Kamis, 09 Oktober 2008

KAJIAN PENDIDIKAN ISLAMI DI IAIN/UIN

Oleh: Prof.Dr. Ahmad Tafsir



Pendidikan Islam merupakan aktivitas yang sudah dilakukan oleh orang Islam sejak awal kelahiran Islam. Tidak mengherankan dalam bidang ini telah berkembang konsep-konsep pendidikan. Konsep-konsep pendidikan yang mereka kembangkan itu kiranya dapat disebut konsep pendidikan (yang) Islami. Namun, konsep-konsep pendidikan Islami itu tidaklah berkembang sepesat konsep-konsep pendidikan Barat. Selama ini kajian pendidikan Islam di IAIN lebih banyak mengadopsi konsep-konsep pendidikan Barat ketimbang memproduksi sendiri. Perlu diketahui mengapa lambat berkembang dan jika hendak dikembangkan ke arah mana ia dikembangkan.
Sementara itu pendidikan Barat yang selama ini dibangga-banggakan, saat ini agaknya mulai mendapat sorotan cukup tajam. Mengapa? Karena ia dituding menjadi penyebab kacaunya kebudayaan Barat. Mungkinkah konsep pendidikan Islam dapat memberikan sumbangan kepada pendidikan Barat yang disebut sebagai penyebab kacaunya budaya Barat? Persoalan-persoalan penting ini dibahas pada uraian berikut ini.

Peristilahan

Sampai sekarang istilah “Pendidikan Islam” itu masih sering disamakan dengan istilah “Pendidikan Agama Islam.” Dua istilah itu masih interchangeable (saling dipertukarkan). Masih cukup banyak orang menyangka Pendidikan Islam itu adalah Pendidikan Agama Islam. Salah penyebutan ini dapat dipahami, karena Islam adalah nama agama, dan kita sering menyebutnya “agama Islam.” Jadi, boleh saja kita menyebut “Pendidikan Islam” dengan sebutan “Pendidikan Agama Islam.”
Untuk membakukan pengertian kedua istilah itu, dalam berbagai tulisan telah ditegaskan pengertian kedua istilah tersebut (Lihat misalnya Tafsir,1994:24-33;1997:8). Tim Penulis dari fakultas Tarbiyah IAIN Semarang (1999:5) menyebutkan bahwa Pendidikan Islam merupakan suatu sistem; sebagai suatu sistem Pendidikan Islam memiliki komponen-komponen yang secara keseluruhan mendukung terwujudnya sosok Muslim yang diidealkan. Telah ditegaskan bahwa Pendidikan Islam adalah nama sistem, yaitu sistem pendidikan yang Islami. Pendidikan Islam ialah pendidikan yang berdasarkan Islam. Pendidikan Islam ialah pendidikan yang teori-teorinya disusun berdasarkan al-Qur`an dan hadis. Untuk memahami pengertian ini secara lebih jelas “Pendidikan Islam” itu dapat dibandingkan dengan “Pendidikan Barat” seperti di atas tadi istilah itu digunakan. Jika “Pendidikan Islam” adalah pendidikan yang berdasarkan Islam, maka Pendidikan Barat adalah pendidikan yang berdasarkan Rasionalisme, yaitu pendidikan yang teori-teorinya disusun berdasarkan ajaran Rasionalisme. Rasionalisme adalah paham dalam filsafat yang mengatakan bahwa kebenaran itu diperoleh dan diukur dengan akal (Tafsir,1997:111). Jadi, pendidikan Barat ialah pendidikan yang teori-teorinya dibuat berdasarkan akal, karena itu Pendidikan Barat dapat disebut “Pendidikan Rasionalis.” Dalam pemakaiannya sehari-hari kata “Pendidikan Rasionalis” disederhanakan menjadi “Pendidikan” saja. Analog dengan ini maka nantinya istilah “Pendidikan Islam ” juga akan menjadi “pendidikan” saja.
Adapun “Pendidikan Agama Islam” dibakukan sebagai nama kegiatan dalam mendididikkan agama Islam. Sebagai mata pelajaran namanya ialah “Agama Islam.” Usaha-usaha dalam mendidikkan agama Islam itulah yang disebut sebagai “pendidikan agama Islam.” Dalam hal ini Pendidikan Agama Islam sejajar atau sekategori dengan pendidikan Matematika (nama mata pelajarannya ialah Matematika), pendidikan Olah Raga (nama mata pelajarannya ialah Olah Raga), pendidikan Biologi (nama mata pelajarnnya ialah Biologi), pendidikan agama Islam (nama mata pelajarannya ialah Agama Islam) dan sebagainya. Yang penting diperhatikan di sini ialah Pendidikan Islam adalah nama sistem sedangkan Pendidikan Agama Islam adalah nama kegiatan (dalam mendidikkan agama Islam kepada siswa).
Di dalam berbagai peraturan yang ada sekarang, misalnya dalam buku kurikulum (Garis-garis Besar Program Pengajaran-GBPP) di sekolah-sekolah istilah Pendidikan Agama Islam itu dipakai untuk nama mata pelajaran, demikian juga beberapa mata pelajaran lain seperti Pendidikan Olah Raga, Pendidikan Kesenian, Pendidikan Keterampilan, dan sebagainya.
Penamaan Pendidikan Agama Islam sebagai nama mata pelajaran ternyata didukung oleh Tim Penulis dari fakultas Tarbiyah IAIN Semarang. Mereka mengatakan bahwa Pendidikan Agama Islam merupakan sebutan yang diberikan pada salah satu subyek pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa dalam menyelesaikan pendidikannya pada tingkat tertentu. Ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kurikulum suatu sekolah... (Lihat Tim Penulis,1999:4).
Sebagaimana dijelaskan di atas sebenarnya penamaan itu keliru, nama mata pelajarannya seharusnya “Agama Islam” sedangkan Pendidikan Agama Islam adalah nama kegiatan pendidikannya. Mengapa nama mata pelajarannya seharusnya “Agama Islam”? Karena yang diajarkan adalah Agama Islam, bukan Pendidikan Agama Islam. Nama kegiatannya adalah Pendidikan Agama Islam dan kata “pendidikan” ini ada pada dan mengikuti setiap mata pelajaran. Karena itu pada perubahan kurikulum yang akan datang sebaiknya nama mata pelajaran “Pendidikan Agama Islam” itu diubah menjadi “Agama Islam” saja.
Dalam lembaga pendidikan Islami (misalnya SD Islam), nama sistemnya adalah pendidikan Islam, di dalamnya tentu ada Agama Islam sebagai salah satu mata pelajaran dan kegiatannya di sebut Pendidikan Agama Islam. Dalam lembaga pendidikan yang bukan Islami, misalnya dalam sistem pendidikan Pancasilais ( sistem pendidikan nasional) terdapat juga mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (yang seharusnya Agama Islam).
Ada lagi istilah yang masih membingungkan para mahasiswa dalam mengkaji pendidikan Islam, yaitu penegasan tentang perbedaan Ilmu Pendidikan Islam dan Filsafat Pendidikan Islam. Perbedaan ini juga telah dicoba dijelaskan secara tertulis dalam berbagai tulisan, misalnya dalam buku yang saya Filsafat Umum yang terbit pertama kali tahun 1990, dan Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam yang terbit pertama kali 1992.
Untuk memperjelas perbedaan pengertian kedua istilah itu kita perlu memahami perbedaan antara filsafat dan ilmu (sain). Perbedaan itu ialah sebagai berikut (Lihat lebih lanjut Tafsir,1994:14;1990:15).
Tatkala manusia baru lahir ia tidak mengetahui apa-apa, demikian disebutkan di dalam al-Qur`an. Tatkala manusia itu berumur 40 tahunan pengetahuannya banyak sekali. Pengetahuan ialah semua yang diketahui. Pengertian itu umum sekali sifatnya. Setelah diidentifikasi dapatlah diketahui bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia itu ternyata ada tiga macam, yaitu pengetahuan sain, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik. Matrik berikut dapat menjelaskan secara gampang:

Jenis Pengetahuan Obyek Paradigma Metode Kriteria
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
S A I N empiris sain sain rasional-empiris

FILSAFAT abstrak-rasional rasional rasional rasional

MISTIK abstrak-supra mistik mistik keyakinan,
rasional kadang-kadang
empiris
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pengetahuan sain ialah pengetahuan tentang obyek-obyek empiris, diperoleh melalui penelitian sain (scientific research), kebenarannya diukur dengan logika dan data empiris. Bila teorinya logis dan empiris maka teori itu benar. Paradigmanya ialah paradigma sain (scientific paradigm). Pengetahuan sain inilah yang disebut ilmu dalam bahasa Indonesia; jadi, pengetahuan sain adalah pengetahun ilmu (harap diingat: bukan ilmu pengetahuan). Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan tentang obyek-obyek abstrak tetapi masih mampu dicapai oleh logika, kebenarannya diukur dengan logika, bila teorinya logis maka teori itu benar, bila tidak, salah. Paradigmanya ialah paradigma logika (logical paradigm). Sedangkan pengetahuan mistik ialah pengetahuan tentang obyek-obyek yang abstrak-supra-logis, yaitu obyek-obyek yang abstrak dan akal tidak dapat mencapainya. Kebenaran pengetahuan ini diukur dengan keyakinan, kadang-kadang kebenarannya dapat diukur secara empiris, paradigmanya ialah paradigma mistik (mistical paradigm) (Uraian lebih luas lihat dalam Tafsir,1990:14-16;1994:5-11).
Filsafat Pendidikan Islam adalah filsafat, yaitu filsafat tentang pendidikan Islami. Obyek kajiannya ialah bagian-bagian yang abstrak tentang pendidikan. Kebenarannya ditentukan apakah teori-teorinya logis atau tidak, bila logis maka benar, bila tidak, maka salah. Sedangkan Ilmu Pendidikan Islam ia adalah ilmu (sain), obyek kajiannya ialah bagian-bagian pendidikan yang empirik. Kebenarannya ditentukan apakah teori-teorinya logis dan empiris atau tidak, bila logis dan empiris, maka teori itu benar, bila tidak, salah.
Kebingungan mahasiswa selama ini kelihatannya disebabkan juga oleh kenyataan buku-buku literatur bidang pendidikan Islam yang ada selama ini, terutama yang klasik dalam bahasa Arab, pada umumnya tidak memisahkan kedua disiplin pengetahuan itu. Dalam buku-buku itu ada filsafat pendidikan dan ada juga ilmu pendidikan. Penulisnya tidak memisahkan keduanya.
Untuk keperluan ketajaman studi agaknya antara kedua disiplin itu harus dipisahkan secara tegas. Untuk kepentingan aplikasi jelas pemisahan itu amat perlu, sebab teori filsafat tidaklah dapat dioperasikan, yang dapat dioperasikan adalah teori ilmu.

Perlunya Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam

Dalam bukunya yang baru terbit (1999) Azyumardi Azra menyatakan kekecewaannya yang mendalam tentang kurangnya perhatian terhadap kajian Ilmu Pendidikan Islam. Ia mengatakan, kajian kependidikan Islam nampaknya merupakan bidang yang belum tergarap secara serius. Bahkan, katanya lagi, lebih memperihatinkan lagi, kajian kependidikan Islam dalam konteks Indonesia lebih ketinggalan (Azyumardi Azra,1999:85). Dia kecewa berat rupanya karena pada saat yang sama, aspirasi dan tuntutan masyarakat muslim terhadap (peningkatan mutu) pendidikan Islam semakin besar (Azyumardi Azra,1999:85). Saya memahami benar yang dikeluhkan penulis muda tersebut.
Sebenarnya, sejak adanya fakultas Tarbiyah di IAIN, Pendidikan Islam telah dijadikan salah satu bahan kajian; “Pendidikan Islam” telah muncul sebagai salah satu nama mata kuliah. Tetapi, dengan tidak bermaksud mengecilkan usaha tokoh-tokoh terdahulu, usaha mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam yang serius di fakultas Tarbiyah IAIN memang barulah dimulai sekitar akhir tahun 1993.
Pada bulan Oktober 1993 telah diadakan Musyawarah Nasional Ilmu Penidikan Islam di Ciawi, Bogor; musyawarah itu diselenggarakan oleh Departemen Agama. Salah satu rekomendasi penting yang diberikan oleh musyawarah itu ialah Agar ada usaha sungguh-sungguh untuk mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam.
Sesungguhnya keinginan adanya usaha sungguh-sungguh untuk mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam telah ada sejak lama sebelum pertemuan di Ciawi itu tetapi dapat dikatakan belum sungguh-sungguh. Keinginan itu didorong antara lain oleh kenyataan banyaknya sekolah Islam yang kurang baik mutunya. Mutu yang kurang baik itu diduga disebabkan oleh belum digunakannya teori-teori pendidikan (Islami) yang sesuai dengan tuntutan zaman. Dugaan itu ternyata benar, itu saya ketahui -misalnya- berdasarkan penelitian yang saya lakukan.
Pada tahun 1984 saya menulis thesis magister di Pascasarjana IAIN Jakarta dan pada tahun 1988 saya menulis disertasi, juga di lembaga yang sama. Baik thesis maupun disertasi yang saya tulis itu semuanya mengenai pendidikan Islam di organisasi Muhammadiyah. Dalam penelitian itu saya menemukan sesuatu yang menurut hemat saya amat menarik. Apa yang saya temukan?
Pada waktu itu (1988), saya menemukan lebih banyak sekolah Katolik yang baik dibandingkan dengan sekolah Islam, dalam perbandingan. Itu saya ungkapkan secara dramatis dalam susunan “Sulit mencari sekolah Islam yang baik, sama sulitnya dengan mencari sekolah Katolik yang buruk.”
Temuan itu mendorong saya mempelajari lebih jauh. Tatkala saya tanyakan mengapa sekolah-sekolah Islam banyak yang buruk, rata-rata jawaban yang diberikan ialah “karena kekurangan biaya, kekurangan dana.” Data “kekurangan dana” ini saya usut terus. Diujungnya saya meragukan kebenaran itu karena kenyataannya umat Islam itu tidaklah seluruhnya miskin, setiap tahun banyak sekali orang Islam yang mengerjakan ibadah haji yang kedua, ketiga dan selanjutnya. Data menjelaskan bahwa setiap tahun kira-kira 10% jama’ah haji Indonesia adalah mereka yang mengerjakan haji mengulang (kedua, ketiga, dn seterusnya). Amat menarik, ibadah haji mengulang yang hukumnya mungkin hanya sunnat, sedangkan membangun sekolah yang baik hukumnya sekurang-kurangnya fardhu kifayah tetapi banyak orang Islam mendahulukan mengerjakan yang sunnat itu. Ada apa pada umat islam? Mengapa demikian? Mengapa umat Islam itu mendahulukan ibadah sunnat ketimbang fardhu kifayah? Jadi, di sini, ada masalah yang harus diselesaikan, masalah itu bukan masalah kaya atau miskin,masalahnya terletak pada pemikiran dan sikap.
Penelitian saya di sekolah-sekolah Islam menghasilkan kenyataan lain yang sesungguhnya tidak mengejutkan. Banyak sekolah Islam yang dipimpin oleh kepala sekolah yang tidak dididik untuk itu, banyak guru yang mengajarkan mata pelajaran yang ia tidak disiapkan untuk tugas itu. Banyak sekolah yang dibangun tidak melalui perencanaan yang memadai. Banyak lembaga pendidikan yang kacau administrasinya. Kesimpulannya ialah pengurus-pengurus sekolah Islam itu belum menerapkan paham profesionalisme dalam pengelolaan sekolah. Padahal hadis nabi menjelaskan bahwa menerapkan profesionalisme itu merupakan keharusan bagi orang Islam.
Dua kenyataan itu membawa saya pada penyelidikan lanjutan yang saya lakukan setelah saya selesai ujian disertasi. Dari penyelidikan itu saya memperoleh kesimpulan penting: Pandangan dan pemikiran umat Islam tentang pendidikan harus diperbaiki. Bagaimana memperbaikinya?
Sesuai dengan kelemahan yang ada, maka perbaikan dilakukan dalam dua hal, pertama perbaikan segi pandangan atau sikap. Para ahli pendidikan Islam harus memberikan penjelasan bagaimana pandangan dan sikap orang Islam itu seharusnya terhadap kekayaannya, terhadap kewajibannya, dan terhadap tanggung jawab sosialnya. Kelemahan segi penguasaan teori pendidikan diperbaiki dengan cara menyediakan bagi mereka teori-teori pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman. Bagian kedua inilah yang menjadi pendorong luar biasa pada saya dan kawan-kawan untuk secara lebih sungguh-sungguh mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam itu.
Salah satu rekomendasi musyarah Ciawi itu ialah agar di Departemen Agama mendirikan Konsorsium Ilmu Pendidikan Islam. Dalam Musyawarah Nasional Pendidikan Islam di Ciawi itu, Zakiah Daradjat menekankan pentingnya ada konsorsium Ilmu Pendidikan Islam; perguruan tinggi hendaknya mengusahakan adanya konsorsium itu. Konsorsium itulah kelaknya diharapkan dapat memperhatikan pengembangan Ilmu Pendidikan Islam. Tetapi, usul ini belum mendapat tanggapan serius dari Departemen Agama. Karena itu kami dan kawan-kawan mendirikan Asosiasi Sarjana Pendidkan Islam (ASPI) pada tahun 1995, yang saya ketuai sampai sekarang (1999).
Organisasi ASPI ini tidaklah hebat, sampai sekarang (1999) susunan personalianya sangat sederhana yaitu hanya ada seorang ketua dan seorang sekretaris, belum memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga secara resmi, belum memiliki stempel, usahanya hanya satu macam yaitu mengorganisasikan seminar-seminar nasional Ilmu Pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh fakultas Tarbiyah IAIN seluruh Indonesia dan menindaklanjuti hasil seminar itu dalam bentuk menerbitkannya, bila dianggap sebagai karya yang baik. Sekarang ini telah diterbitkan buku (1) Epistemologi untuk Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam, di dalamnya ada peta pengembangan Ilmu Pendidikan Islam (2) Pendidikan Agama di Rumah Tangga untuk Anak 0-12 Tahun. Akan terbit pada waktu yang tidak lama lagi (3) Pendidikan Agama di Rumah Tangga untuk Remaja 12-18 Tahun, dan (4) Pendidikan Agama di Lembaga Kursus.
Apa yang dihasilkan ASPI itu sebenarnya kecil saja nilainya. Yang dianggap hasil bernilai besar ialah telah tumbuhnya kesadaran dan keberanian di kalangan sarjana pendidikan Islam untuk mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam. Sejak tahun 1994 banyak buku Ilmu Pendidikan Islam yang diterbitkan yang ditulis oleh anggota ASPI.

Munculnya Jurusan Ilmu Pendidikan Islam di Fakultas Tarbiyah IAIN

Ilmu Pendidikan Islam sudah dijadikan salah satu mata kuliah sejak lama. Mata kuliah ini selalu muncul dalam kurikulum fakultas Tarbiyah jurusan Pendidikan Agama Islam. Karena alokasi waktu yang diberikan terlalu kecil tentu tidak mungkin dilakukan studi pendidikan Islam yang mendalam dalam perkuliahan. Kajian serius barulah mungkin bila Ilmu Pendidikan Islam itu dijadikan satu jurusan tersendiri.
Salah satu topik yang dibicarakan dalam Musyawarah Nasional Pendidikan Islam di Ciawi itu ialah Perlunya Pembukaan Jurusan Ilmu Pendidikan Islam di fakultas Tarbiyah IAIN. Pembukaan jurusan ini dimaksudkan agar pengkajian dan pengembangan Ilmu Pendidikan Islam itu dapat dilakukan lebih sungguh-sungguh. Karena itu maka dalam Kurikulum IAIN Tahun 1995 muncullah jurusan Kependidikan Islam (KI) lengkap dengan silabusnya.
Nama jurusan “Kependidikan Islam” adalah hasil kompromi. Penggagas munculnya jurusan ini, yaitu Ahmad Tafsir, mengusulkan nama “Ilmu Pendidikan Islam” tetapi setelah melalui diskusi yang cukup alot yang disetujui ialah nama “Kependidikan Islam” (KI), tidak apa-apa.
Di dalam Kurikulum IAIN 1995 disebutkan bahwa tujuan jurusan ini ialah untuk menghasilkan sarjana strata satu (S1) yang ahli dalam Ilmu Pendidikan Islam, lulusan jurusan ini tidak disiapkan untuk menjadi guru agama. Tatkala menyusun Kurikulum 1995 itu belumlah disadari bahwa sarjana S1 sebenarnya belum berkualifikasi ahli. Sementara itu pada tahun 1997 timbul masalah, mahasiswa jurusan KI menuntut supaya mereka kelaknya diperbolehkan menjadi guru agama. Alasan mereka yang sulit ditolak ialah alasan hukum. Fakultas Tarbiyah adalah fakultas keguruan yang menghasilkan guru, ia adalah lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK); jadi, lulusannya secara otomatis harus boleh menjagi guru. Penyelasaian masalah ini ternyata tidak begitu mudah.
Dalam seminar nasional pendidikan Islam di fakultas Tarbiyah IAIN Banjarmasin direkomendasikan agar ada pertemuan nasional yang diselenggarakan oleh Direktorat Perguruan Tinggi Agama Departemen Agama untuk menuntaskan persoalan ini. Pertemuan itu tidak jadi berlangsung. Penyelesaian masalah ini akhirnya dilakukan dengan cara memberikan ijazah Akta Mengajar IV kepada mereka dengan kewajiban mengambil beberapa mata kuliah tambahan sebanyak 18 SKS. Kebijakan itu dikomunikasikan kepada seluruh pimpinan fakultas Tarbiyah IAIN seluruh Indonesia oleh dekan fakultas Tarbiyah IAIN Bandung yang kebetulan merangkap ketua ASPI. Sekarang, keberadaan jurusan ini pada program S1 ada baiknya direnungkan kembali. Jurusan ini sebenarnya lebih tepat dibuka pada jenjang Pascasarjana di IAIN.

Kajian Ilmu Pendidikan Islam di Pascasarjana IAIN/UIN

Pada tahun 1982 dibuka Program Pascasarjana di IAIN Jakarta, setahun kemudian dibuka juga di IAIN Yogyakarta. Sekarang ini (1999) telah ada Program Pascasarjana di IAIN Surabaya, IAIN Ujungpandang, IAIN Bandung, IAIN Medan, IAIN Aceh, IAIN Pekanbaru, IAIN Semarang, dan STAIN Malang selain Pascasarjana di IAN Jakarta dan IAIN Yogyakarta tadi, jadi sudah ada sembilan IAIN yang membuka Program Psacasarjana dan satu STAIN, jumlah seluruhnya sepuluh. Di seluruh Pascasarjana itu ada jurusan Ilmu Pendidikan Islam, sekurang-kurangnya ada perhatian khusus terhadap studi Ilmu Pendidikan Islam. Memang di Pascasarjana IAIN inilah terdapat peluang yang besar untuk mendidik ahli Ilmu Pendidikan Islam.
Kembali ke Azyumardi Azra yang sudah dikutip di atas. Menurut pendapatnya (lihat Azyumardi Azra,1999:86-94) pola kajian kependidikan Islam yang sudah dilakukan selama ini di IAIN dimulai dengan pola kajian historis. Ini adalah kajian kependidikan Islam yang menjelaskan pendidikan Islam dari segi sejarah. Katanya, karya Mahmud Yunus dan dilengkapi oleh karya Mulyanto Sumardi dapat dijadikan contoh. Saya setuju pendapat itu. Pola kedua disebutnya pola kajian pemikiran kependidikan. Menurutnya karya-karya Hasan Langgulung, Muzayyin Arifin, Zakiah Daradjat, Syahminan Zaini, Abdul Munir Mulkhan, Ahmad D. Marimba, dapat dijadikan contoh karya pola ini. Selanjutnya, ada pola lain, yaitu pola kajian metode. Dia menyebut karya Ahmad Tafsir dapat dijadikan contoh, sekalipun masih harus disempurnakan.
Ketiga pola yang disebutkan itu dapat saya rasakan dan saya pahami. Memang benar, karya-karya itu belum mencakupi aspek yang luas. Masih sangat banyak kebutuhan masyarakat dalam pendidikan yang belum dijadikan topik pengkajian.
Dengan memperhatikan thesis dan disertasi yang ditulis oleh mahasiswa Pascasarjana IAIN dapat diketahui bahwa tujuan kajian Ilmu Pendidikan Islam sampai sekarang (l999) terlalu menekankan pengungkapan (kembali) pemikiran tokoh klasik tentang pendidikan. Jika digunakan pola-pola Azyumardi tadi, maka kajian ini dapat digolongkan dalam pola kajian historis-pemikiran, jadi, dua pola disatukan. Ada thesis yang berjudul Konsep Guru Menurut al-Ghazali, ditulis oleh Imam Syafe’i pada Pascasarjana IAIN Yogyakarta tahun 1989; ada thesis yang berjudul Menguak Konsep Pendidikan Islam Klasik: Studi Atas Pemikian Ibnu Maskawayh, ditulis oleh Agus Salim Daulay di Pascasarjana IAIN Yogyakarta, 1995; Muhyidin Baesuni menulis thesis yang berjudul Konsep Pendidikan Moral Menurut Syeikh Nawani al-Bantani, Pascasarjana IAIN Yogyarakat, 1996; Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Ibnu Maskawayh dan al-Ghazali, thesis magister yang ditulis oleh Junaedi di Pascasarjana IAIN Yogyakarta, 1997; Konsep Pedagogik Ibnu Khaldun, thesis ditulis oleh Warul Walidin AK di Pascasarjana IAIN Yogyakarta tahun 1997; Pemikiran Ibnu Taymiyah tentang Pendidikan, thesis yang ditulis oleh Ahmad Dimyati pada Pascasarjana IAIN Yogyakarta tahun 1995 dan banyak lagi lainnya.
Pengungkapan kembali pemikiran tokoh kontemporer juga dilakukan misalnya Pemikiran Pendidikan Islam Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, thesis yang ditulis oleh Ilmiyati, Pascasarjana IAIN Yogyakarta, tahun 1997; Pemikiran Pendidikan Islam Kontemporer: Studi Atas Pemikiran Hasan Langgulung, thesis ditulis oleh Mahfud Junaedi, Pascasarjana IAIN Yogyakarta, 1997 dan masih ada yang lain.
Studi pendidikan Islam seperti itu memang diperlukan. Dengan mengungkapkan (kembali) teori-teori pendidikan klasik boleh jadi ditemukan teori yang dapat digunakan untuk meningkatkan pendidikan umat Islam sekarang ini. Tetapi, jika teori-teori klasik itu hanya diungkapkan, tidak diproyeksikan untuk digunakan dalam usaha peningkatan mutu pendidikan Islam -mutu sekolah-sekolah Islam misalnya- maka kajian seperti itu hanya kecil saja nilainya. Hanya kecil saja, karena studi seperti itu (1) tidak akan akan banyak membantu dalam memperkaya teori Ilmu Pendidikan Islam, dan (2) tidak akan banyak membantu dalam memperbaiki mutu pendidikan di kalangan umat Islam. Karena itu perlu dilakukan perubahan tujuan dalam kajian Pendidikan Islam di Pascasarjana IAIN.
Berikut ini diajukan tiga tahap -bukan pola- kajian Pendidikan Islam di Pascasarjana di IAIN yang dilihat dari segi urgensinya.

Tahap 1: Kajian untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan Umat Islam Indonesia

Umat Islam di Indonesia banyak sekali mendirikan lembaga pendidikan berupa sekolah. Untuk tingkat sekolah dasar (SD) misalnya, umat Islam mendirikan Madrasah Ibtida`iyah Swasta (MIS). Sekarang (l999) jumlah MIS ada lebih kurang 92% dari jumlah MI seluruhnya sedangkan Madrasah Ibtida`yah Negeri (MIN) hanya lebih kurang 8%. Mutu MIN dan MIS itu pada dasarnya sama saja, yaitu kurang baik. Tidak kalah pentingnya, umat Islam juga menyelenggarakan pendidikan di rumah tangga. Mutu pendidikan Islam di rumah juga kurang baik mutu.
Kenyataan itu menunjukkan bahwa para ahli pendidikan Islam harus segera menyediakan teori-teori pendidikan (yang Islami) yang lebih baik dari pada yang ada sekarang, teori-teori itu harus disesuaikan dengan tuntutan keadaan sekarang. Jadi, diperlukan kajian pendidian Islam yang bertujuan membuat teori-teori pendidikan Islam yang kelaknya dapat digunakan oleh orang Islam Indonesia dalam meningkatkan mutu pendidikan Islam di rumah tangga, di sekolah, dan di lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
Penyusunan teori pendidikan Islam untuk memenuhi keperluan umat Islam tersebut haruslah didahulukan, harus dijadikan prioritas pertama dalam kajian pendidikan Islam di Pascasarjana IAIN. Peningkatan sumber daya manusia (SDM) di kalangan umat Islam Indonesia harus segera dilakukan dengan sungguh-sungguh agar umat Islam mampu berperan lebih konstruktif dalam masyarakat Indonesia yang telah hidup dalam budaya global.
Topik-topik kajian untuk ini dapat dibagi dua, pertama mengubah sikap yang keliru tentang pendidikan, kedua menyediakan teori-teori pendidikan.
Sikap umat Islam selama ini yang agaknya keliru antara lain ialah sebagai berikut:
(1) Mendahulukan amal sunnat dan membelakangkan amal wajib atau fardhu; pandangan
ini harus diubah menjadi mendahulukan yang wajib atau fardhu dan menomorduakan
yang sunnat;
(2) Kurang mementingkan profesionalisme dalam pengelolaan pendidikan; diubah menjadi
menerapkan paham profesionalisme dalam pengelolaan pendidikan;
(3) Pendapat bahwa sekolah Islam harus baik tetapi harus murah; diubah menjadi sekolah
Islam harus baik dan yang baik pasti mahal.
Mengenai penyediaan teori ternyata teori-teori pendidikan yang harus disediakan amat banyak, kelompok teori yang diperlukan itu dapat dilihat pada matrik berikut:






---------------------------------------------------------------------------------------------------------
a b c d e f g h i j
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
1 x x x x x x x x x x
2 x x x x x x x x x x
3 x x x x x x x x x x
4 x x x x x x x x x x
5 x x x x x x x x x x
6 x x x x x x x x x x
7 x x x x x x x x x x
8 x x x x x x x x x x
9 x x x x x x x x x x
10 x x x x x x x x x x
11 x x x x x x x x x x
12 x x x x x x x x x x
13 x x x x x x x x x x
14 x x x x x x x x x x
15 x x x x x x x x x x
16 x x x x x x x x x x
17 x x x x x x x x x x
18 x x x x x x x x x x
19 x x x x x x x x x x
20 x x x x x x x x x x
21 x x x x x x x x x x
22 x x x x x x x x x x
23 x x x x x x x x x x
24 x x x x x x x x x x
25 x x x x x x x x x x
26 x x x x x x x x x x
27 x x x x x x x x x x
28 x x x x x x x x x x
29 x x x x x x x x x x
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kelompok-kelompok pendidikan yang perlu dikembangkan (perlu disediakan teorinya) di atas itu sekurang-kurangnya ialah berikut ini:
1. Treori pendidikan pranatal
2. Teori pendidikan anak di rumah tangga karir
3. Teori pendidikan anak di rumah tangga non-karir
4. Teori pendidikan remaja di rumah tangga karir
5. Teori pendidikan remaja di rumah tangga non-karir
6. Teori pendidikan anak di rumah tangga kelas bawah
7. Teori pendidikan anak di rumah tangga kelas atas
8. Teori pendidikan remaja di rumah tangga kelas bawah
9. Teori pendidikan remaja di rumah tangga kelas atas
10. Teori pendidikan untuk pesantren tradisional
11. Teori pendidikan untuk pesantren moderen
12. Teori pendidikan untuk pesantren kilat
13. Teori pendidikan untuk majlis ta’lim
14. Teori pendidikan untuk khotbah-khotbah
15. Teori pendidikan untuk kursus-kursus
16. Teori pendidikan untuk kantor-kantor
17. Teori pendidikan untuk rumah sakit
18. Teori pendidikan untuk rumah yatim
19. Teori pendidikan untuk tahanan anak-anak
20. Teori pendidikan untuk tahanan remaja
21. Teori pendidikan untuk tahanan dewasa
22. Teori pendidikan untuk para pengusaha
23. Teori pendidikan di taman kanak-kanak
24. Teori pendidikan di SD
25. Teori pendidikan untuk Ibtida`iyah
26. Teori pendidikan untuk SLTP
27. Teori pendidikan untuk Tsanawiyah
28. Teori pendidikan untuk sekolah menengah umum
29. Teori pendidikan untuk sekolah menengah kejuruan
30. Teori pendidikan untuk perguruan tinggi
31. Teori pendidikan untuk anak luar biasa
dan lain-lain.
Jadi, sekurang-kurangnya ada 31 kelompok pendidikan yang memerlukan teori-teori pendidikan Islami. Dikatakan “kelompok” karena setiap kelompok itu sebenarnya merupakan “induk” yang dapat dibagi lagi menjadi beberapa topik. Dengan demikian teori yang diperlukan untuk meningkatkan mutu pendidikan umat Islam sangat banyak. Matrik di atas dapat dianggap sebagai peta pengembangan atau peta penelitian pendidikan Islam.
Selanjutnya, masing-masing kelompok itu dibagi lagi menurut komponen-komponen pendidikannya. Komponen-komponen itu sekurang-kurangnya adalah sebagai berikut:
a. Tujuan, b. Pendidik, c. Anak didik, d. Kurikulum, e. Metode,
f. Buku teks siswa dan guru, g. Pembiayaan, h. Ruang kelas,
i. Perangkat keras lainnya, j. Kegiatan.
Dengan demikian akan ditemukan sekurang-kurangnya 31X10 = 310 topik yang harus dikembangkan dengan cara menyusun teori-teorinya. Jadi, dilihat dari keperluan umat Islam Indonesia tugas kajian pendidikan Islam di Pascasarjana IAIN sebenarnya amat berat, dosen dan mahasiswa jurusan Ilmu Pendidikan Islam Pascasarjana IAIN mestinya sangat sibuk.

Tahap 2: Kajian Pendidikan Islam untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan Indonesia

Pada bulan Juli 1997 Indonesia sebagai bangsa dan negara mulai mengalami krisis. Krisis itu dimulai dengan krisis moneter dengan ciri nilai rupiah turun terhadap dollar AS. Krisis moneter ini segera berkembang menjadi krisis ekonomi dengan tanda yang menonjol berupa banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Tak lama kemudian muncul krisis politik yang ditandai dengan ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah dan pada puncak krisis ini Soeharto berhenti sebagai presiden.
Para ahli menyebutkan bahwa krisis itu disebabkan oleh adanya kesalahan di bidang politik, hukum, dan ekonomi. Maksudnya, ada beberapa kekeliruan dalam kebijakan bidang politik, ada beberapa kekeliruan dalam kebijakan bidang hukum, ada beberapa kekeliruan kebijakan dalam bidang ekonomi. Kekeliruan-kekeliruan itu menyebabkan terjadinya krisis moneter, meningkat menjadi krisis ekonomi, dan selanjutnya berkembang menjadi krisis politik. Kesimpulannya, kekeliruan-kekeliruan dalam tiga bidang itulah yang menjadi penyebab krisis.
Pada intinya, ketiga krisis itu disebabkan oleh meralelanya perbuatan korupsi. Agar korupsi itu mudah dilakukan maka diperlukan kerjasama, kerjasama inilah yang disebut kolusi; agar kolusi itu berjalan mulus maka diperlukan penempatan pertugas-petugas penting dari kalangan kawan, kenalan, atau keluarga, yang penempatannya tidak melalui prosedur yang wajar, inilah hakikat nepotisme. Jadi dapatlah dipahami bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) itu intinya yang sebenarnya hanya satu yaitu korupsi.
Korupsi itu ada yang wajar dan ada yang tidak wajar. Korupsi yang wajar ialah korupsi yang dilakukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan, perumahan, kesehatan, dan pendidikan. Setelah kebutuhan pokok itu terpenuhi, orang tersebut berhenti melakukan korupsi. Ini adalah korupsi wajar dilihat dari sudut pandang psikologis. Korupsi yang memprakporandakan negara kita sekarang ini (1997 dan masih berlangsung 1999) adalah korupsi yang tidak wajar. Korupsi yang tidak wajar adalah yang merupakan penyakit jiwa. Dalam al-Qur`an barangkali Abu Lahab adalah contoh orang yang mengidap penyakit jiwa dalam bentuk senang menghitung-hitung kekayaannya. Begitu juga orang yang menderita penyakit ini (korupsi) ia akan merasakan penderitaan (kejiwaan) bila tidak melakukan korupsi dan jiwanya akan tenang bila melakukan korupsi. Sebenarnya orang seperti ini tidak lagi memerlukan harta, yang ia perlukan ialah menghitung-hitung hartanya; bila tidak selalu bertambah maka menderitalah ia.
Korupsi yang tidak wajar itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang sedang sakit. Dikatakan sakit karena tindakannya itu tidak rasional, ia sudah neniliki kecukupan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, bahkan sudah mampu memenuhi kebutuhan-kebutahan tidak pokok baik yang sekunder, tertier (atau apa lagi), seperti hiburan, makan enak, mobil mewah, main golf, dan sebangsanya; ia mengetahui bahwa korupsi itu tidak baik, baik menurut pandangan ilmu maupun pandangan agama; ia tahu bahwa bila korupsinya diketahui orang maka ia akan celaka, tetapi ia lakukan juga korupsi. Jelas ini merupakan penyakit. Sama halnya dengan orang yang mencandu minuman keras. Ia tahu bahwa minuman keras itu sangat berbahaya bagi dirinya dan orang lain, tetapi ia meminumnya juga. Mengapa? Karena pencandu itu adalah orang yang sedang sakit secara kejiwaan. Agaknya ada jenis penyakit yang belum masuk dalam daftar kedokteran jiwa, yaitu penyakit korupsi, yaitu bila seseorang telah kecanduan korupsi. Nah, korupsi yang tidak wajar inilah yang menjadi salah satu penyebab utama kebangkrutan negara kita sekarang (1999).
Korupsi yang tidak wajar itulah yang menjadi salah satu penyebab awal kehancuran negara kita sekarang ini. Tapi, bila dianalisis lebih jauh, maka segera akan diketahui bahwa penyakit korupsi itu sebenarnya bukan penyebab awal terjadinya krisis. Penyakit korupsi itu ada penyebabnya. Penyebab awalnya adalah karena kemerosotan akhlak telah melampaui batas. Akhlak yang telah rusak parah itulah yang menyebabkan seseorang mampu melakukan korupsi yang tidak wajar. Orang yang akhlaknya baik tidak akan mampu melakukan korupsi, sekalipun -mungkin- ia mau melakukannya, apalagi korupsi yang tidak wajar.
Akhlak yang rendah telah menyebabkan timbulnya penyakit jiwa yang disebut jiwa korup. Jiwa korup inilah yang mampu melakukan tindakan korupsi yang tidak wajar tersebut. Maka dapatlah diketahui bahwa penyebab awal krisis yang kita alami sekarang adalah kemerosotan akhlak.
Akhlak yang rendah itu tentu ada penyebabnya. Secara teoritis, lemahnya keimanan adalah penyebab utama merosotnya akhlak. Nah, keimanan yang rendah inilah kiranya penyebab yang paling awal kehancuran negara kita sekarang. Mengapa keimanan merosot?
Tentu banyak faktor yang menyebabkan merosotnya keimanan orang Indonesia. Satu di antaranya -yang saya kira merupakan penyebab utamanya- ialah karena ada kesalahan dalam desain pendidikan nasional.
Analisis tentang penyebab krisis nasional yang dialami sekarang lebih mudah dipahami melalui skema berikut ini.

Disain Pendidikan yang Salah

Keimanan yang Lemah

Kemerosotan Akhlak yang Parah

Korupsi yang Sudah menjadi Penyakit

Krisis Moneter

Krisis Ekonomi

Krisis Politik

Jadi, bila tidak ingin terjadi lagi krisis politik perbaikilah disain pendidikan nasional. Ini penting, karena krisis politik dapat menyebabkan kehancuran total, dapat menyebabkan kesengsaraan luar biasa, dapat menyebabkan Indonesia sebagai negara dan bangsa menghilang dari peta politik dunia.

Sistem pendidikan nasional: paradigma dan model kurikulum

Pancasila adalah dasar negara. Menurut hemat saya, sebagai dasar negara Pancasila cukup memenuhi syarat dan oleh karena itu tidak perlu diganti atau diubah. Pancasila itu adalah dasar, karena dasar maka ia adalah sumber. Sebagai sumber, nilai-nilai dalam Pancasila harus mampu diturunkan ke dalam undang-undang dasar (UUD), karena itu UUD harus mengandung seluruh ide yang ada dalam Pancasila itu. Bila UUD-45, misalnya, belum menurunkan seluruh ide yang ada dalam Pancasila, maka UUD-45 harus segera disempurnakan.
Selanjutnya UUD harus menurunkan secara konsisten undang-undang (UU) untuk mengatur segala macam keperluan kehidupan bernegara, termasuk UU yang mengatur sistem pendidikan nasional.
Bila dianalisis dengan menggunakan pendekatan filsafat maka dapat dipahami bahwa Pancasila bukan mengandung lima ide dasar melainkan empat, yaitu (1) Kemanusiaan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan YME (2) Persatuan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan YME, (3) Kerakyatan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan YME, dan (4) Keadilan sosial yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan YME. Pengertian ini tersurat dalam simbol (gambar) yang ada di dada Garuda yang dijadikan lambang Pancasila itu. Di situ bintang (simbol keimanan) mengambil daerah empat sila lainnya. Hal itu itu menjelaskan dengan tegas bahwa inti Pancasila adalah keimanan kepada Tuhan YME.
Tatkala nilai-nilai atau ide-ide dasar Pancasila itu diturunkan ke dalam UUD, maka dengan sendirinya UUD itu menjadikan keimanan kepada Tuhan YME sebagai inti (core) nya. Itu ditemukan dalam UUD-45; UUD-45 itu intinya memang keimanan kepada Tuhan YME, itu terlihat pada alinea ketiga Pembukaan UUD-45.
Kimanan kepada Tuhan YME ini seharusnya menjiwai dan mewarnai seluruh isi UUD-45 itu. Secara filsafat dikatakan, keimanan kepada Tuhan YME itu harus menjadi aksiologi setiap pasal UUD-45 itu.
Undang-undang Dasar 1945 sebenarnya sebagian besar masih berada pada level filsafat. Karena itu UUD belumlah operasional. Pada kenyataannya memang demikian. Karena itu UUD harus diturunkan ke dalam undang-undang (UU). Isi UU seharusnya sudah operasional.
Dari UUD-45 telah dirurunkan UU Nomor 2 Tahun 1989, yaitu UU tentang pendidikan nasional, disebut UU (tentang) Sistem Pendidikan Nasional. Di dalam UU ini konsep penting (Keimanan kepada Tuhan YME adalah inti Pancasila dan UUD-45) sudah diturunkan secara hampir amat jelas. Itu terlihat pada pasal 4 tentang tujuan pendidikan nasional. Di situ dikatakan bahawa “Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangka manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”
Rumusan ini belum amat jelas mengambarkan bahwa keimanan kepada Tuhan YME sebagai inti tujuan pendidikan nasional. Inilah yang saya maksud dengan ungkapan “hampir amat jelas” di atas tadi. Rumusan ini seharusnya disempurnakan sehingga “keimanan kepada Tuhan YME sebagai inti (core) tujuan pendidikan” terbaca amat jelas. Penyempurnaan rumusan tujuan itu perlu segera dilakukan agar pengertian “keimanan adalah inti Pancasila dan keimanan adalah inti UUD-45” turun secara tepat ke dalam UU pendidikan itu. Bila penyempurnaan rumusan tujuan itu tidak dilakukan maka akan terjadi inkonsistensi dalam peraturan negara, akibatnya akan terjadi juga inkonsistensi dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia.
Tetapi baiklah kita menggunakan apa yang ada sekarang. Dalam pasal 4 UU No.2/1989 itu telah tertulis bahwa keimanan (dan ketaqwaan) adalah inti tujuan pendidikan nasional, sekalipun tidak amat jelas. Kita anggap saja UU Nomor 2/1989 itu telah konsisten dengan UUD-45 dan UUD-45 itu telah konsisten dengan Pancasila.
Undang-undang Nomor 2/1989 itu telah diturunkan ke dalam peraturan yang lebih operasional yaitu ke dalam peraturan pemerintah (PP). Peraturan Pemerintah (PP) itu telah menghasilkan (menurunkan) antara lain kurikulum sekolah yang dalam bentuk materialnya berupa buku Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) yang berisi -antara lain- nama-nama mata pelajaran dan silabusnya masing-masing. Pada GBPP inilah konsep penting tadi sama sekali tidak turun, tidak muncul; konsep penting tadi (keimanan adalah inti Pancasila, keimanan adalah inti UUD-45, keimanan adalah inti pendidikan nasional) tidak turun. Ironis sekali (yang sebenarnya disesalkan sekali) justru pada level (tahap) operasional, pada tahap pelaksanaan, paradigma yang amat penting itu menghilang.
Akibatnya tentu saja parah sekali: keimanan tidak menjadi inti kurikulum sekolah, selanjutnya pelaksanaan pendidikan di sekolah tidak menjadikan pendidikan keimanan sebagai inti semua kegiatan pendidikan, dan akibat lebih jauh ialah lulusan sekolah kita tidak memiliki keimanan yang kuat. Saya yakin di sinilah kesalahan terbesar pendidikan kita selama ini, saya yakin inilah penyebab utama terjadinya krisis yang dialami bangsa kita sekarang, yaitu keimanan yang lemah.
Kekeliruan ini harus segera dibuang; harus segera ditulis secara tegas bahwa inti kurikulum setiap sekolah adalah keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Penegasan itu cukup dituliskan pada kata pengantar buku GBPP. Bila ini tidak dilakukan maka tidak akan ada peningkatan keimanan pada lulusan sekolah kita. Ini sangat berbahaya, baik bagi diri lulusan itu maupn bagi negara dan bangsa.
Untuk menyempurnakan kurikulum pendidikan kita, diusulkan agar ditegaskan bahwa “keimanan adalah inti sistem pendidikan nasional” dan ini sekaligus dijadikan paradigma pendidikan kita. Sesuai dengan paradigma itu diusulkan pula model kurikulum pendidikan kita sebagai berikut:


Model (1)

Bahasa Inggeris

Keimanan Salah satu bidang keilmuan

Jiwa pesaing
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Model (2)

Bahasa Inggeris

Keimanan Salah satu bidang keterampilan

Jiwa Pesaing
===============================================================


Kurikulum Model (1) menyiapkan siswa untuk melanjutkan mendalami salah satu
bidang ilmu; jenjang pendidikannya ialah ke S1-S2-S3. Ini adalah model kurikulum untuk menyiapkan ilmuwan. Kurikulum Model (2) menyiapkan siswa untuk terjun ke dunia kerja dan atau meneruskan ke jenjang pendidikan frofesional yang lebih tinggi; jenjang pendidikan yang dapat dilaluinya ialah D1-D2-D3-D4-D5, spesialis dalam salah satu bidang pekerjaan.
Skema dalam model di atas itu menggambarkan satu hal yang amat mendasar yang menandai paradigma pendidikan yang diusulkan yaitu bahwa keimanan merupakan inti model, keimanan adalah inti kurikulum sekolah. Dalam Model itu tiga komponen lainnya harus dijiwai oleh komponan pertama (Keimanan).
Keimanan adalah sesuatu yang teramat penting bagi kehidupan manusia, hancurnya kebudayaan Barat menunjukkan bukti kebenaran pernyataan ini. Lebih-lebih dalam zaman global seperti sekarang dan akan lebih mengglobal di masa yang akan datang, keimanan teramat penting bagi kehidupan setiap orang, kelompok masyarakat, negara dan kehidupan dunia.
Bahasa Inggeris sangat diperlukan karena ia akan dan telah menjadi bahasa global. Sulit dibayangkan kedudukan bahasa Inggeris ini akan digeser oleh bahasa lain. Salah satu kelemahan lulusan kita hingga saat ini ialah karena kurang menguasai bahasa Inggeris. Ini nantinya akan berkaitan dengan kemenangan dalam persaingan pada tingkat global.
Sehubungan dengan bahasa Inggeris ini, kita harus mampu bergerak lebih maju, tidak lagi harus amat terikat pada peraturan pemerintah. Atau, peraturan pemerintahnya yang diubah. Sekarang ini masih ada peraturan yang mengatakan bahwa bahasa pengantar di sekolah adalah bahasa Indonesia. Akibatnya perguruan sekolah tingkat SLTA ke atas tidak berani menjadikan bahasa Inggeris sebagai bahasa pengantar di sekolah. Pada masa yang akan datang ini sekolah tingkat SLTA ke atas seharusnya menggunakan bahasa Inggeris sebagai bahasa pengantar di sekolah.
Barang siapa merasa berbakat untuk menjadi peneliti, pengembang ilmu, hendaklah ia mengambil kurikulum Model (1) yang bertujuan mendidik ilmuwan. Tidak peduli apakah ia kaya atau miskin, yang penting ia cerdas dan berbakat. Jumlah SLTA -model-model itu berlaku mulai tingkat SLTA- yang mengambil Model (1) sebaiknya sedikit saja, tetapi memiliki siswa yang seharusnya terseleksi secara ketat. Nah, jumlah SLTA yang mengambil Model (2) harus sebanyak-banyaknya.
Penanaman jiwa bersaing perlu sekali diperhatikan dalam pendidikan kita di masa datang. Kita sudah terlalu banyak terlambat memperhatikan masalah ini. Salah satu watak budaya global ialah ia hanya memberi peluang hidup kepada orang yang mampu bersaing. Lulusan kita haruslah lulusan yang berjiwa pesaing. Orang yang berfilsafat alon-alon asal klakon bukanlah warga dunia yang sesuai dengan karakteristik budaya global. Sehubungan dengan ini banyak teori pendidikan, termasuk teori pengajaran, yang harus diubah. Filsafat tut wuri handayani barangkali merupakan salah satu filsafat pendidikan yang perlu direvisi agar lebih sesuai dengan watak budaya global. Diduga filsafat ini menghasilkan lulusan yang kurang mampu mandiri.
Studi-studi Pendidikan Islam di Pascasarjana IAIN seharusnya -atau sebaiknya- dilakukan untuk secara sungguh-sungguh menyusun teori pendidikan (yang Islami) untuk disumbangkan ke usaha penyempurnaan pendidikan nasional seperti yang diusulkan itu.

Tahap 3: Kajian Pendidikan Islam untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan Dunia

Diandaikan saja, mutu pendidikan nasional (Indonesia) sudah baik, dalam arti
lulusannya beriman kuat disertai meningkatnya mutu pada bidang pendidikan lainnya (bidang keilmuan atau keterampilan, bahasa Inggeris, jiwa pesaing), jika pendidikan di negara-negara lain tidak baik, maka lulusan kita yang sudah baik itu akan rusak juga. Karakteristik budaya global akan bekerja dan akan merusak lulusan kita yang sudah baik itu. Karena itu tahap studi Ilmu Pendidikan (Islam) selanjutnya haruslah memikirkan bagaimana memperbaiki sistem pendidikan di negara-negara lain di dunia.
Pascasarjana IAIN harus ikut memperbaiki pendidikan dunia. Jika Pascasarjana IAIN melakukan hal itu, itu bukanlah hal yang istimewa, itu hanyalah suatu keharusan, suatu konsekwensi yang harus dipikul oleh orang-orang yang telah merasa berhasil menjadi manusia. Dikatakan suatu keharusan, karena ada alasan yang penting, yaitu perbaikan pendidikan di negara kita tidak akan banyak berarti jika pendidikan di negara-negara lain tidak diperbaiki. Lulusan kita yang sudah baik itu -jika memang demikian- akan segera rusak tatkala ia kontak dengan budaya luar dan atau dengan lulusan pendidikan negara lain itu. Jadi, tatkala kita menetapkan harus ikut memperbaiki pendidikan di negara lain, sebenarnya bukan dimaksudkan untuk kepentingan negara lain itu semata, melainkan
-terutama- untuk kepentingan negara kita.
Saya ingin mengingatkan para pemikir bahwa budaya global telah memaksa kita harus merombak pola pikir kita yang tadinya disusun dalam kerangka budaya belum global. Misalnya, dahulu kita berpikir, bila pendidikan kita baik, maka lulusan kita akan baik, mereka akan tetap baik apapun mutu lulusan pendidikan negara asing; kita dahulu berpikir bahwa lulusan kita tidak akan dipengaruhi oleh lulusan pendidikan di negara lain. Kita perlu mengubah pikiran kita itu. Kita perlu melakukan destruksi terhadap pemikiran kita, bila meminjam istilah Nietzsche (Lihat Sunardi, 1996:v) atau dekonstruksi bila meminjam istilah yang digunakan Derrida ataupun penafsiran kembali bila meminjam Arkoun.

Budaya Barat sudah hancur

Bukanlah suatu apologi murahan bila orang mengatakan bahwa budaya Barat telah hancur. Para penulis Barat sendiri banyak yang mengatakan demikian.
Suatu warisan kultural renessan yang mencerminkan kelemahan manusia moderen adalah sikap mendewakan rasio manusia secara berlebihan. Pendewaan ini mengakibatkan adanya kecenderungan untuk menyisihkan seluruh nilai dan norma yang berdasarkan agama dalam memandang kenyataan kehidupan. Manusia moderen yang mewarisi sikap positivistik ini cenderung menolak keterkaitan antara substansi jasmani dan substansi rohani manusia. Mereka juga menolak adanya hari akhirat. Manusia terasing tanpa batas, kehilangan orientasi, sebagai konsekwensinya lahir trauma kejiwaan dan ketidakstabilan hidup.
Bila hubungan antara hati dan akal manusia telah diputuskan maka manusia akan memperoleh kenyataan bahwa pertanyaan tentang prumusan hidup idel tidak pernah akan terjawab. Memilih sain dan teknologi sebagai satu-satunya gantungan hidup, atau meletakkan sain dan teknologi sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam kehidupan, berarti kita telah menyerahkan kehidupan manusia kepada alat yang dibuatnya sendiri. Paham posivistik memang akan bermuara pada sikap sekularistik seperti itu.
Umat manusia dibentuk sebagaimana membentuk produk industri. Tidak ada lagi keunikan -padahal manusia sebenarnya unik- yang ada hanyalah kekakuan, sehingga sadar atau tidak sadar manusia kehilangan kemerdekaannya. Padahal kemerdekaan itulah tadinya yang menjadi tujuan utama dikembangkannya sain dan teknologi. Nyatanya sain dan teknologi itu menghadirkan kerumitan hidup dan kegelapan spiritual. Manusia dipacu oleh situasi mekanistik yang diciptakannya sendiri lantas kehilangan waktu untuk merenungkan hidupnya dan alam semesta. Manusia akhirnya kehilangan orientasi, tidak tahu lagi apa tujuan hidup itu yang sebenarnya. Manusia kehilangan segala-galanya. Manusia telah sampai pada tingkat kegawatan dalam kebudayaannya.
Soedjatmoko (1984:202) mengatakan bahwa ilmu dan teknologi sekarang ini berhadapan dengan pertanyaan pokok tentang jalan yang harus ditempuh selanjutnya; pertanyaan itu sebenarnya berkisar pada masalah ketidakmampuan manusia mengendalikan ilmu dan teknologinya itu, jalannya ilmu dan teknologi tidak dapat lagi dikendalikan manusia. Pertanyaan-pertanyaan mengenai dirinya sendiri, mengenai tujuannya dan mengenai cara-cara pengembangannya, tidak akan dapat dijawab oleh ilmu dan teknologi tanpa menoleh kepada patokan-patokan mengenai moralitas, makna dan tujuan hidup manusia, termasuk apa yang baik dan yang buruk bagi manusia moderen. Patokan-patokan tentang moralitas, makna dan tujuan hidup ternyata berakar pada agama, kata Soedjatmoko (1984:203) selanjutnya.
Tiga dasa warsa terakhir menjelang berakhirnya abad ke 20, terjadi perkembangan baru yang mulai menyadari bahwa manusia selama ini telah salah dalam menjalani kehidupannya. Manusia mulai merindukan dimensi spiritual yang telah hilang dari kehidupannya. Di dunia ilmu muncul pandangan yang menggugat paradigma positivistik. Tokoh seperti Kuhn (1970) telah mengisyaratkan adanya upaya pendobrakan tatkala ia mengatakan bahwa kebenaran ilmu bukanlah suatu kebenaran sui generis (obyektif).
Dengan mengatakan itu berarti Kuhn telah menyerang jantungnya Positivisme yang menjadikan Rasionalisme sebagai andalan satu-satunya.
Herman Suwardi, guru besar Filsafat Ilmu di Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung dengan geram mengecam paradigma filsafat ilmu yang digunakan di Barat. Filsafat ilmu di Barat, katanya, hanya mengandalkan satu paradigma, yaitu paradigma sain yang merupakan warisan Descartes dan Newton. Paradigma ini tidak mampu melihat alam semesta secara keseluruhan. Karena itu ia mengusulkan paradigma baru yaitu paradigma ilmu yang bersumber pada Tuhan.
Capra telah menulis buku yang disiapkannya dalam jangka panjang. Mula-mula ia menulis The Tao of Physics. Buku yang menjadi best seller internasional ini telah menggegerkan dunia filsafat khususnya filsafat fisika. Dalam buku itu Capra mencoba memperlihatkan hubungan antara revolusi spiritual dengan fisika (Capra,1998:xxiii). Enam tahun kemudian ia menerbitkan buku penting The Turning Point: Science, Society and The Rising Culture, terjemahan dalam bahasa Indonesia berjudul Titik Balik Peradaban, cetakan pertama 1997 dan kedua 1998.
Buku Titik Balik Peradaban ini amatlah penting dibaca bila hendak memahami budaya Barat dari sudut pandang filsafat. Buku ini juga amat penting dibaca -menurut hemat saya- bila hendak memahami pendidikan di dunia Barat. Sebagian dari isi buku ini, terutama yang berhubungan dengan kebudayaan Barat dapat diringkaskan sebagai berikut ini.
Pada awal dua dasa warsa terakhir abad kedua puluh, demikian kata Capra, kita menemukan diri kita dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multi dimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan hidup, hubungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Untuk pertama kalinya kita dihadapkan pada ancaman kepunahan ras mansusia di planet ini.
Selanjutnya Capra (1998:3-10) secara rinci menjelaskan bahaya yang mengancam kehidupan ras manusia dan ketidakmampuan kaum intelektual mencari jalan mengatasinya. Kata Capra, kita telah menimbun puluhan ribu senjata nuklir, yang cukup untuk menghancurkan dunia beberapa kali, dan perlombaan senjata itu pun berlanjut dengan kecepatan yang melaju. Pada bulan November 1978, sewaktu Amerika Serikat dan Uni Soviet sedang menyelesaikan babak kedua pembicaraan Pembatasan Senjata Nuklir, Pentagon meluncurkan program nuklirnya yang paling ambisius selama dua dasa warsa; dua tahun kemudian program tersebut memuncak dalam ledakan militer terbesar dalam sejarah: anggaran belanja lima tahun untuk pertahanan sebesar 1000 miliar dolar. Sejak itu pabrik-pabrik bom Amerika melaju dengan kapasitas penuh untuk meningkatkan produksi senjata yang kekuatan penghancurnya belum pernah tertandingi.
Biaya kegilaan nuklir ini mengejutkan, yaitu 425 miliar dolar pada tahun 1978 pada tingkat dunia, lebih dari satu miliar dolar setiap hari. Sementara itu, kira-kira 90% dari lebih dari seratus negara Dunia Ketiga menjadi pembeli senjata dan menghabiskan sebagian besar dari pendapatan negaranya.
Pembuatan senjata besar-besaran oleh negara kaya dan pembelian senjata besar-besaran oleh negara miskin cukup menyebabkan Capra heran. Tentu saja pada umumnya manusia normal akan heran karena di pihak lain lebih dari 15 juta orang -sebagian besar anak-anak- meninggal karena kelaparan setiap tahun; 500 juta lainnya kekurangan gizi serius; hampir 40% penduduk dunia tidak mempunyai peluang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan profesional, 35% penduduk dunia kekurangan air minum bersih, sementara negara-negara sedang berkembang menghabiskan biaya untuk persenjataan 3 kali lebih besar ketimbang untuk kesehatan. Dunia sedang penuh kontradiksi.
Memang banyak hal yang mencengangkan. Di Amerika, yang di situ industri militer telah menjadi bagian integral dari pemerintahan, Pentagon mencoba membujuk dunia bahwa membangun lebih banyak senjata akan membuat negara lebih aman. Kenyataan sebaliknya, kata Capra, semakin banyak senjata nuklir berarti akan semakin banyak bahaya mengancam.
Dalam buku itu dijelaskan bahwa selama beberapa tahun terakhir telah terlihat adanya suatu perubahan yang mengkhawatirkan dalam kebijakan pertahanan Amerika, suatu kecenderungan membangun gudang senjata nuklir yang bukan dimaksudkan untuk pembalasan melainkan untuk penyerangan pertama. Data mengenai persenjataan nuklir Amerika menunjukkan meningkatnya kemungkinan terjadinya kerusakan secara global.
Sementara kekuatan-kekuatan militer meningkatkan persenjataan nuklir mereka, dunia industri sibuk membangun pembangkit-pembangkit tenaga nuklir yang sama-sama berbahaya, yang mengancam punahnya kehidupan di planet bumi.
Dua puluh lima tahun yang lalu tokoh-tokoh dunia memutuskan menggunakan nuklir untuk perdamaian dan atom sebagai sumber energi yang murah, bersih, dan terpercaya bagi masa depan. Kini kita menyadari bahwa nuklir itu tidak aman, tidak bersih, dan tidak pula murah. Nuklir justru mengancam kehidupan kita. Elemen-elemen radioaktif yang dilepaskan oleh rektor nuklir adalah bahan beracun. Sekarang bahan itu terus menumpuk dalam udara yang kita hirup, akibatnya ialah resiko berkembangnya kanker dan penyakit-penyakit genetik semakin meningkat. Kesimpulannya, reaktor nuklir mengancam kehidupan umat manusia.
Ancaman lain masih ada. Kelebihan penduduk dan teknologi industri telah menjadi penyebab terjadinya degradasi hebat pada lingkungan alam yang sepenuhnya menjadi gantungan hidup kita. Yang ini pun mengancam kesehatan dan kesejahteraan umat mansusia. Kota-kota besar telah diselimuti asap tebal yang berwarna kekuning-kuningan dan terasa menyesakkan dada. Polusi udara yang terus menerus ini tidak hanya mempengaruhi manusia melainkan juga mengganggu sistem ekologi. Polusi udara melukai dan membunuh tumbuh-tumbuhan dan mengubah secara drastis populasi hewan yang tergantung pada tetumbuhan itu.
Saat ini polusi udara tidak hanya ada di kota-kota industri melainkan telah menyebar ke seluruh atmosfer bumi dan dapat sangat mempengaruhi iklim global.
Selain polusi udara, kesehatan kita juga terancam oleh air yang kita minum dan makanan yang kita makan. Keduanya telah tercemar oleh berbagai macam bahan kimia beracun.
Permasalahan dalam kesehatan individu juga semakin meningkat. Sementara penyakit menular dan penyakit kekurangan gizi tetap merupakan pembunuh terbesar di Negara Ketiga, negara-negara industri diserang penyakit-penyakit kronis dan merendahkan (martabat manusia) yang lebih tepat disebut “penyakit-penyakit peradaban.” Pada sisi psikologis, depresi hebat, schizofrenia dan penyakit-penyakit psikolois lainnya tampak muncul dari kemerosotan lingkungan sosial kita. Terdapat banyak tanda disintegrasi sosial, termasuk meningkatnya kejahatan tindak kekerasan, kecelakaan, bunuh diri, meningkatnya alkoholisme, penyalahgunaan obat, dan bertambahnya anak-anak yang menderita cacat mental.
Pada aspek ekonomi, terdapat pula ancaman yang serius. Menghadapi ancaman rangkap tiga (habisnya sumber energi, inflasi, pengangguran) dalam bidang ekonomi telah menyebabkan politisi tidak tahu lagi mana yang harus diselesaikan lebih dahulu. Mereka, bersama-sama dengan media, berdebat tentang prioritas, tanpa menyadari bahwa masalah-masalah ekonomi itu -dan juga masalah kesehatan dan lingkungan tadi- sebenarnya merupakan sebuah krisis tunggal (Capra,1998:9). Baik kita berbicara tentang kanker, kejahatan, bunuh diri, polusi, nuklir, maupun kehabisan energi, dinamika yang mendasari masalah-maslah itu sebenarnya sama, demikian Capra.
Capra melihat di dunia saat ini banyak sekali terdapat kontradiksi. Kontadiksi inilah yang disebutnya sebagai kekacauan. Ini adalah suatu tanda kehancuran kebudayaan.
Haedar Nashir, dalam Agama dan Krisis Kemanusiaan Moderen (1990) mengungkapkan beberapa segi menarik pada krisis manusia moderen. Bagaimana pendewaan rasio manusia telah menjerumuskan manusia pada sekularisasi kesadaran dan menciptakan ketidakberartian hidup. Penyakit mental justru menjadi penyakit zaman seperti keserakahan, saling menghancurkan, sekularisai kebudayaan, dan ada juga pencarian makna hidup. Tetapi akhirnya untuk mencapai tujuan hidup manusia moderen justru melakukan kekerasan. Kekerasan itu amat mungkin berkembang karena adanya pandangan bahwa ukuran keberhasilan seseorang adalah sejauh mana ia mampu mengumpulkan materi dan simbol-simbol lahiriah yang bersifat formal.
Syafi’i Ma’arif dalam kata pengantar buku Haedar Nashir itu menyatakan bahwa modernisme telah gagal karena ia telah mengabaikan nilai-nilai spiritual transendental sebagai fondasi kehidupan. Akibatnya, dunia moderen tidak memiliki pijakan yang kokoh dalam membangun peradaban.
Jauh sebelum munculnya kesadaran akan kehancuran budaya Barat, Nietzsche (1844-1900) telah mengingatkan orang akan kekeliruannya dalam mendewakan rasio. Habermas misalnya, mengatakan bahwa Nietzsche adalah titik balik kesadaran manusia akan rasionalistasnya (Sunardi,1996:v). Ia sangat kritis terhadap cita-cita modernisme yang berkuasa di Eropah waktu itu. Kepercayaan akan progress sudah dilecehkan Nietzsche sejak akhir abad lalu. Kegairahan orang akan Rasionalisme ketika itu dirombak oleh Nietzsche. Jika akhir-akhir ini orang menderita demam dekonstruksi, maka Nietzsche lah yang menjadi pencetusnya. Tetapi filsafatnya disebut filsafat destruksi. Dia mengeritik hampir semua relung-relung kebudayaan Barat. Pada waktu itu orang mentertawakannya, bahkan ada yang menyebutnya gila. Bertrand Russel pada tahun 1945 menyatakan bahwa ia tidak menyenanginya dan ia mengharap filsafat Nietzsche lama-alama akan hilang. Kenyataannya filsafat Nietzsche bukan hilang, melainkan mendapat pengikut sedemikian banyak dalam mazhab Dekonstruksi pada khususnya dan Posmoderen pada umumnya.
Berdasarkan uraian itu jelaslah bahwa budaya Barat itu sudah hancur, pada akhir abad ke19 ia diramal akan hancur (oleh Nietzsche), pada akhir abad ke 20 ini kebudayaan betul-betul hancur.
Kata Capra, para intelektual menyebut bahwa sumber kemunduran tadi ialah keadaan-keadaan semacam Vietnam, Watergate, dan bertahannya perkampungan kumuh, kemiskinan, dan kejahatan. Namun tidak seorang pun dari meraka, demikian Capra, mengenali persoalan sebenarnya yang mendasari krisis itu. Menurut Capra, persoalan yang sebenarnya ialah persoalan sistemik yang berarti persoalan-persoalan itu saling berhubungan dan saling bergantung. Menurut Capra, awal persoalan itu dimulai dari kekeliruan pemikiran. Kesimpulan Capra ini perlu memperoleh penjelasan.
Capra sebenarnya hendak mengatakan bahwa budaya dunia (dalam hal ini terutama Barat) telah terpuruk di lembah kehancuran, penuh kontradiksi, kacau. Penyebab pertamanya ialah tidak tepatnya paradigma yang digunakan dalam penyusunan kebudayaan Barat itu. Inilah kekeliruan pemikiran yang dimaksud.
Dari analisis Filsafat dan Sejarah Kebudayaan kita mengetahui bahwa budaya Barat disusun dengan menggunakan hanya satu paradigma, yaitu paradigma sain (scientific paradigm). Paradigma ini disusun berdasarkan warisan Descartes dan Newton. Warisan dua tokoh ini merupakan inti pembahasan buku Capra setebal 650 halaman itu. Ia menyatakan bahwa paradigma yang diturunkan dari Cartesian dan Newtonian itulah yang menghasilkan paradigma tunggal yang digunakan dalam mendisain budaya Barat sekarang. Kesalahan terjadi karena paradigma itu tidak melihat alam dan kehidupan ini secara utuh menyeluruh (wholeness), paradigma itu hanya melihat alam ini pada bagian yang empiriknya saja.
Sebenarnya untuk pengembangan budaya sain, paradigma ini sungguh sesuai dan amat memadai, tetapi untuk mengembangkan budaya dalam bidang seni dan etika paradigma itu tidak memadai. Yang dilakukan di Barat selama ini ialah paradigma sain itu digunakan dalam pengembangan budaya sain, dan dipaksakan digunakan juga dalam pengembangan budaya seni dan etika. Saya kira di sinilah letak penyebab awal itu. Seharusnya, untuk pengembangan budaya sain digunakan paradigma sain, untuk budaya seni digunakan paradigma lain yang sesuai, demikian juga untuk pengembangan budaya etika.
Capra melihat bahwa penyebab kekacauan itu adalah karena tidak digunakannya paradigma utuh dalam merekayasa budaya. Dan Capra menuding bahwa Cartesian dan Newtonian lah yang bertanggung jawab memunculkan paradigma tunggal itu. Selanjutnya penggunaan paradigma tunggal itulah sebagai penyebab kekacauan budaya. Proses kehancuran budaya Barat yang dijelaskan Capra itu dapat digambarkan dalam skema berikut:


Cartesian dan Newtonian

Paradigma Sain yang Tunggal

Budaya Barat

Kehancuran (kacau, penuh kontradiksi)


Capra mengusulkan harus ada paradigma tunggal (yang mampu melihat alam sebagai sesuatu yang wholeness) untuk digunakan dalam mendisain kembali budaya dunia. Dia menghendaki agar filsafat China yaitu I Ching digunakan dalam memformulasikan paradigma baru tersebut. Menurutnya filsafat China tersebut mampu melihat dunia sebagai suatu sistem.
Saya melihat kemungkinan lain, yaitu harus ada tiga paradigma (masing-masing untuk budaya sain, seni, dan etika) untuk merekayasa kembali budaya dunia, ketiga paradigma itu harus diturunkan dari Islam. Mengapa mengambil Islam, bukan I Ching? Karena, sekalipun seandainya filsafat I Ching itu melihat dunia sebagai suatu keseluruhan, tetapi filsafat itu belum pernah mampu membangun satu masyarakat atau negara yang sesuai dengan isi filsafat itu. Sedangkan Islam, selain ajarannya juga melihat dunia sebagai suatu keseluruhan, telah membuktikan dirinya mampu membentuk masyarakat negara yang menerapkan isi filsafatnya itu, yaitu negara Medinah pada zaman nabi, Abu Bakar, dan Umar; kemudian muncul lagi pada zaman Umar bin Abdul Aziz, dan sekali lagi pada zaman Makmun di Baghdad.

Diperlukan paradigma pendidikan baru untuk membangun kembali budaya Barat

Tiga paradigma yang Islami itu akan muncul bila paradigma pendidikannya diubah. Jika demikian maka kita harus menyusun ulang paradigma pendidikan dunia. Kelak dari pendidikan (baru) itulah tiga paradigma itu akan muncul dan mapan.
Dengan demikian membangun kembali budaya dunia (khususnya Barat) harus dilakukan dengan cara membangun kembali paradigma kebudayaannya melalui membangun lebih dahulu paradigma pendidikannya, ini berarti perlu dibangun kembali filsafat pendidikannya. Di sinilah, menurut saya, mahasiswa dan dosen Ilmu Pendidikan Islam pada Pascasarjana IAIN dapat memberikan sumbangan yang penting, yaitu mengusulkan suatu filsafat pendidikan baru untuk membangun kembali pendidikan Barat.
Apa filsafat pendidikan (baru) yang sebaiknya diusulkan oleh Pascasarjana IAIN? Uraian berikut hendak menggambarkan kerangka kajiannya.
Orang-orang Yunani telah mewasiatkan bahwa kewajiban filosof ialah meningkatkan derajat kemanusiaan manusia. Intinya, tujuan pendidikan -menurut mereka- ialah meningkatkan derajat kemanusiaan manusia. Nietzsche, lebih kurang 2500 tahun kemudian, mengingatkan kembali bahwa kewajiban manusia ialah menjadi manusia. Nietzsche rupanya melihat manusia pada zamannya banyak yang berkembang tidak menjadi manusia. Makanya ia mengingatkan kewajiban manusia: manusia berkewajiban menjadi manusia.
Apakah peringatan para filosof itu sudah didengar? Ternyata belum. Capra melihat, pada zamannya, banyak manusia yang tidak memenuhi kewajibannya itu, bahkan pada umumnya mereka adalah para pemimpin. Ironis sekali. Pada zaman sekarang, memang kita juga melihat banyak orang yang tidak berhasilnya menjadi manusia. Ada yang berkembang menjadi hewan, bahkan ada yang berkembang menjadi lebih jahat dari pada hewan. Lihatlah, hewan mengumpulkan makanan sekedar memenuhi perutnya, sementara ada manusia yang mengumpulkan makanan untuk sekian generasi turunannya yang kadang-kadang diperolehnya dengan cara yang lebih jahat ketimbang cara yang digunakan hewan. Hewan tidak korupsi, tidak memonopoli, manusia ada yang melakukan korupsi, monopoli; hewan membunuh lawannya secara fair, sementara ada manusia membunuh lawannya secara tidak fair (menyewa pembunuh bayaran misalnya). Banyak manusia yang lebih jahat ketimbang hewan. Kenyataan ini disebut juga dalam al-Qur`an.
Sebenarnya wasiat para filosof itu penting sekali. Wasiat itu dapat dipenuhi melalui rekayasa pendidikan.
Misi pendidikan satu-satunya ialah membantu manusia agar ia mampu menjadi manusia. Bagaimana pendidikan yang mampu mengantarkan manusia menjadi manusia? Untuk menjawab pertanyaan besar ini kita harus mempelajari kembali siapa manusia itu sebenarnya.
Dengan penuh pertanggungjawaban saya berani mengatakan bahwa yang mampu menjelaskan siapa manusia hanyalah pencipta manusia. Karena pencipta mansusia adalah Tuhan, maka hanya Tuhan itulah yang mampu menjelaskan siapa manusia. Lantas bagaimana cara menjadi manusia? Tuhan juga menjelaskan secara gamblang tentang apa-apa yang harus dilakukan, apa-apa yang tidak boleh dilakukan, apa-apa yang harus dimiliki, apa-apa yang tidak boleh dimiliki oleh mansusia agar ia mampu menjadi manusia. Prinsip amat penting inilah kiranya yang telah dilupakan oleh banyak pemikir.
Mengapa banyak pemikir (dan pengambil keputusan) lupa prinsip ini? Persoalannya kembali lagi: karena pemikir (dan pengambil keputusan) itu mendisain filsafat pendidikan yang keliru. Dalam mendisain filsafat pendidikan mereka tidak memasukkan ajaran Tuhan dalam pertimbangannya. Filsafat pendidikan mereka tidak disusun berdasarkan ajaran Tuhan. Filsafat pendidikan yang harus diusulkan oleh Pascasarjana IAIN adalah filsafat pendidikan yang berketuhanan. Dengan melakukan jumping conclusion saya menyimpulkan bahwa Filsafat Pendidikan Islam lah yang harus dijadikan filsafat pendidikan dunia.

Paradigma Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam

Baik kajian Pendidikan Islam untuk (membantu) meningkatkan mutu pendidikan di kalangan umat Islam (tahap pertama), maupun Kajian Pendidikan Islam untuk (membantu) meningkatkan mutu pendidikan nasional (tahap kedua), juga kajian Pendidikan Islam untuk (membantu) meningkatkan mutu pendidikan dunia (tahap ketiga), ketiga-tiganya harus dilakukan menuruti konsep yang jelas.
Di atas tadi sudah disebutkan bahwa filsafat pendidikan untuk dunia haruslah filsafat pendidikan yang berketuhanan. Itu berarti filsafat pendidikan itu harus dibangun berdasarkan wahyu Tuhan. Kesimpulan ini sebenarnya masih sangat umum dan karena itu sama sekali belum operasional. Kesimpulan ini belum menjelaskan bagaimana menyusun filsafat pendidikan itu, kira-kira apa saja bahan pertimbangannya; kesimpulan itu baru menunjukkan arah pekerjaan.
Sebagaimana telah dikatakan sebelum ini, usaha serius dalam mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam barulah dimulai pada tahun 1993, tepatnya Oktober 1993. Tidak lama setelah itu didirikan Asosiasi Sarjana Pendidikan Islam (ASPI). Sepanjang tahun 1994 sampai 1996 banyak sekali dilakukan seminar nasional yang membicarakan Ilmu Pendidikan Islam.
Pada tahun 1995 keluar produk pertama ASPI, berupa buku yang membicarakan landasan filosofis, paradigma, metodologi, model penelitian, dan peta penelitian, semuanya dimaksudkan untuk digunakan dalam pengembangan Ilmu Pendidikan Islam (Lihat Tafsir,1995:iii). Isi buku itu berupa makalah-makalah yang dibahas dalam seminar-seminar yang banyak itu, dipilih yang berkenaan dengan topik tersebut. Penulisan buku itu memang sengaja dilakukan untuk dijadikan pegangan dalam pekerjaan mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam. Karena itu buku tersebut diberi judul Epistemologi untuk Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam. Buku itu dapat menjawab sebagian dari pertanyaan di atas tadi. Inilah filsafat dan paradigmanya.
(1) Menurut Nung Muhajir filsafat yang dapat digunakan dalam pengembangan Ilmu Pendidikan Islam hauslah filsafat yang mengakui secara eksplisit eksistensi kebenaran etik, yang ujudnya berupa nilai; menurutnya, filsafat yang seperti itu ialah idealisme, realisme, phenomenologi, khususnya realisme-metaphisik (Tafsir,1995:23). Realisme-metaphisik inilah yang diterima oleh ASPI.
(2) Nung Muhajir mengusulkan juga paradigma yang dapat digunakan dalam
pengembangan itu (Tafsir,1995:24-25) yang pada dasarnya pengembangan itu dilakukan dengan cara mengambil teori yang ada lantas dikonsultasikan kepada wahyu Tuhan. Agaknya paradigma untuk metodologi ini dapat kita sebut “induksi-konsultasi.” Paradigma ini sesuai dengan kehendak filsafat realisme-metaphisik tadi.
Saya kira filsafat dan paradigma di atas sudah banyak membantu dalam menerangi jalan pengembangan Ilmu Pendidikan Islam.
Masalah sebenarnya dalam pasal ini ialah persoalan islamisasi sain Barat. Ilmu Pendidikan itu adalah suatu sain. Di Barat ia telah berkembang pesat, teori-teorinya telah begitu banyak dan semakin banyak disiplin ilmu pendidikan memisahkan diri dari induknya untuk berdiri sebagai disiplin ilmu pendidikan sendiri. Bagaimana cara islamisasi ilmu pendidikan Barat itu? Nah, filsafat (realisme-metaphisik) dan paradigma (induksi-konsultasi) di atas tadi kiranya dapat digunakan dalam proses islamisasi itu.
Munculnya islamisasi sebagai salah satu pilihan dalam pengembangan Ilmu Pendidikan Islam didasari oleh pemikiran metodologis dan pertimbangan waktu, tenaga, dan biaya. Islamisasi dapat dianggap sebagai “metode” yang akan lebih mudah, murah, dan cepat dalam mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam.
Mengembangkan ilmu dilakukan dengan cara mengembangkan teori-teori ilmu tersebut (Tafsir,1995:1). Jadi, jika hendak mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam maka kita harus mengembangkan teori-teori Ilmu Pendidikan Islam tersebut. Mengembangkan ilmu berarti mengembangkan teorinya, karena isi ilmu adalah teori-teori. Selanjutnya mengembangkan teori dapat berarti:
(1) Merevisi teori yang sudah ada. Di sini teori lama tidak dibuang seluruhnya melainkan
hanya disempurnakan.
(2) Mengganti teori lama dengan teori baru. Di sini teori lama tersebut dibuang semuanya
dan diganti dengan teori baru.
(3) Membuat teori. Di sini, kita membuat teori, karena memang belum ada teori sebelum
itu.
Nah, dalam pengembangan teori seperti itu, apakah merevisi, mengganti, atau pun membuat teori, diperlukan metode yang menjelaskan cara kerja yang terpertanggungjawabkan. Jika kita merevisi teori atau hendak mengganti teori, itu berarti teori lama sudah ada. Teori lama yang ada dan banyak ialah teori pendidikan dari Barat. Apa salahnya kita mulai dengan memeriksa teori pendidikan Barat tersebut, lantas kita konsultasikan ke Islam (al-Qur`an dan atau hadis), boleh jadi teori itu kita terima, kita revisi, atau kita tolak. Inilah persoalan islamisasi dalam Ilmu Pendidikan Islam. Jika cara ini kita tempuh maka kita dikatakan menggunakan metode induksi-konsultasi.
Dalam salah satu seminar ASPI -kalau tidak salah di IAIN Semarang- soal ini didiskusikan secara sungguh-sungguh dan berkepanjangan. Ada dua arus yang muncul tentang cara pengembangan Ilmu Pendidikan Islam. Pertama, cara deduksi, yaitu kita mulai dari teks wahyu atau sabda rasul; lantas ditafsirkan, dari sini muncul teori pendidikan pada tingkat filsafat; teori itu dieksperimenkan, dari sini akan muncul teori pendidikan pada tingkat ilmu. Selanjutnya diurai lebih operasional sehingga langsung dapat dijadikan petunjuk teknis (manual). Urutan itu sebagai berikut:


Teks Islam (wahyu, hadis)

Tafsir (Teori pendidikan tingkat filsafat)

Dieksperimenkan

Teori pendidikan tingkat ilmu

Manual


Uraian lebih lengkap tentang proses membuat teori di atas dapat dilihat dalam buku Epistemologi untuk Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam (Tafsir,1995:96).
Cara deduksi memang menjamin teori yang diproduksi tidak akan menyimpang atau berlawanan dengan ajaran Islam. Tetapi cara ini amat lama, mahal, dan sulit. Agaknya cara kedua lebih cepat, murah, dan mudah. Kedua, ialah cara induksi-konsultasi, yaitu sebagaimana telah diuraikan tadi, kita ambil teori yang sudah ada (baik dari Barat maupun dari Timur), kita konsultasikan ke al-Qur`an dan atau hadis, jika tidak berlawanan, maka teori itu kita daftarkan ke dalam khazanah Ilmu Pendidikan Islam.
Filsafat dan paradigma inilah yang harus digunakan baik dalam studi tahap pertama, kedua, maupun ketiga. Jika kaidah yang dua ini digunakan pada ketiga tahap itu, maka dapat dijamin teori-teori yang dikembangkan pada tahap pertama, kedua, maupun ketiga tidak akan saling bertentangan. Filsafat dan paradigma itu pula yang kita gunakan dalam memperbaiki filsafat dan paradigma pendidikan Barat.

Kesimpulan

Kajian serius tentang pendidikan Islam di Indonesia dimulai dari kajian sejarah, setelah itu berkembanglah kajian konsep. Konsep-konsep mengenai metodologi pengajaran dapat dikatakan yang paling dahulu memperoleh perhatian. Pada tahun-tahun terakhir ini sudah cukup banyak buku yang diterbitkan yang membahas konsep-konsep pendidikan selain tentang metodologi pengajaran.
Kajian Pendidikan Islam sebagai ilmu (sain) juga sudah diperhatikan dalam studi di IAIN. Sejak adanya fakultas Tarbiyah di IAIN, Ilmu Pendidikan Islam sebagai nama mata kuliah telah muncul. Namun perhatian yang sungguh-sungguh dalam pengembangan Ilmu Pendidikan Islam barulah dimulai sejak tahun 1993.
Pada bulan Oktober 1993 diadakan Musyawarah Nasional Ilmu Pendidikan Islam di Ciawi, Bogor, oleh Departemen Agama. Salah satu rekomendasi musyawarah itu ialah Agar ada usaha sungguh-sungguh untuk mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam. Rekomendasi lain ialah agar di Departemen Agama ada konsorsium pendidikan Islam.
Konsorsium itu belum dapat disetujui oleh Departemen Agama pada tahun 1993 itu, dan belum juga disetujui sampai sekarang (1999). Karena itu didirikanlah Asosiasi Sarjana Pendidikan Islam (ASPI), untuk mengkoordinasikan usaha-usaha pengembangan Ilmu Pendidikan Islam.
Hasilnya, tahun 1995 diterbitkan Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, buku ini berisi filsafat, paradigma, metodologi, model penelitian, dan peta penelitian, semuanya untuk Ilmu Pendidikan Islam. Pada tahun 1996 diterbitkan Pendidikan Agama dalam Rumah Tangga (untuk anak 0-12 tahun). Dalam waktu yang dekat ini mudah-mudahan dapat diterbitkan buku Pendidikan Agama dalam Rumah Tangga (untuk remaja 13-18 tahun) dan Pendidikan Agama di Lembaga Kursus.
Kalau pola pertama kita sebut studi kesejarahan, pola kedua studi konsep, maka pola ketiga dapat disebut studi konsep-kesejarahan. Yang sudah banyak dilakukan ialah kajian menuruti pola ketiga; pola pertama sudah juga tetapi baru sedikit, pola kedua, yang agaknya lebih penting, masih amat kurang.
Pada kurikulum IAIN 1995 muncul jurusan Kependidikan Islam (KI), semula ditawarkan nama Ilmu Pendidikan Islam. Tujuan jurusan ini ialah untuk mendidik ahli Ilmu Pendidikan Islam. Mereka boleh juga menjadi guru agama bila mengambil kurikulum KI seluruhnya dan ditambah 18 SKS untuk memperoleh sertifikat Akta Mengajar IV.
Pada tahun 1997 ini pula baru disadari bahwa lulusan S1 sebenarnya belum dapat dianggap ahli. Pendidikan untuk keahlian dilakukan di S3. Jadi, kajian serius tentang pendidikan Islam dapat dilakukan di S2 dan diteruskan di S3 Pascasarjana IAIN.
Pola kajiannya sebaiknya mengambil pola studi konsep. Itu berarti bahwa kajian itu ditujukan untuk mengembangkan teori pendidikan Islam. Buku Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam yang disebutkan tadi adalah buku yang diharapkan menjadi sebagian dari pedoman dalam menentukan -terutama- metodologi yang digunakan dalam pengembangan Ilmu Pendidikan Islam itu.
Ada dua metode yang disediakan dalam buku itu. Pertama, metode deduksi. Dengan menggunakan metode ini berarti pengkaji menafsirkan ayat al-Qur`an dan atau hadis untuk memperoleh teori pendidikan Islam pada level filsafat, selanjutnya diturunkan secara logis ke teori pendidikan Islam pada level sain (ilmu). Kedua, metode induksi-konsultasi. Melalui metode ini peneliti mengambil teori pendidikan yang sudah ada (baik teori Barat maupun Timur) lantas dikonsultasikan ke teks wahyu dan atau hadis.
Jadi, dalam pengembangan Ilmu Pendidikan Islam kita sudah memiliki pola (sebaiknya pola kajian konsep) dan metodologi (disarankan induksi-konsultasi), kita juga sudah memiliki peta penelitian. Kajian pendidikan Islam di Pascasarajana IAIN disarankan mengikuti tahap-tahap berikut.
Tahap pertama, penyusunan teori pendidkan Islam untuk membantu meningkatkan mutu pendidikan di kalangan umat Islam di Indonesia. Umat Islam Indonesia banyak sekali melakukan usaha pendidikan, baik di rumah, di masyarakat, maupun di sekolah. Mereka perlu diberi bantuan berupa teori-teori, model-model, bahkan bila perlu manual (juknis) untuk meningkatkan mutu pendidikan yang mereka usahakan itu. Pascasarjana IAIN harus bertanggung jawab untuk menyusun teori, model, bahkan manual yang diperlukan itu.
Tahap kedua, penyusunan paradigma pendidikan baru untuk meningkatan mutu pendidikan nasional. Dari sudut Ilmu Pendidikan saya berpendapat bahwa lambatnya bangsa Indonesua ini maju disebabkan oleh paradigma pendidikannya yang keliru. Seharusnya pada Pelita ketiga, selambat-lambatnya mulai Pelita keempat, kesejahteraan orang Indonesia itu sekurang-kurangnya sama dengan Jepang. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Kenapa begini? Menurut saya itu disebabkan oleh kesalahan dalam disain pendidikan nasional.
Tahap ketiga, penyusunan paradigma pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan dunia.
Sudah banyak tulisan yang diterbitkan di Barat yang menjelaskan bahwa di Barat itu ada kekeliruan dalam mendisain kebudayaan. Karena itu Barat sekarang ini berada dalam kehancuran. Ciri kehancuran itu ialah banyaknya kontradiksi dan munculnya kekacauan nilai. Nietzsche, yang meninggal 1900, dengan nada geram mengecam disain kebudayaan Barat dan dengan tegas menyatakan bahwa Barat telah berada di bibir tubir kehancuran. Fritjof Capra yang belum lama ini menerbitkan bukunya yang menggegerkan The Turning Point: Science, Society and The Rising Culture (terjemahannya dalam bahasa Indonesia terbit pertama kali 1997) memperjelas pikiran Nietzsche itu dengan menyajikan data empirik tentang kehancuran Barat. Dia mengusulkan agar ada paradigma baru dalam menyusun kembali budaya Barat.
Budaya Barat memang disusun melalui hanya satu paradigma, yaitu paradigma sain. Pandangan ini berkembang dan menjadi pandangan baku tentulah merupakan hasil pendidikan. Karena itu, yang harus dilakukan ialah mengubah lebih dahulu pendidikan Barat; pengubahan itu harus didahului oleh pengubahan paradigma pendidikannya.
Pascasarjana IAIN seharusnya dapat menymbangkan paradigma pendidikan yang diperlukan itu. Pemikiran ini akan sampai juga pada kesimpulan bahwa Pascasarjana IAIN Bandung harus secepatnya membuka program doktor (S3).

--------------------




Bahan yang Digunakan

Azyumardi Azra, 1999
Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Penerbit
Logos.
Ahmad Tafsir, 1990
Filsafat Umum. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya.
Ahmad Tafsir, 1994
Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya.
Ahmad Tafsir (Editor), 1995
Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Penerbit Fakultas Tarbiyah
IAIN Bandung.
Ahmad Tafsir, 1997
Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya.
Fritjof Capra, 1998
Titik Balik Peradaban. Diterjemahkan dari The Turning Point Oleh M. Thoyibi.
Yogyakarta: Penerbit Yayasan Bentang Budaya.
Haedar Nashir, 1990
Agama dan Krisis Kemanusiaan Moderen. Bandung: Penerbit Pustaka.
St. Sunardi, 1996
Nietzsche. Yogyakarta: Penerbit LKiS
Soedjatmoko, 1984
Pembangunan dan Kebebasan. Jakarta: Penerbit LP3ES
Tim Penulis, 1999
Metodologi Pengajaran Agama. Yogyakarta: Penerbit Fakultas Tarbiyah IAIN
Semarang bekerja sama dengan Pustaka Pelajar.
Thomas S. Kuhn, 1970
The Structure of Scientific Revolution. Chicago: University of Chicago Press.

Tidak ada komentar: