Rabu, 16 Juli 2008

Pendidikan Keimanan Sebagai Core Sistem Pendidikan (Upaya Strategis Menyelamatkan Bangsa)

Oleh: Ahmad Tafsir


Pada pertengahan tahun 1997 kita dikagetkan oleh suatu kenyataan yang sulit sekali dipahami. Apa? Ternyata orang Indonesia itu banyak yang tidak baik akhlaknya. Sulit dipahami, karena sejak lama orang Indonesia itu dikenal sebagai orang yang murah senyum, tinggi toleransinya, ramah, rasa solidaritas yang tinggi, suka bergotong royong, berbudaya tinggi. Sekarang terbukti bahwa itu tidak benar. Ternyata banyak orang Indonesia yang brangasan, merampok dan kadang-kadang memperkosa, menjarah harta milik orang lain, bahkan sekarang-sekarang ini sering main hakim sendiri, orang disiram bensin lantas dibakar. Aneh ya.
Apa ini? Tentu ada yang salah. Tapi apa? Jawabnya, ini kesalahan pendidikan. Ada yang salah dalam pendidikan kita.
Manusia itu mememiliki dua sifat utama yaitu sifat kebinatangan dan sifat kemalaekatan. Sifat mana yang akan berkembang akan ditentukan oleha pendidikan yang diterimanya.
Pendidikan kita sudah ada sejak zaman dahulu sekali, yaitu sejak adanya orang Indonesia. Bila kita perhatikan kita akan memahami bahwa sejak kemerdekaan 1945 itu kita sudah punya undang-undang pendidikan, tegasnya sejak 1 Januari 1946 zaman KH Dewantara menjadi menteri pendidikan dan pengajaran. Nah, ada yang salah dalam undang-undang pendidikan kita itu. Undang-undang itu memang tidak memungkinkan menhgasilkan lulusan yang mendekati sifat-sifat kemalaekatan. Karena itu lulusannya, yaitu kita-kita ini, kadang-kadang lebih muncul sebagai binatang dari pada sebagai malaekat. Ada juga sih yang mendekati malaekat yaitu orang-orang yang mendapat pendidikan tambahan selain dari sistem pendidikan nasional yang diterimanya. Undang-undang yang salah inilah yang menjadi penyebab utama hancurnya negara kita seperti sekarang.
Hebatnya, sampai hari ini kita belum juga menyadari bahwa sistem pendidikan nasional kita itu salah dan belum juga menyadari bahwa sistem pendidikan nasional itu harus segera diubah.
Pada tahun pertengahan tahun 1997 itu muncul gerakan reformasi. Gerakan itu masih berjalan sekarang. Tetapi reformasi di bidang pendidikan –yang sebenarnya adalah akar reformasi itu- belum juga dilakukan. Yang dilakukan adalah tambal sulam di bidang pendidikan. Ya, tambal sulam. Bila tambal sulam, itu berarti reformasi hanya terjadi pada bagian aksesori bukan pada bagian esensi. Akibatnya perubahan mendasar tidak muncul dan tidak akan muncul.
Meminjam tulisan Kuhn, perubahan penting akan terjadi bila yang berubah itu paradigma. Kuhn benar. Bila kita mengharap ada perubahan mendasar dalam pendidikan nasioanl kita, maka yang diubah seharusnya paradigma pendidikan kita.
Pendidikan kita harus dibangun dari dasar filosofis negara kita yaitu Pancasila. Pancasila itu core (inti) nya ialah gambar bintang. Cobalah lihat lagi gambar Pancasila itu. Itu berarti keimanan itu adalah core filosofi bangsa Indonesia. Wajarnya, bila kita berpikir benar, seluruh undang-undang menjadikan keimanan sebagai corenya. Ini bila berpikir wajar. Selama ini kita tidak berpikir wajar. Dalam pasal 4 UU nomor 2 Tahun 1989 diketahui bahwa core pendidikan kita adalah mansusia utuh. Padahal manusia utuh itu tidak jelas juntrungannya. Agar sesuai dengan filsafat negara seharusnya pasal itulah yang paling perlu diubah. Seharusnya tujuan pendidiakan nasional itu adalah manusia beriman yang…., bukan manusia utuh yang….sebagaiamana pada pasal 4 itu. Bila ini diubah maka kita telah melakukan perubahan paradigma. Nah, barulah kita dapat mengharap akan terjadi perubahan mendasar.
Akibat dari pasal 4 (manusia utuh) itu ialah kurikulum kita terkompartemental. Dan inilah yang menyebabkan pendidikan keimanan tidak menjadi pusat perhatian pendidikan. Akibat selanjutnya ialah akhlak lulusan kadang-kadang lebih berat ke sifat binatang ketimbang ke sifat malaekat. Maka jangan kaget bila murid berani melawan guru secara tidak proporsional, anak melawan orang tuanya, ngeganja, nyabu, ngompas, tawuran, dan sebagainya seperti yang kita saksikan sekarang. Yang sudah punya kesempatan korupsi ya korupsi, yang sudah punya kedudukan politik ia mau menang sendiri. Dan, negara kita terjerumus seperti sekarang.
Setelah keadaan seperti benang kusut sekarang lantas para “ahli” mencari kambing hitam. Mereka menemukan, penyebabnaya ialah ada kesalahan di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Apa iya? Bukankah pembuat aturan politik, ekonomi, dan hukum, pelaku politik, ekonomi dan hukum itu adalah lulusan pendidikan. Kesalahan kita sejak 1945 hanya satu: salah dalam desain pendidikan. Kita tidak menjadikan keimanan sebagai inti tujuan pendidikan, baik pendidikan di sekolah, di rumah, dan di tempat lainnya.
Memang mengenaskan, negara yang seharusnya sudah lebih makmur ketimbang Jepang kok sekarang terpuruk-puruk. Ya terpuruk dong jika akhlak warga negara itu buruk. Mungkin ada orang meragukan hal ini. Baik. Lihatlah dalam sejarah, tidak ada negara yang hancur karena tidak meguasai saintek, tidak ada negara (dalam sejarah) yang hancur karena miskin. Dalam sejarah, selalu saja negara hancur karena akhlak warga negaranya buruk, terutama akhlak para pemimpin.
Mungkin Anda sependapat dengan saya bahwa kunci masalah terpagang: pendidikan akhlak. Maka ubahlah secepatnya pasal 4 UU No.2/1989 itu. Ubah lah itu secepatnya mumpung negara ini belum benar-benar hancur. Utamakan pendidikan akhlak, jadikan pendidikan akhlak sebagai core pendidikan.
Akhlak itu sifat batin bukan sifat lahir. Perangai lahir itu hanya indikator bukan kepastian. Karena sifat batin maka pembinaannya harus berdasar agama yang mendidik batin. Inilah rahasia hadis nabi saw “Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak.” Memang hanya akhlak, tetapi akhlak itu perlu sarang, sarangnya ialah iman. Semakin kuat iman seseorang akan semakin baik akhlaknya.
Setiap tahun baru selalu saja ada laporan bahwa prestasi akademik siswa merosot. Ya saja wong akhlaknya merosot. Terdapat korelasi positif antara akhlak dengan prestasi akademik, semakin baik akhlak siswa akan semakin tinggi capaian akademiknya. Jadi, dengan mengintensiflan pendidikan akhlak (pendidikan keimanan) berarti kita juga meningkatakan mutu akademik siswa-siswa kita.
Oke, kita tingkatkan pendidikan akhlak, agar negara ini cepat pulih dan penguasaan saini dan teknologi semakin cepat. Kalau begitu jadikan pendidikan keimanan (pendidikan agama) sebagai core sistem pendidikan nasional. Itu bukan berarti menambah jam pelajaran agama. Itu artinya mengubah paradigma pendidikan. Bagaimana pendidikan akhlak itu dilaksanakan? Dasar teorinya ialah “seamakin kuat iman akan semakin baik akhlak.” Jadi pendidikan akhlak pada hakikatnya adalah pendidikan keimanan.
Dalam Islam pendidikan agama itu dimulai sejak dini sekali, yaitu sejak memilih jodoh. Lebih intensif lagi sejak dalam rahim. Kemudian lebih intensif lagi tatkala anak hidup dalam keluarganya. Itu diteruskaan pada lembaga pendidikan formal dan pada lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Berbuatlah sebelum terlambat sebelum Anda ditendang atau ditempeleng oleh anak Anda sendiri dan sebelum negara ini benar-benar hancur.

Tidak ada komentar: