Rabu, 16 Juli 2008

MADRASAH YANG TERMARGINALISASI

Oleh: Ahmad Tafsir
Melanjutkan tulisan Mas Supriyoko dalam Pikiran Rakyat Bandung
18 September 2001

Pada tahun 1970an saya beberapa hari dalam seminggu ikut membantu beberapa pekerjaan ringan di Departemen Agama di Jakarta yaitu di Balitbang Agama. Suatu waktu, setelah capek bekerja, biasanya bos-bos ngumpul, saya ikut juga, biasanya ngobrol-ngobrol. Salah seorang bos ketika itu bertanya kepada saya “Pak Tafsir, mungkin tidak di Indonesia ini diadakan Sekolah Dasar Islam Negeri (SDIN), Sekolah Menengah Pertama Islam Negeri (SMPIN) dan Sekolah Menengah Atas Islam Negeri (SMAIN).” Waktu itu saya masih muda (28 tahun), pengetahuan sudah agak banyak karena saya senang membaca tetapi pengetahuan itu masih kacau, belum bersistem. Saya katakan dengan nada yang rata “Tidak mungkin karena negara kita menganut sistem yang tunggal.” Lalu bagaimana, kata mereka. Kata saya, masukkan saja ke SD-SMP-SMA berbasis Islam seperti SD-SMP-SMA Muhammadiyah, SD-SMP-SMA NU atau yang berbasis Islam lainnya. Mereka mengatakan bahwa hal itu beresiko bagi kami sebagai pejabat negara, nanti ada yang menuduh kami memihak pada salah satu golongan.

Sejak diberlakukannya UU No.2/1989 (tentang sistem pendidikan nasional) kita memiliki dua macam sistem pendidikan umum. Pertama sistem sekolah dan kedua sistem madrasah. Sebenarnya madrasah itu artinya sekolah. Sistem sekolah ialah sekolah umum yang umum yaitu jenjang SD-SMP-SMA (saya pakai nama lama) sedangkan sistem madrasah ialah sekolah umum yang berciri khas Islam yaitu jenjang Ibtida`iyah-Tsanawiyah-‘Aliyah. Sekolah umum berciri khas Islam ialah sekolah umum yang islami. Jadi Ibtida`iyah itu sama dengan Sekolah dasar Islam (SDI), Tsanawiyah itu sama dengan SMPI, ‘Aliyah sama dengan SMAI; jika milik pemerintah maka Madrasah Ibtida`iyah Negeri (MIN)=SDIN, Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN)=SMPIN, dan Madrasah ‘Aliyah Negeri (MAN)=SMAIN.
Peristilahan di atas itu memang perlu dijelaskan karena masih ada orang yang menyangka MI atau Mts atau MA sekarang ini sama dengan MI atau MTs atau MA yang lama yang sudah kita bubarkan itu. MI-MTs-MA yang lama bukanlah sekolah umum, sedangkan MI-MTs-MA yang sekarang adalah sekolah umum, tetapi sekolah umum berciri khas Islam sedangkan SD-SMP-SMA adalah sekolah umum yang berciri khas umum. Inilah yang saya maksud “kita memiliki dua sistem” tadi. Dahulu kita memiliki satu macam sistem saja yaitu sekolah umum jenjang SD-SMP-SMA. Mengapa tidak cukup satu macam sistem sekolah umum saja seperti dahulu? Karena umat Islam yang mayoritas ini memerlukan sekolah umum yang islami.
Uraian di atas itu hanya mengenai peristilahan saja. Tidak penting. Yang penting ialah uraian berikut ini.
Kira-kira pada tahun 1991 atau 1992 saya diminta menguraikan makna “berciri khas Islam” yang ada pada madrasah, di hadapan pejabat-pejabat Departemen Agama se Jawa Barat. Ya, saya uraikan. Tentu cukup panjang uraian saya itu. Beberapa konsep saja yang saya bicarakan dalam tulisan ini.
Dalam uraian itu saya mengatakan “Dilihat dari segi model untuk sekolah umum, madrasah ini merupakan model sekolah umum terbaik yang kita miliki sekarang.” Model ini lebih baik dari pada model sekolah umum yang umum. Maksud saya model MI-MTs-MA itu lebih baik dari pada model SD-SMP-SMA. Nah, banyak pejabat yang hadir waktu itu yang tidak menyetujui pernyataan saya itu. Saya dapat memahami ketidaksetujuan mereka. Saya juga tidak menyekolahkan anak-anak saya di MI-MTs-MA. Saya menyekolahkan anak-anak saya di SD-SMP-SMA. Berikut adalah pembuktian sederhana bahwa MIN-MTsN-MAN lebih baik dari pada SDN-SMPN-SMAN.
Tokoh-tokoh Yunani Lama kira-kira 600 tahun SM telah merumuskan bahwa tugas utama pendidikan ialah membantu manusia menjadi manusia. Untuk menghasilkan manusia seperti itu ada tiga tugas pokok pendidikan. Pertama, membantu murid agar memiliki kemampuan mengendalikan diri. Jadi, tugas pokok pertama ini adalah pengendalian diri. Di kita pengendalian diri ini sama atau mirip sekali dengan akhlak. Tugas pokok pertama itu adalah pendidikan akhlak, bukan pendidikan budi pekerti. Kedua, membantu murid agar menjadi manusia yang mencintai tanah air. Di kita, tugas ini mirip benar dengan pendidikan civic. Manusia harus memakmurkan alam tempat tinggalnya. Konsep ini kira-kira sama dengan filsafat I Ching tentang hubungan manusia dengan alam. Ketiga, membantu manusia agar memiliki pengetahuan. Orang Yunani Lama amat menghargai pengetahuan teoritis terutama filsafat, mereka kurang mengharagai keterampilan.
Sekolah-sekolah kita sekarang, baik di Barat maupun di Timur, telah amat menyempitkan missi pendidikan, sudah menjadi jauh lebih sempit dari pada missi yang dianjurkan oleh orang Yunani Lama itu. Sekarang missi pendidikan kadang-kadang telah menyempit menjadi sekedar ahli dagang, ahli menghitung, ahli membius, ahli membedah, ahli membuat obat, ahli mengoperasikan komputer, bahkan hanya ahli ngelas.
Keahlian-keahlian itu harus diakui memang diperlukan, bahkan keahlian itu boleh lebih menjurus lagi. Tetapi, mestinya yang paling utama ialah mendidik murid itu menjadi manusia lebih dahulu. Kita menginginkan manusia ahli dagang, manusia ahli hitung, manusia ahli membuat obat, manusia ahli ngelas. Jadi, yang utama dan pertama, pendidikan harus menjadikan manusia itu manusia.
Bila teori orang Yunani Lama itu kita gunakan untuk membandingkan sistem madrasah dan sistem sekolah pada persekolahan kita, barangkali kita menemukan keadaan kasar sebagai berikut: madrasah banyak berhasil dalam akhlak dan civic, banyak gagal dalam missi pengetahuan; sekolah banyak gagal dalam missi akhlak dan civic dan banyak berhasil dalam missi pengetahuan. Bila dipindahkan ke dalam matrik, kira-kira begini:

Akhlak Civic Pengetahuan
Madrasah (MI-MTs-MA) + + -
Sekolah (SD-SMP-SMA) - - +

Matrik di atas tentu saja amat kasar bahkan cenderung gegabah. Tetapi, bila kita jadikan mabuk dan tawuran sebagai indikator kegagalan pendidikan akhlak, mencoret coret tembok dan membuang sampah sebarangan sebagai indikator kegalan pendidikan civic, dan prestasi dalam UMPTN sebagai indikator keberhasilan pendidikan pengetahuan, kiranya isi matrik di atas sulit juga untuk ditolak begitu saja.
Pemikiran seperti di atas inilah yang menyebabkan saya berani mengatakan “Bila pemerintah ingin memperbaiki sekolah, sementara uangnya hanya sedikit, sebaiknya didahulukan madarsah. Pertama, jumlah madrasah tidak sebanyak sekolah; kedua, kekurangannya tidak separah sekolah. Kekurangan madrasah hanyalah pada Bahasa Inggeris dan MIPA. Proyeknya: penambahan jumlah dan mutu guru Bahasa Inggeris dan MIPA dan pengadaan peralatannya. Amat sederhana. Mudah dihitung, mudah dirancang, mudah dilaksanakan, mudah dievaluasi. Cobalah bandingkan dengan kekurangan yang terdapat pada sekolah. Bagaimana menghitung, merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi proyek untuk meningkatkan mutu pendidikan akhlak dan civic di SD-SMP-SMA?
Di sinilah saya melihat bagian yang paling penting dalam artikel Mas Supriyoko dalam koran Pikiran Rakyat tanggal 18 Setember 2001. Dia melihat bahwa biaya untuk peningkatan madrasah lebih kecil dari pada biaya untuk peningkatan sekolah. Padahal mestinya lebih besar. Saya yakin negara ini masih dapat dibangun menjadi negara besar dengan kemanusiaan yang tinggi bila diperbanyak madrasah dan ditingkatkan mutunya dan sekolah diubah sistemnya seperti (sekali lagi seperti) madrasah.

Tidak ada komentar: