhlak.
Akhlak yang rendah itu tentu ada penyebabnya. Secara teoritis, lemahnya keimanan adalah penyebab utama merosotnya akhlak. Nah, keimanan yang rendah inilah kiranya penyebab yang paling awal kehancuran negara kita sekarang. Mengapa keimanan merosot?
Tentu banyak faktor yang menyebabkan merosotnya keimanan orang Indonesia. Satu di antaranya -yang saya kira merupakan penyebab utamanya- ialah karena ada kesalahan dalam desain pendidikan nasional.
Analisis tentang penyebab krisis nasional yang dialami sekarang lebih mudah dipahami melalui skema berikut ini.

Disain Pendidikan yang Salah

Keimanan yang Lemah

Kemerosotan Akhlak yang Parah

Korupsi yang Sudah menjadi Penyakit

Krisis Moneter

Krisis Ekonomi

Krisis Politik

Jadi, bila tidak ingin terjadi lagi krisis politik perbaikilah disain pendidikan nasional. Ini penting, karena krisis politik dapat menyebabkan kehancuran total, dapat menyebabkan kesengsaraan luar biasa, dapat menyebabkan Indonesia sebagai negara dan bangsa menghilang dari peta politik dunia.

Sistem pendidikan nasional: paradigma dan model kurikulum

Pancasila adalah dasar negara. Menurut hemat saya, sebagai dasar negara Pancasila cukup memenuhi syarat dan oleh karena itu tidak perlu diganti atau diubah. Pancasila itu adalah dasar, karena dasar maka ia adalah sumber. Sebagai sumber, nilai-nilai dalam Pancasila harus mampu diturunkan ke dalam undang-undang dasar (UUD), karena itu UUD harus mengandung seluruh ide yang ada dalam Pancasila itu. Bila UUD-45, misalnya, belum menurunkan seluruh ide yang ada dalam Pancasila, maka UUD-45 harus segera disempurnakan.
Selanjutnya UUD harus menurunkan secara konsisten undang-undang (UU) untuk mengatur segala macam keperluan kehidupan bernegara, termasuk UU yang mengatur sistem pendidikan nasional.
Bila dianalisis dengan menggunakan pendekatan filsafat maka dapat dipahami bahwa Pancasila bukan mengandung lima ide dasar melainkan empat, yaitu (1) Kemanusiaan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan YME (2) Persatuan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan YME, (3) Kerakyatan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan YME, dan (4) Keadilan sosial yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan YME. Pengertian ini tersurat dalam simbol (gambar) yang ada di dada Garuda yang dijadikan lambang Pancasila itu. Di situ bintang (simbol keimanan) mengambil daerah empat sila lainnya. Hal itu itu menjelaskan dengan tegas bahwa inti Pancasila adalah keimanan kepada Tuhan YME.
Tatkala nilai-nilai atau ide-ide dasar Pancasila itu diturunkan ke dalam UUD, maka dengan sendirinya UUD itu menjadikan keimanan kepada Tuhan YME sebagai inti (core) nya. Itu ditemukan dalam UUD-45; UUD-45 itu intinya memang keimanan kepada Tuhan YME, itu terlihat pada alinea ketiga Pembukaan UUD-45.
Kimanan kepada Tuhan YME ini seharusnya menjiwai dan mewarnai seluruh isi UUD-45 itu. Secara filsafat dikatakan, keimanan kepada Tuhan YME itu harus menjadi aksiologi setiap pasal UUD-45 itu.
Undang-undang Dasar 1945 sebenarnya sebagian besar masih berada pada level filsafat. Karena itu UUD belumlah operasional. Pada kenyataannya memang demikian. Karena itu UUD harus diturunkan ke dalam undang-undang (UU). Isi UU seharusnya sudah operasional.
Dari UUD-45 telah dirurunkan UU Nomor 2 Tahun 1989, yaitu UU tentang pendidikan nasional, disebut UU (tentang) Sistem Pendidikan Nasional. Di dalam UU ini konsep penting (Keimanan kepada Tuhan YME adalah inti Pancasila dan UUD-45) sudah diturunkan secara hampir amat jelas. Itu terlihat pada pasal 4 tentang tujuan pendidikan nasional. Di situ dikatakan bahawa “Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangka manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”
Rumusan ini belum amat jelas mengambarkan bahwa keimanan kepada Tuhan YME sebagai inti tujuan pendidikan nasional. Inilah yang saya maksud dengan ungkapan “hampir amat jelas” di atas tadi. Rumusan ini seharusnya disempurnakan sehingga “keimanan kepada Tuhan YME sebagai inti (core) tujuan pendidikan” terbaca amat jelas. Penyempurnaan rumusan tujuan itu perlu segera dilakukan agar pengertian “keimanan adalah inti Pancasila dan keimanan adalah inti UUD-45” turun secara tepat ke dalam UU pendidikan itu. Bila penyempurnaan rumusan tujuan itu tidak dilakukan maka akan terjadi inkonsistensi dalam peraturan negara, akibatnya akan terjadi juga inkonsistensi dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia.
Tetapi baiklah kita menggunakan apa yang ada sekarang. Dalam pasal 4 UU No.2/1989 itu telah tertulis bahwa keimanan (dan ketaqwaan) adalah inti tujuan pendidikan nasional, sekalipun tidak amat jelas. Kita anggap saja UU Nomor 2/1989 itu telah konsisten dengan UUD-45 dan UUD-45 itu telah konsisten dengan Pancasila.
Undang-undang Nomor 2/1989 itu telah diturunkan ke dalam peraturan yang lebih operasional yaitu ke dalam peraturan pemerintah (PP). Peraturan Pemerintah (PP) itu telah menghasilkan (menurunkan) antara lain kurikulum sekolah yang dalam bentuk materialnya berupa buku Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) yang berisi -antara lain- nama-nama mata pelajaran dan silabusnya masing-masing. Pada GBPP inilah konsep penting tadi sama sekali tidak turun, tidak muncul; konsep penting tadi (keimanan adalah inti Pancasila, keimanan adalah inti UUD-45, keimanan adalah inti pendidikan nasional) tidak turun. Ironis sekali (yang sebenarnya disesalkan sekali) justru pada level (tahap) operasional, pada tahap pelaksanaan, paradigma yang amat penting itu menghilang.
Akibatnya tentu saja parah sekali: keimanan tidak menjadi inti kurikulum sekolah, selanjutnya pelaksanaan pendidikan di sekolah tidak menjadikan pendidikan keimanan sebagai inti semua kegiatan pendidikan, dan akibat lebih jauh ialah lulusan sekolah kita tidak memiliki keimanan yang kuat. Saya yakin di sinilah kesalahan terbesar pendidikan kita selama ini, saya yakin inilah penyebab utama terjadinya krisis yang dialami bangsa kita sekarang, yaitu keimanan yang lemah.
Kekeliruan ini harus segera dibuang; harus segera ditulis secara tegas bahwa inti kurikulum setiap sekolah adalah keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Penegasan itu cukup dituliskan pada kata pengantar buku GBPP. Bila ini tidak dilakukan maka tidak akan ada peningkatan keimanan pada lulusan sekolah kita. Ini sangat berbahaya, baik bagi diri lulusan itu maupn bagi negara dan bangsa.
Untuk menyempurnakan kurikulum pendidikan kita, diusulkan agar ditegaskan bahwa “keimanan adalah inti sistem pendidikan nasional” dan ini sekaligus dijadikan paradigma pendidikan kita. Sesuai dengan paradigma itu diusulkan pula model kurikulum pendidikan kita sebagai berikut:


Model (1)

Bahasa Inggeris

Keimanan Salah satu bidang keilmuan

Jiwa pesaing
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Model (2)

Bahasa Inggeris

Keimanan Salah satu bidang keterampilan

Jiwa Pesaing
===============================================================


Kurikulum Model (1) menyiapkan siswa untuk melanjutkan mendalami salah satu
bidang ilmu; jenjang pendidikannya ialah ke S1-S2-S3. Ini adalah model kurikulum untuk menyiapkan ilmuwan. Kurikulum Model (2) menyiapkan siswa untuk terjun ke dunia kerja dan atau meneruskan ke jenjang pendidikan frofesional yang lebih tinggi; jenjang pendidikan yang dapat dilaluinya ialah D1-D2-D3-D4-D5, spesialis dalam salah satu bidang pekerjaan.
Skema dalam model di atas itu menggambarkan satu hal yang amat mendasar yang menandai paradigma pendidikan yang diusulkan yaitu bahwa keimanan merupakan inti model, keimanan adalah inti kurikulum sekolah. Dalam Model itu tiga komponen lainnya harus dijiwai oleh komponan pertama (Keimanan).
Keimanan adalah sesuatu yang teramat penting bagi kehidupan manusia, hancurnya kebudayaan Barat menunjukkan bukti kebenaran pernyataan ini. Lebih-lebih dalam zaman global seperti sekarang dan akan lebih mengglobal di masa yang akan datang, keimanan teramat penting bagi kehidupan setiap orang, kelompok masyarakat, negara dan kehidupan dunia.
Bahasa Inggeris sangat diperlukan karena ia akan dan telah menjadi bahasa global. Sulit dibayangkan kedudukan bahasa Inggeris ini akan digeser oleh bahasa lain. Salah satu kelemahan lulusan kita hingga saat ini ialah karena kurang menguasai bahasa Inggeris. Ini nantinya akan berkaitan dengan kemenangan dalam persaingan pada tingkat global.
Sehubungan dengan bahasa Inggeris ini, kita harus mampu bergerak lebih maju, tidak lagi harus amat terikat pada peraturan pemerintah. Atau, peraturan pemerintahnya yang diubah. Sekarang ini masih ada peraturan yang mengatakan bahwa bahasa pengantar di sekolah adalah bahasa Indonesia. Akibatnya perguruan sekolah tingkat SLTA ke atas tidak berani menjadikan bahasa Inggeris sebagai bahasa pengantar di sekolah. Pada masa yang akan datang ini sekolah tingkat SLTA ke atas seharusnya menggunakan bahasa Inggeris sebagai bahasa pengantar di sekolah.
Barang siapa merasa berbakat untuk menjadi peneliti, pengembang ilmu, hendaklah ia mengambil kurikulum Model (1) yang bertujuan mendidik ilmuwan. Tidak peduli apakah ia kaya atau miskin, yang penting ia cerdas dan berbakat. Jumlah SLTA -model-model itu berlaku mulai tingkat SLTA- yang mengambil Model (1) sebaiknya sedikit saja, tetapi memiliki siswa yang seharusnya terseleksi secara ketat. Nah, jumlah SLTA yang mengambil Model (2) harus sebanyak-banyaknya.
Penanaman jiwa bersaing perlu sekali diperhatikan dalam pendidikan kita di masa datang. Kita sudah terlalu banyak terlambat memperhatikan masalah ini. Salah satu watak budaya global ialah ia hanya memberi peluang hidup kepada orang yang mampu bersaing. Lulusan kita haruslah lulusan yang berjiwa pesaing. Orang yang berfilsafat alon-alon asal klakon bukanlah warga dunia yang sesuai dengan karakteristik budaya global. Sehubungan dengan ini banyak teori pendidikan, termasuk teori pengajaran, yang harus diubah. Filsafat tut wuri handayani barangkali merupakan salah satu filsafat pendidikan yang perlu direvisi agar lebih sesuai dengan watak budaya global. Diduga filsafat ini menghasilkan lulusan yang kurang mampu mandiri.
Studi-studi Pendidikan Islam di Pascasarjana IAIN seharusnya -atau sebaiknya- dilakukan untuk secara sungguh-sungguh menyusun teori pendidikan (yang Islami) untuk disumbangkan ke usaha penyempurnaan pendidikan nasional seperti yang diusulkan itu.

Tahap 3: Kajian Pendidikan Islam untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan Dunia

Diandaikan saja, mutu pendidikan nasional (Indonesia) sudah baik, dalam arti
lulusannya beriman kuat disertai meningkatnya mutu pada bidang pendidikan lainnya (bidang keilmuan atau keterampilan, bahasa Inggeris, jiwa pesaing), jika pendidikan di negara-negara lain tidak baik, maka lulusan kita yang sudah baik itu akan rusak juga. Karakteristik budaya global akan bekerja dan akan merusak lulusan kita yang sudah baik itu. Karena itu tahap studi Ilmu Pendidikan (Islam) selanjutnya haruslah memikirkan bagaimana memperbaiki sistem pendidikan di negara-negara lain di dunia.
Pascasarjana IAIN harus ikut memperbaiki pendidikan dunia. Jika Pascasarjana IAIN melakukan hal itu, itu bukanlah hal yang istimewa, itu hanyalah suatu keharusan, suatu konsekwensi yang harus dipikul oleh orang-orang yang telah merasa berhasil menjadi manusia. Dikatakan suatu keharusan, karena ada alasan yang penting, yaitu perbaikan pendidikan di negara kita tidak akan banyak berarti jika pendidikan di negara-negara lain tidak diperbaiki. Lulusan kita yang sudah baik itu -jika memang demikian- akan segera rusak tatkala ia kontak dengan budaya luar dan atau dengan lulusan pendidikan negara lain itu. Jadi, tatkala kita menetapkan harus ikut memperbaiki pendidikan di negara lain, sebenarnya bukan dimaksudkan untuk kepentingan negara lain itu semata, melainkan
-terutama- untuk kepentingan negara kita.
Saya ingin mengingatkan para pemikir bahwa budaya global telah memaksa kita harus merombak pola pikir kita yang tadinya disusun dalam kerangka budaya belum global. Misalnya, dahulu kita berpikir, bila pendidikan kita baik, maka lulusan kita akan baik, mereka akan tetap baik apapun mutu lulusan pendidikan negara asing; kita dahulu berpikir bahwa lulusan kita tidak akan dipengaruhi oleh lulusan pendidikan di negara lain. Kita perlu mengubah pikiran kita itu. Kita perlu melakukan destruksi terhadap pemikiran kita, bila meminjam istilah Nietzsche (Lihat Sunardi, 1996:v) atau dekonstruksi bila meminjam istilah yang digunakan Derrida ataupun penafsiran kembali bila meminjam Arkoun.

Budaya Barat sudah hancur

Bukanlah suatu apologi murahan bila orang mengatakan bahwa budaya Barat telah hancur. Para penulis Barat sendiri banyak yang mengatakan demikian.
Suatu warisan kultural renessan yang mencerminkan kelemahan manusia moderen adalah sikap mendewakan rasio manusia secara berlebihan. Pendewaan ini mengakibatkan adanya kecenderungan untuk menyisihkan seluruh nilai dan norma yang berdasarkan agama dalam memandang kenyataan kehidupan. Manusia moderen yang mewarisi sikap positivistik ini cenderung menolak keterkaitan antara substansi jasmani dan substansi rohani manusia. Mereka juga menolak adanya hari akhirat. Manusia terasing tanpa batas, kehilangan orientasi, sebagai konsekwensinya lahir trauma kejiwaan dan ketidakstabilan hidup.
Bila hubungan antara hati dan akal manusia telah diputuskan maka manusia akan memperoleh kenyataan bahwa pertanyaan tentang prumusan hidup idel tidak pernah akan terjawab. Memilih sain dan teknologi sebagai satu-satunya gantungan hidup, atau meletakkan sain dan teknologi sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam kehidupan, berarti kita telah menyerahkan kehidupan manusia kepada alat yang dibuatnya sendiri. Paham posivistik memang akan bermuara pada sikap sekularistik seperti itu.
Umat manusia dibentuk sebagaimana membentuk produk industri. Tidak ada lagi keunikan -padahal manusia sebenarnya unik- yang ada hanyalah kekakuan, sehingga sadar atau tidak sadar manusia kehilangan kemerdekaannya. Padahal kemerdekaan itulah tadinya yang menjadi tujuan utama dikembangkannya sain dan teknologi. Nyatanya sain dan teknologi itu menghadirkan kerumitan hidup dan kegelapan spiritual. Manusia dipacu oleh situasi mekanistik yang diciptakannya sendiri lantas kehilangan waktu untuk merenungkan hidupnya dan alam semesta. Manusia akhirnya kehilangan orientasi, tidak tahu lagi apa tujuan hidup itu yang sebenarnya. Manusia kehilangan segala-galanya. Manusia telah sampai pada tingkat kegawatan dalam kebudayaannya.
Soedjatmoko (1984:202) mengatakan bahwa ilmu dan teknologi sekarang ini berhadapan dengan pertanyaan pokok tentang jalan yang harus ditempuh selanjutnya; pertanyaan itu sebenarnya berkisar pada masalah ketidakmampuan manusia mengendalikan ilmu dan teknologinya itu, jalannya ilmu dan teknologi tidak dapat lagi dikendalikan manusia. Pertanyaan-pertanyaan mengenai dirinya sendiri, mengenai tujuannya dan mengenai cara-cara pengembangannya, tidak akan dapat dijawab oleh ilmu dan teknologi tanpa menoleh kepada patokan-patokan mengenai moralitas, makna dan tujuan hidup manusia, termasuk apa yang baik dan yang buruk bagi manusia moderen. Patokan-patokan tentang moralitas, makna dan tujuan hidup ternyata berakar pada agama, kata Soedjatmoko (1984:203) selanjutnya.
Tiga dasa warsa terakhir menjelang berakhirnya abad ke 20, terjadi perkembangan baru yang mulai menyadari bahwa manusia selama ini telah salah dalam menjalani kehidupannya. Manusia mulai merindukan dimensi spiritual yang telah hilang dari kehidupannya. Di dunia ilmu muncul pandangan yang menggugat paradigma positivistik. Tokoh seperti Kuhn (1970) telah mengisyaratkan adanya upaya pendobrakan tatkala ia mengatakan bahwa kebenaran ilmu bukanlah suatu kebenaran sui generis (obyektif).
Dengan mengatakan itu berarti Kuhn telah menyerang jantungnya Positivisme yang menjadikan Rasionalisme sebagai andalan satu-satunya.
Herman Suwardi, guru besar Filsafat Ilmu di Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung dengan geram mengecam paradigma filsafat ilmu yang digunakan di Barat. Filsafat ilmu di Barat, katanya, hanya mengandalkan satu paradigma, yaitu paradigma sain yang merupakan warisan Descartes dan Newton. Paradigma ini tidak mampu melihat alam semesta secara keseluruhan. Karena itu ia mengusulkan paradigma baru yaitu paradigma ilmu yang bersumber pada Tuhan.
Capra telah menulis buku yang disiapkannya dalam jangka panjang. Mula-mula ia menulis The Tao of Physics. Buku yang menjadi best seller internasional ini telah menggegerkan dunia filsafat khususnya filsafat fisika. Dalam buku itu Capra mencoba memperlihatkan hubungan antara revolusi spiritual dengan fisika (Capra,1998:xxiii). Enam tahun kemudian ia menerbitkan buku penting The Turning Point: Science, Society and The Rising Culture, terjemahan dalam bahasa Indonesia berjudul Titik Balik Peradaban, cetakan pertama 1997 dan kedua 1998.
Buku Titik Balik Peradaban ini amatlah penting dibaca bila hendak memahami budaya Barat dari sudut pandang filsafat. Buku ini juga amat penting dibaca -menurut hemat saya- bila hendak memahami pendidikan di dunia Barat. Sebagian dari isi buku ini, terutama yang berhubungan dengan kebudayaan Barat dapat diringkaskan sebagai berikut ini.
Pada awal dua dasa warsa terakhir abad kedua puluh, demikian kata Capra, kita menemukan diri kita dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multi dimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan hidup, hubungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Untuk pertama kalinya kita dihadapkan pada ancaman kepunahan ras mansusia di planet ini.
Selanjutnya Capra (1998:3-10) secara rinci menjelaskan bahaya yang mengancam kehidupan ras manusia dan ketidakmampuan kaum intelektual mencari jalan mengatasinya. Kata Capra, kita telah menimbun puluhan ribu senjata nuklir, yang cukup untuk menghancurkan dunia beberapa kali, dan perlombaan senjata itu pun berlanjut dengan kecepatan yang melaju. Pada bulan November 1978, sewaktu Amerika Serikat dan Uni Soviet sedang menyelesaikan babak kedua pembicaraan Pembatasan Senjata Nuklir, Pentagon meluncurkan program nuklirnya yang paling ambisius selama dua dasa warsa; dua tahun kemudian program tersebut memuncak dalam ledakan militer terbesar dalam sejarah: anggaran belanja lima tahun untuk pertahanan sebesar 1000 miliar dolar. Sejak itu pabrik-pabrik bom Amerika melaju dengan kapasitas penuh untuk meningkatkan produksi senjata yang kekuatan penghancurnya belum pernah tertandingi.
Biaya kegilaan nuklir ini mengejutkan, yaitu 425 miliar dolar pada tahun 1978 pada tingkat dunia, lebih dari satu miliar dolar setiap hari. Sementara itu, kira-kira 90% dari lebih dari seratus negara Dunia Ketiga menjadi pembeli senjata dan menghabiskan sebagian besar dari pendapatan negaranya.
Pembuatan senjata besar-besaran oleh negara kaya dan pembelian senjata besar-besaran oleh negara miskin cukup menyebabkan Capra heran. Tentu saja pada umumnya manusia normal akan heran karena di pihak lain lebih dari 15 juta orang -sebagian besar anak-anak- meninggal karena kelaparan setiap tahun; 500 juta lainnya kekurangan gizi serius; hampir 40% penduduk dunia tidak mempunyai peluang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan profesional, 35% penduduk dunia kekurangan air minum bersih, sementara negara-negara sedang berkembang menghabiskan biaya untuk persenjataan 3 kali lebih besar ketimbang untuk kesehatan. Dunia sedang penuh kontradiksi.
Memang banyak hal yang mencengangkan. Di Amerika, yang di situ industri militer telah menjadi bagian integral dari pemerintahan, Pentagon mencoba membujuk dunia bahwa membangun lebih banyak senjata akan membuat negara lebih aman. Kenyataan sebaliknya, kata Capra, semakin banyak senjata nuklir berarti akan semakin banyak bahaya mengancam.
Dalam buku itu dijelaskan bahwa selama beberapa tahun terakhir telah terlihat adanya suatu perubahan yang mengkhawatirkan dalam kebijakan pertahanan Amerika, suatu kecenderungan membangun gudang senjata nuklir yang bukan dimaksudkan untuk pembalasan melainkan untuk penyerangan pertama. Data mengenai persenjataan nuklir Amerika menunjukkan meningkatnya kemungkinan terjadinya kerusakan secara global.
Sementara kekuatan-kekuatan militer meningkatkan persenjataan nuklir mereka, dunia industri sibuk membangun pembangkit-pembangkit tenaga nuklir yang sama-sama berbahaya, yang mengancam punahnya kehidupan di planet bumi.
Dua puluh lima tahun yang lalu tokoh-tokoh dunia memutuskan menggunakan nuklir untuk perdamaian dan atom sebagai sumber energi yang murah, bersih, dan terpercaya bagi masa depan. Kini kita menyadari bahwa nuklir itu tidak aman, tidak bersih, dan tidak pula murah. Nuklir justru mengancam kehidupan kita. Elemen-elemen radioaktif yang dilepaskan oleh rektor nuklir adalah bahan beracun. Sekarang bahan itu terus menumpuk dalam udara yang kita hirup, akibatnya ialah resiko berkembangnya kanker dan penyakit-penyakit genetik semakin meningkat. Kesimpulannya, reaktor nuklir mengancam kehidupan umat manusia.
Ancaman lain masih ada. Kelebihan penduduk dan teknologi industri telah menjadi penyebab terjadinya degradasi hebat pada lingkungan alam yang sepenuhnya menjadi gantungan hidup kita. Yang ini pun mengancam kesehatan dan kesejahteraan umat mansusia. Kota-kota besar telah diselimuti asap tebal yang berwarna kekuning-kuningan dan terasa menyesakkan dada. Polusi udara yang terus menerus ini tidak hanya mempengaruhi manusia melainkan juga mengganggu sistem ekologi. Polusi udara melukai dan membunuh tumbuh-tumbuhan dan mengubah secara drastis populasi hewan yang tergantung pada tetumbuhan itu.
Saat ini polusi udara tidak hanya ada di kota-kota industri melainkan telah menyebar ke seluruh atmosfer bumi dan dapat sangat mempengaruhi iklim global.
Selain polusi udara, kesehatan kita juga terancam oleh air yang kita minum dan makanan yang kita makan. Keduanya telah tercemar oleh berbagai macam bahan kimia beracun.
Permasalahan dalam kesehatan individu juga semakin meningkat. Sementara penyakit menular dan penyakit kekurangan gizi tetap merupakan pembunuh terbesar di Negara Ketiga, negara-negara industri diserang penyakit-penyakit kronis dan merendahkan (martabat manusia) yang lebih tepat disebut “penyakit-penyakit peradaban.” Pada sisi psikologis, depresi hebat, schizofrenia dan penyakit-penyakit psikolois lainnya tampak muncul dari kemerosotan lingkungan sosial kita. Terdapat banyak tanda disintegrasi sosial, termasuk meningkatnya kejahatan tindak kekerasan, kecelakaan, bunuh diri, meningkatnya alkoholisme, penyalahgunaan obat, dan bertambahnya anak-anak yang menderita cacat mental.
Pada aspek ekonomi, terdapat pula ancaman yang serius. Menghadapi ancaman rangkap tiga (habisnya sumber energi, inflasi, pengangguran) dalam bidang ekonomi telah menyebabkan politisi tidak tahu lagi mana yang harus diselesaikan lebih dahulu. Mereka, bersama-sama dengan media, berdebat tentang prioritas, tanpa menyadari bahwa masalah-masalah ekonomi itu -dan juga masalah kesehatan dan lingkungan tadi- sebenarnya merupakan sebuah krisis tunggal (Capra,1998:9). Baik kita berbicara tentang kanker, kejahatan, bunuh diri, polusi, nuklir, maupun kehabisan energi, dinamika yang mendasari masalah-maslah itu sebenarnya sama, demikian Capra.
Capra melihat di dunia saat ini banyak sekali terdapat kontradiksi. Kontadiksi inilah yang disebutnya sebagai kekacauan. Ini adalah suatu tanda kehancuran kebudayaan.
Haedar Nashir, dalam Agama dan Krisis Kemanusiaan Moderen (1990) mengungkapkan beberapa segi menarik pada krisis manusia moderen. Bagaimana pendewaan rasio manusia telah menjerumuskan manusia pada sekularisasi kesadaran dan menciptakan ketidakberartian hidup. Penyakit mental justru menjadi penyakit zaman seperti keserakahan, saling menghancurkan, sekularisai kebudayaan, dan ada juga pencarian makna hidup. Tetapi akhirnya untuk mencapai tujuan hidup manusia moderen justru melakukan kekerasan. Kekerasan itu amat mungkin berkembang karena adanya pandangan bahwa ukuran keberhasilan seseorang adalah sejauh mana ia mampu mengumpulkan materi dan simbol-simbol lahiriah yang bersifat formal.
Syafi’i Ma’arif dalam kata pengantar buku Haedar Nashir itu menyatakan bahwa modernisme telah gagal karena ia telah mengabaikan nilai-nilai spiritual transendental sebagai fondasi kehidupan. Akibatnya, dunia moderen tidak memiliki pijakan yang kokoh dalam membangun peradaban.
Jauh sebelum munculnya kesadaran akan kehancuran budaya Barat, Nietzsche (1844-1900) telah mengingatkan orang akan kekeliruannya dalam mendewakan rasio. Habermas misalnya, mengatakan bahwa Nietzsche adalah titik balik kesadaran manusia akan rasionalistasnya (Sunardi,1996:v). Ia sangat kritis terhadap cita-cita modernisme yang berkuasa di Eropah waktu itu. Kepercayaan akan progress sudah dilecehkan Nietzsche sejak akhir abad lalu. Kegairahan orang akan Rasionalisme ketika itu dirombak oleh Nietzsche. Jika akhir-akhir ini orang menderita demam dekonstruksi, maka Nietzsche lah yang menjadi pencetusnya. Tetapi filsafatnya disebut filsafat destruksi. Dia mengeritik hampir semua relung-relung kebudayaan Barat. Pada waktu itu orang mentertawakannya, bahkan ada yang menyebutnya gila. Bertrand Russel pada tahun 1945 menyatakan bahwa ia tidak menyenanginya dan ia mengharap filsafat Nietzsche lama-alama akan hilang. Kenyataannya filsafat Nietzsche bukan hilang, melainkan mendapat pengikut sedemikian banyak dalam mazhab Dekonstruksi pada khususnya dan Posmoderen pada umumnya.
Berdasarkan uraian itu jelaslah bahwa budaya Barat itu sudah hancur, pada akhir abad ke19 ia diramal akan hancur (oleh Nietzsche), pada akhir abad ke 20 ini kebudayaan betul-betul hancur.
Kata Capra, para intelektual menyebut bahwa sumber kemunduran tadi ialah keadaan-keadaan semacam Vietnam, Watergate, dan bertahannya perkampungan kumuh, kemiskinan, dan kejahatan. Namun tidak seorang pun dari meraka, demikian Capra, mengenali persoalan sebenarnya yang mendasari krisis itu. Menurut Capra, persoalan yang sebenarnya ialah persoalan sistemik yang berarti persoalan-persoalan itu saling berhubungan dan saling bergantung. Menurut Capra, awal persoalan itu dimulai dari kekeliruan pemikiran. Kesimpulan Capra ini perlu memperoleh penjelasan.
Capra sebenarnya hendak mengatakan bahwa budaya dunia (dalam hal ini terutama Barat) telah terpuruk di lembah kehancuran, penuh kontradiksi, kacau. Penyebab pertamanya ialah tidak tepatnya paradigma yang digunakan dalam penyusunan kebudayaan Barat itu. Inilah kekeliruan pemikiran yang dimaksud.
Dari analisis Filsafat dan Sejarah Kebudayaan kita mengetahui bahwa budaya Barat disusun dengan menggunakan hanya satu paradigma, yaitu paradigma sain (scientific paradigm). Paradigma ini disusun berdasarkan warisan Descartes dan Newton. Warisan dua tokoh ini merupakan inti pembahasan buku Capra setebal 650 halaman itu. Ia menyatakan bahwa paradigma yang diturunkan dari Cartesian dan Newtonian itulah yang menghasilkan paradigma tunggal yang digunakan dalam mendisain budaya Barat sekarang. Kesalahan terjadi karena paradigma itu tidak melihat alam dan kehidupan ini secara utuh menyeluruh (wholeness), paradigma itu hanya melihat alam ini pada bagian yang empiriknya saja.
Sebenarnya untuk pengembangan budaya sain, paradigma ini sungguh sesuai dan amat memadai, tetapi untuk mengembangkan budaya dalam bidang seni dan etika paradigma itu tidak memadai. Yang dilakukan di Barat selama ini ialah paradigma sain itu digunakan dalam pengembangan budaya sain, dan dipaksakan digunakan juga dalam pengembangan budaya seni dan etika. Saya kira di sinilah letak penyebab awal itu. Seharusnya, untuk pengembangan budaya sain digunakan paradigma sain, untuk budaya seni digunakan paradigma lain yang sesuai, demikian juga untuk pengembangan budaya etika.
Capra melihat bahwa penyebab kekacauan itu adalah karena tidak digunakannya paradigma utuh dalam merekayasa budaya. Dan Capra menuding bahwa Cartesian dan Newtonian lah yang bertanggung jawab memunculkan paradigma tunggal itu. Selanjutnya penggunaan paradigma tunggal itulah sebagai penyebab kekacauan budaya. Proses kehancuran budaya Barat yang dijelaskan Capra itu dapat digambarkan dalam skema berikut:


Cartesian dan Newtonian

Paradigma Sain yang Tunggal

Budaya Barat

Kehancuran (kacau, penuh kontradiksi)


Capra mengusulkan harus ada paradigma tunggal (yang mampu melihat alam sebagai sesuatu yang wholeness) untuk digunakan dalam mendisain kembali budaya dunia. Dia menghendaki agar filsafat China yaitu I Ching digunakan dalam memformulasikan paradigma baru tersebut. Menurutnya filsafat China tersebut mampu melihat dunia sebagai suatu sistem.
Saya melihat kemungkinan lain, yaitu harus ada tiga paradigma (masing-masing untuk budaya sain, seni, dan etika) untuk merekayasa kembali budaya dunia, ketiga paradigma itu harus diturunkan dari Islam. Mengapa mengambil Islam, bukan I Ching? Karena, sekalipun seandainya filsafat I Ching itu melihat dunia sebagai suatu keseluruhan, tetapi filsafat itu belum pernah mampu membangun satu masyarakat atau negara yang sesuai dengan isi filsafat itu. Sedangkan Islam, selain ajarannya juga melihat dunia sebagai suatu keseluruhan, telah membuktikan dirinya mampu membentuk masyarakat negara yang menerapkan isi filsafatnya itu, yaitu negara Medinah pada zaman nabi, Abu Bakar, dan Umar; kemudian muncul lagi pada zaman Umar bin Abdul Aziz, dan sekali lagi pada zaman Makmun di Baghdad.

Diperlukan paradigma pendidikan baru untuk membangun kembali budaya Barat

Tiga paradigma yang Islami itu akan muncul bila paradigma pendidikannya diubah. Jika demikian maka kita harus menyusun ulang paradigma pendidikan dunia. Kelak dari pendidikan (baru) itulah tiga paradigma itu akan muncul dan mapan.
Dengan demikian membangun kembali budaya dunia (khususnya Barat) harus dilakukan dengan cara membangun kembali paradigma kebudayaannya melalui membangun lebih dahulu paradigma pendidikannya, ini berarti perlu dibangun kembali filsafat pendidikannya. Di sinilah, menurut saya, mahasiswa dan dosen Ilmu Pendidikan Islam pada Pascasarjana IAIN dapat memberikan sumbangan yang penting, yaitu mengusulkan suatu filsafat pendidikan baru untuk membangun kembali pendidikan Barat.
Apa filsafat pendidikan (baru) yang sebaiknya diusulkan oleh Pascasarjana IAIN? Uraian berikut hendak menggambarkan kerangka kajiannya.
Orang-orang Yunani telah mewasiatkan bahwa kewajiban filosof ialah meningkatkan derajat kemanusiaan manusia. Intinya, tujuan pendidikan -menurut mereka- ialah meningkatkan derajat kemanusiaan manusia. Nietzsche, lebih kurang 2500 tahun kemudian, mengingatkan kembali bahwa kewajiban manusia ialah menjadi manusia. Nietzsche rupanya melihat manusia pada zamannya banyak yang berkembang tidak menjadi manusia. Makanya ia mengingatkan kewajiban manusia: manusia berkewajiban menjadi manusia.
Apakah peringatan para filosof itu sudah didengar? Ternyata belum. Capra melihat, pada zamannya, banyak manusia yang tidak memenuhi kewajibannya itu, bahkan pada umumnya mereka adalah para pemimpin. Ironis sekali. Pada zaman sekarang, memang kita juga melihat banyak orang yang tidak berhasilnya menjadi manusia. Ada yang berkembang menjadi hewan, bahkan ada yang berkembang menjadi lebih jahat dari pada hewan. Lihatlah, hewan mengumpulkan makanan sekedar memenuhi perutnya, sementara ada manusia yang mengumpulkan makanan untuk sekian generasi turunannya yang kadang-kadang diperolehnya dengan cara yang lebih jahat ketimbang cara yang digunakan hewan. Hewan tidak korupsi, tidak memonopoli, manusia ada yang melakukan korupsi, monopoli; hewan membunuh lawannya secara fair, sementara ada manusia membunuh lawannya secara tidak fair (menyewa pembunuh bayaran misalnya). Banyak manusia yang lebih jahat ketimbang hewan. Kenyataan ini disebut juga dalam al-Qur`an.
Sebenarnya wasiat para filosof itu penting sekali. Wasiat itu dapat dipenuhi melalui rekayasa pendidikan.
Misi pendidikan satu-satunya ialah membantu manusia agar ia mampu menjadi manusia. Bagaimana pendidikan yang mampu mengantarkan manusia menjadi manusia? Untuk menjawab pertanyaan besar ini kita harus mempelajari kembali siapa manusia itu sebenarnya.
Dengan penuh pertanggungjawaban saya berani mengatakan bahwa yang mampu menjelaskan siapa manusia hanyalah pencipta manusia. Karena pencipta mansusia adalah Tuhan, maka hanya Tuhan itulah yang mampu menjelaskan siapa manusia. Lantas bagaimana cara menjadi manusia? Tuhan juga menjelaskan secara gamblang tentang apa-apa yang harus dilakukan, apa-apa yang tidak boleh dilakukan, apa-apa yang harus dimiliki, apa-apa yang tidak boleh dimiliki oleh mansusia agar ia mampu menjadi manusia. Prinsip amat penting inilah kiranya yang telah dilupakan oleh banyak pemikir.
Mengapa banyak pemikir (dan pengambil keputusan) lupa prinsip ini? Persoalannya kembali lagi: karena pemikir (dan pengambil keputusan) itu mendisain filsafat pendidikan yang keliru. Dalam mendisain filsafat pendidikan mereka tidak memasukkan ajaran Tuhan dalam pertimbangannya. Filsafat pendidikan mereka tidak disusun berdasarkan ajaran Tuhan. Filsafat pendidikan yang harus diusulkan oleh Pascasarjana IAIN adalah filsafat pendidikan yang berketuhanan. Dengan melakukan jumping conclusion saya menyimpulkan bahwa Filsafat Pendidikan Islam lah yang harus dijadikan filsafat pendidikan dunia.

Paradigma Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam

Baik kajian Pendidikan Islam untuk (membantu) meningkatkan mutu pendidikan di kalangan umat Islam (tahap pertama), maupun Kajian Pendidikan Islam untuk (membantu) meningkatkan mutu pendidikan nasional (tahap kedua), juga kajian Pendidikan Islam untuk (membantu) meningkatkan mutu pendidikan dunia (tahap ketiga), ketiga-tiganya harus dilakukan menuruti konsep yang jelas.
Di atas tadi sudah disebutkan bahwa filsafat pendidikan untuk dunia haruslah filsafat pendidikan yang berketuhanan. Itu berarti filsafat pendidikan itu harus dibangun berdasarkan wahyu Tuhan. Kesimpulan ini sebenarnya masih sangat umum dan karena itu sama sekali belum operasional. Kesimpulan ini belum menjelaskan bagaimana menyusun filsafat pendidikan itu, kira-kira apa saja bahan pertimbangannya; kesimpulan itu baru menunjukkan arah pekerjaan.
Sebagaimana telah dikatakan sebelum ini, usaha serius dalam mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam barulah dimulai pada tahun 1993, tepatnya Oktober 1993. Tidak lama setelah itu didirikan Asosiasi Sarjana Pendidikan Islam (ASPI). Sepanjang tahun 1994 sampai 1996 banyak sekali dilakukan seminar nasional yang membicarakan Ilmu Pendidikan Islam.
Pada tahun 1995 keluar produk pertama ASPI, berupa buku yang membicarakan landasan filosofis, paradigma, metodologi, model penelitian, dan peta penelitian, semuanya dimaksudkan untuk digunakan dalam pengembangan Ilmu Pendidikan Islam (Lihat Tafsir,1995:iii). Isi buku itu berupa makalah-makalah yang dibahas dalam seminar-seminar yang banyak itu, dipilih yang berkenaan dengan topik tersebut. Penulisan buku itu memang sengaja dilakukan untuk dijadikan pegangan dalam pekerjaan mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam. Karena itu buku tersebut diberi judul Epistemologi untuk Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam. Buku itu dapat menjawab sebagian dari pertanyaan di atas tadi. Inilah filsafat dan paradigmanya.
(1) Menurut Nung Muhajir filsafat yang dapat digunakan dalam pengembangan Ilmu Pendidikan Islam hauslah filsafat yang mengakui secara eksplisit eksistensi kebenaran etik, yang ujudnya berupa nilai; menurutnya, filsafat yang seperti itu ialah idealisme, realisme, phenomenologi, khususnya realisme-metaphisik (Tafsir,1995:23). Realisme-metaphisik inilah yang diterima oleh ASPI.
(2) Nung Muhajir mengusulkan juga paradigma yang dapat digunakan dalam
pengembangan itu (Tafsir,1995:24-25) yang pada dasarnya pengembangan itu dilakukan dengan cara mengambil teori yang ada lantas dikonsultasikan kepada wahyu Tuhan. Agaknya paradigma untuk metodologi ini dapat kita sebut “induksi-konsultasi.” Paradigma ini sesuai dengan kehendak filsafat realisme-metaphisik tadi.
Saya kira filsafat dan paradigma di atas sudah banyak membantu dalam menerangi jalan pengembangan Ilmu Pendidikan Islam.
Masalah sebenarnya dalam pasal ini ialah persoalan islamisasi sain Barat. Ilmu Pendidikan itu adalah suatu sain. Di Barat ia telah berkembang pesat, teori-teorinya telah begitu banyak dan semakin banyak disiplin ilmu pendidikan memisahkan diri dari induknya untuk berdiri sebagai disiplin ilmu pendidikan sendiri. Bagaimana cara islamisasi ilmu pendidikan Barat itu? Nah, filsafat (realisme-metaphisik) dan paradigma (induksi-konsultasi) di atas tadi kiranya dapat digunakan dalam proses islamisasi itu.
Munculnya islamisasi sebagai salah satu pilihan dalam pengembangan Ilmu Pendidikan Islam didasari oleh pemikiran metodologis dan pertimbangan waktu, tenaga, dan biaya. Islamisasi dapat dianggap sebagai “metode” yang akan lebih mudah, murah, dan cepat dalam mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam.
Mengembangkan ilmu dilakukan dengan cara mengembangkan teori-teori ilmu tersebut (Tafsir,1995:1). Jadi, jika hendak mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam maka kita harus mengembangkan teori-teori Ilmu Pendidikan Islam tersebut. Mengembangkan ilmu berarti mengembangkan teorinya, karena isi ilmu adalah teori-teori. Selanjutnya mengembangkan teori dapat berarti:
(1) Merevisi teori yang sudah ada. Di sini teori lama tidak dibuang seluruhnya melainkan
hanya disempurnakan.
(2) Mengganti teori lama dengan teori baru. Di sini teori lama tersebut dibuang semuanya
dan diganti dengan teori baru.
(3) Membuat teori. Di sini, kita membuat teori, karena memang belum ada teori sebelum
itu.
Nah, dalam pengembangan teori seperti itu, apakah merevisi, mengganti, atau pun membuat teori, diperlukan metode yang menjelaskan cara kerja yang terpertanggungjawabkan. Jika kita merevisi teori atau hendak mengganti teori, itu berarti teori lama sudah ada. Teori lama yang ada dan banyak ialah teori pendidikan dari Barat. Apa salahnya kita mulai dengan memeriksa teori pendidikan Barat tersebut, lantas kita konsultasikan ke Islam (al-Qur`an dan atau hadis), boleh jadi teori itu kita terima, kita revisi, atau kita tolak. Inilah persoalan islamisasi dalam Ilmu Pendidikan Islam. Jika cara ini kita tempuh maka kita dikatakan menggunakan metode induksi-konsultasi.
Dalam salah satu seminar ASPI -kalau tidak salah di IAIN Semarang- soal ini didiskusikan secara sungguh-sungguh dan berkepanjangan. Ada dua arus yang muncul tentang cara pengembangan Ilmu Pendidikan Islam. Pertama, cara deduksi, yaitu kita mulai dari teks wahyu atau sabda rasul; lantas ditafsirkan, dari sini muncul teori pendidikan pada tingkat filsafat; teori itu dieksperimenkan, dari sini akan muncul teori pendidikan pada tingkat ilmu. Selanjutnya diurai lebih operasional sehingga langsung dapat dijadikan petunjuk teknis (manual). Urutan itu sebagai berikut:


Teks Islam (wahyu, hadis)

Tafsir (Teori pendidikan tingkat filsafat)

Dieksperimenkan

Teori pendidikan tingkat ilmu

Manual


Uraian lebih lengkap tentang proses membuat teori di atas dapat dilihat dalam buku Epistemologi untuk Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam (Tafsir,1995:96).
Cara deduksi memang menjamin teori yang diproduksi tidak akan menyimpang atau berlawanan dengan ajaran Islam. Tetapi cara ini amat lama, mahal, dan sulit. Agaknya cara kedua lebih cepat, murah, dan mudah. Kedua, ialah cara induksi-konsultasi, yaitu sebagaimana telah diuraikan tadi, kita ambil teori yang sudah ada (baik dari Barat maupun dari Timur), kita konsultasikan ke al-Qur`an dan atau hadis, jika tidak berlawanan, maka teori itu kita daftarkan ke dalam khazanah Ilmu Pendidikan Islam.
Filsafat dan paradigma inilah yang harus digunakan baik dalam studi tahap pertama, kedua, maupun ketiga. Jika kaidah yang dua ini digunakan pada ketiga tahap itu, maka dapat dijamin teori-teori yang dikembangkan pada tahap pertama, kedua, maupun ketiga tidak akan saling bertentangan. Filsafat dan paradigma itu pula yang kita gunakan dalam memperbaiki filsafat dan paradigma pendidikan Barat.

Kesimpulan

Kajian serius tentang pendidikan Islam di Indonesia dimulai dari kajian sejarah, setelah itu berkembanglah kajian konsep. Konsep-konsep mengenai metodologi pengajaran dapat dikatakan yang paling dahulu memperoleh perhatian. Pada tahun-tahun terakhir ini sudah cukup banyak buku yang diterbitkan yang membahas konsep-konsep pendidikan selain tentang metodologi pengajaran.
Kajian Pendidikan Islam sebagai ilmu (sain) juga sudah diperhatikan dalam studi di IAIN. Sejak adanya fakultas Tarbiyah di IAIN, Ilmu Pendidikan Islam sebagai nama mata kuliah telah muncul. Namun perhatian yang sungguh-sungguh dalam pengembangan Ilmu Pendidikan Islam barulah dimulai sejak tahun 1993.
Pada bulan Oktober 1993 diadakan Musyawarah Nasional Ilmu Pendidikan Islam di Ciawi, Bogor, oleh Departemen Agama. Salah satu rekomendasi musyawarah itu ialah Agar ada usaha sungguh-sungguh untuk mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam. Rekomendasi lain ialah agar di Departemen Agama ada konsorsium pendidikan Islam.
Konsorsium itu belum dapat disetujui oleh Departemen Agama pada tahun 1993 itu, dan belum juga disetujui sampai sekarang (1999). Karena itu didirikanlah Asosiasi Sarjana Pendidikan Islam (ASPI), untuk mengkoordinasikan usaha-usaha pengembangan Ilmu Pendidikan Islam.
Hasilnya, tahun 1995 diterbitkan Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, buku ini berisi filsafat, paradigma, metodologi, model penelitian, dan peta penelitian, semuanya untuk Ilmu Pendidikan Islam. Pada tahun 1996 diterbitkan Pendidikan Agama dalam Rumah Tangga (untuk anak 0-12 tahun). Dalam waktu yang dekat ini mudah-mudahan dapat diterbitkan buku Pendidikan Agama dalam Rumah Tangga (untuk remaja 13-18 tahun) dan Pendidikan Agama di Lembaga Kursus.
Kalau pola pertama kita sebut studi kesejarahan, pola kedua studi konsep, maka pola ketiga dapat disebut studi konsep-kesejarahan. Yang sudah banyak dilakukan ialah kajian menuruti pola ketiga; pola pertama sudah juga tetapi baru sedikit, pola kedua, yang agaknya lebih penting, masih amat kurang.
Pada kurikulum IAIN 1995 muncul jurusan Kependidikan Islam (KI), semula ditawarkan nama Ilmu Pendidikan Islam. Tujuan jurusan ini ialah untuk mendidik ahli Ilmu Pendidikan Islam. Mereka boleh juga menjadi guru agama bila mengambil kurikulum KI seluruhnya dan ditambah 18 SKS untuk memperoleh sertifikat Akta Mengajar IV.
Pada tahun 1997 ini pula baru disadari bahwa lulusan S1 sebenarnya belum dapat dianggap ahli. Pendidikan untuk keahlian dilakukan di S3. Jadi, kajian serius tentang pendidikan Islam dapat dilakukan di S2 dan diteruskan di S3 Pascasarjana IAIN.
Pola kajiannya sebaiknya mengambil pola studi konsep. Itu berarti bahwa kajian itu ditujukan untuk mengembangkan teori pendidikan Islam. Buku Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam yang disebutkan tadi adalah buku yang diharapkan menjadi sebagian dari pedoman dalam menentukan -terutama- metodologi yang digunakan dalam pengembangan Ilmu Pendidikan Islam itu.
Ada dua metode yang disediakan dalam buku itu. Pertama, metode deduksi. Dengan menggunakan metode ini berarti pengkaji menafsirkan ayat al-Qur`an dan atau hadis untuk memperoleh teori pendidikan Islam pada level filsafat, selanjutnya diturunkan secara logis ke teori pendidikan Islam pada level sain (ilmu). Kedua, metode induksi-konsultasi. Melalui metode ini peneliti mengambil teori pendidikan yang sudah ada (baik teori Barat maupun Timur) lantas dikonsultasikan ke teks wahyu dan atau hadis.
Jadi, dalam pengembangan Ilmu Pendidikan Islam kita sudah memiliki pola (sebaiknya pola kajian konsep) dan metodologi (disarankan induksi-konsultasi), kita juga sudah memiliki peta penelitian. Kajian pendidikan Islam di Pascasarajana IAIN disarankan mengikuti tahap-tahap berikut.
Tahap pertama, penyusunan teori pendidkan Islam untuk membantu meningkatkan mutu pendidikan di kalangan umat Islam di Indonesia. Umat Islam Indonesia banyak sekali melakukan usaha pendidikan, baik di rumah, di masyarakat, maupun di sekolah. Mereka perlu diberi bantuan berupa teori-teori, model-model, bahkan bila perlu manual (juknis) untuk meningkatkan mutu pendidikan yang mereka usahakan itu. Pascasarjana IAIN harus bertanggung jawab untuk menyusun teori, model, bahkan manual yang diperlukan itu.
Tahap kedua, penyusunan paradigma pendidikan baru untuk meningkatan mutu pendidikan nasional. Dari sudut Ilmu Pendidikan saya berpendapat bahwa lambatnya bangsa Indonesua ini maju disebabkan oleh paradigma pendidikannya yang keliru. Seharusnya pada Pelita ketiga, selambat-lambatnya mulai Pelita keempat, kesejahteraan orang Indonesia itu sekurang-kurangnya sama dengan Jepang. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Kenapa begini? Menurut saya itu disebabkan oleh kesalahan dalam disain pendidikan nasional.
Tahap ketiga, penyusunan paradigma pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan dunia.
Sudah banyak tulisan yang diterbitkan di Barat yang menjelaskan bahwa di Barat itu ada kekeliruan dalam mendisain kebudayaan. Karena itu Barat sekarang ini berada dalam kehancuran. Ciri kehancuran itu ialah banyaknya kontradiksi dan munculnya kekacauan nilai. Nietzsche, yang meninggal 1900, dengan nada geram mengecam disain kebudayaan Barat dan dengan tegas menyatakan bahwa Barat telah berada di bibir tubir kehancuran. Fritjof Capra yang belum lama ini menerbitkan bukunya yang menggegerkan The Turning Point: Science, Society and The Rising Culture (terjemahannya dalam bahasa Indonesia terbit pertama kali 1997) memperjelas pikiran Nietzsche itu dengan menyajikan data empirik tentang kehancuran Barat. Dia mengusulkan agar ada paradigma baru dalam menyusun kembali budaya Barat.
Budaya Barat memang disusun melalui hanya satu paradigma, yaitu paradigma sain. Pandangan ini berkembang dan menjadi pandangan baku tentulah merupakan hasil pendidikan. Karena itu, yang harus dilakukan ialah mengubah lebih dahulu pendidikan Barat; pengubahan itu harus didahului oleh pengubahan paradigma pendidikannya.
Pascasarjana IAIN seharusnya dapat menymbangkan paradigma pendidikan yang diperlukan itu. Pemikiran ini akan sampai juga pada kesimpulan bahwa Pascasarjana IAIN Bandung harus secepatnya membuka program doktor (S3).

--------------------




Bahan yang Digunakan

Azyumardi Azra, 1999
Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Penerbit
Logos.
Ahmad Tafsir, 1990
Filsafat Umum. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya.
Ahmad Tafsir, 1994
Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya.
Ahmad Tafsir (Editor), 1995
Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Penerbit Fakultas Tarbiyah
IAIN Bandung.
Ahmad Tafsir, 1997
Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya.
Fritjof Capra, 1998
Titik Balik Peradaban. Diterjemahkan dari The Turning Point Oleh M. Thoyibi.
Yogyakarta: Penerbit Yayasan Bentang Budaya.
Haedar Nashir, 1990
Agama dan Krisis Kemanusiaan Moderen. Bandung: Penerbit Pustaka.
St. Sunardi, 1996
Nietzsche. Yogyakarta: Penerbit LKiS
Soedjatmoko, 1984
Pembangunan dan Kebebasan. Jakarta: Penerbit LP3ES
Tim Penulis, 1999
Metodologi Pengajaran Agama. Yogyakarta: Penerbit Fakultas Tarbiyah IAIN
Semarang bekerja sama dengan Pustaka Pelajar.
Thomas S. Kuhn, 1970
The Structure of Scientific Revolution. Chicago: University of Chicago Press.