Senin, 14 Juli 2008

URGENSI PENDIDIKAN AKHLAK DI SEKOLAH: PENDEKATAN FILSAFAT

Oleh: A. Tafsir


Di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung yang dahulu disebut IKIP Bandung ada jurusan atau program studi bernama Program Studi Pendidikan Umum (PU), satu-satunya program studi (prodi) yang ada di Indonesia. Prodi ini ada pada jenjang S2-S3 Sekolah Pascasarjana UPI Bandung.
Yang diajarkan dan diperdalam pada program studi (prodi) ini ialah pendidikan nilai, karena itu Prodi PU sering disebut Prodi Pendidikan Nilai. Apa yang dimaksud prodi ini dengan istilah nilai?
Nilai adalah harga. Sesuatu berharga tinggi karena ia bernilai tinggi. Seseorang dihargai karena ia memiliki nilai atau karena ia bernilai. Emas berharga tinggi karena nilainya tinggi. Buktinya, banyak orang menyimpan uang dalam bentuk emas. Emas gampang diuangkan karena ia memiliki nilai tinggi.
Dalam filsafat dikenal ada tiga macam nilai, ini sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno sekitar tahun 500an SM. Pertama nilai benar salah, kedua nilai baik buruk dan ketiga nilai indah tidak indah.
Nilai benar salah ialah nilai yang diukur dengan logika, turunannya ialah nilai-nilai (sebenarnya teori-teori) dalam ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu social. Orang sering mengatakan bahwa nilai benar salah itu ialah nilai ilmu. Nilai baik buruk ialah nilai yang melekat pada tingkah laku manusia, tidak pada selain manusia. Dalam filsafat nilai ini disebut Etika. Etika itu di situ berarti Budi Pekerti. Budi pekerti yang dibuat berdasar akal dan adat istiadat disebut Etika; sementara Budi Pekerti yang dibuat berdasar agama di sebut akhlak. Adapun nilai indah tidak indah, inilah yang disebut nilai Estetika, yaitu nilai seni. Itu biasanya ada pada suara (misalnya nyanyian), pada gerak (misalnya tarian), atau pada benda mati seperti lukisan dan pahatan. Ada juga pada susunan kata dan atau kalimat, misalnya puisi. Jadi, ada tiga macam nilai yaitu nilai Logika, nilai Etika, dan nilai Estetika.
Nilai yang dikembangkan pada prodi PU adalah nilai Etika. Di sana berkembang nilai Etika (dalam arti Budi Pekerti) baik yang Etika (nilai berdasarkan akal dan adat) maupun Akhlak (nilai yang berdasarkan agama). Pembahasan ini hanya mengenai Akhlak dan hanya hendak memberikan landasan filsafat tentang perlunya pendidikan akhlak di sekolah.
Perlukah pendidikan akhlak di sekolah? Untuk menjawab pertanyaan ini cobalah renungkan argumen berikut.
Orang Yunani, kira-kira 600 tahun SM telah menyimpulkan bahwa manusia barulah dapat disebut manusia bila ia berakhlak mulia. Tentu saja keiteria akhlak yang mereka buat sesuai dengan apa akhlak yang baik menurut mereka pada waktu itu. Manusia dapat disebut manusia bila ia memiliki akhlak mulia. Maka dapat saja muncul manusia (orang) yang setengah manusia dan setengahnya bukan manusia. Setengah yang bukan manusia itu biasanya hewan. Jadi dapat saja seseorang itu setengah adalah manusia dan setengahnya lagi adalah hewan. Atau dapat saja seseorang itu 12 jam menjadi manusia 12 jam sisanya ia hewan; atau mungkin saja seseorang itu tatkala di menjid, di rumah ia manusia, tatkala di pasar atau di proyek ia hewan. Orang seperti ini sebenarnya membingungkan, apa ia kita sebut manusia atau kita panggil hewan. Manusia kita sebut manusia bila orang itu 100% manusia. Nah, orang yang disebut manusia, yaitu orang yang 100% manusia, itu disyaratkan ia memiliki akhlak 100% akhlak yang mulia, yaitu akhlak yang wajar dimiliki oleh manusia. Dalam argumen pertama ini pendidikan akhlak itu perlu agar manusia itu menjadi manusia, agar manusia itu disebut manusia.
Argumen kedua menjelaskan bahwa pendidikan akhlak itu diperlukan untuk menjamin eksistensi manusia, tegasnya akhlak itu syarat utama untuk adanya manusia. Bila tidak ada akhlak maka manusia itu tidak ada.
Cobalah lihat bagaimana menghilangnya manusia pada zaman nabi Nuh. Karena mereka tidak berakhlak lagi maka mereka dihilangkan Tuhan (dalam arti fisik) dengan cara mengirim banjir yang menelan mereka itu; yang tertinggal hanya nabi Nuh dan beberapa gelintir manusia yang memilki akhlak. Cobalah lihat manusia pada zaman nabi Luth. Mereka ditelan perut bumi dan hilang dari muka bumi ini (secara fisik) disebabkan mereka telah sangat kurang ajar, mereka tidak memiliki akhlak yang baik. Tempat tinggal mereka dibalik oleh Tuhan dan mereka ditelan bumi. Mereka hilang. Cobalah lihat umat yang dipimpin Ratu Bilqis, lihatlah umat Fir’aun, lihatlah penduduk Imperium Yunani, dan lain-lain. Mereka hilang disebabkan mereka krisis akhlak. Sejarah menjelaskan tidak ada negara yang hilang karena kurang menguasai sain dan teknologi, tidak juga karena miskin, negara-negara hilang karena hilangnya akhlak dari penduduknya, terutama para pemimpinnya. Pada argumen kedua ini pendidikan akhlak diperlukan agar manusia itu tetap ada.
Argumen kedua ini dapat menghasilkan kesimpulan lain, seperti seseorang bila ingin ada ia harus berakhlak mulia; rumah tangga bila ingin ada dan tetap ada, penghuni rumah tangga itu harus berakhlak mulia, negara akan tetap ada (eksis) bila penduduk negara itu berakhlak mulia.
Berdasarkan dua argumen di atas dapatlah dipahami mengapa satu-satunya misi nabi Muhammad saw adalah menyempurnakan akhlak manusia. Tanpa diturunkan nabi Muhammad (dan nabi-nabi lain) manusia akan memiliki akhlak, tetapi belum sempurna. Akhlak sempurna itulah yang dapat menjamin manusia dapat disebut manusia dan dapat menjamin adanya manusia. Bila tidak ada akhlak mulia maka manusia itu tidak dapat disebut manusia dan manusia itu akan hilang atau dihilangkan, manusia akan tidak ada. Cobalah ambil pelajaran dari ilustrasi berikut.
Ada sebuah kompleks perumahan, di situ ada 100 rumah, berarti di situ ada 100 kepala keluarga dengan anggota keluarganya masing-masing. Keseratus keluarga itu semuanya memiliki akhlak karimah. Mereka disebut manusia dan mereka ada secara mapan. Entah mengapa, satu keluarga hilang akhlak karimahnya. Maka keluarga itu tidak disebut manusia. Buktinya, seringkali ada warga di sana mengatakan bahwa si bapak itu seperti binatang, isterinya seperti belut, anak-anaknya seperti anak monyet. Bukankah Anda sering mendengar langsung kata-kata seperti itu? Mungkin itu bukan sekedar kata-kata melainkan memang sebenrnya demikian. Ini pertama: mereka bukan lagi manusia. Lantas keluaga tadi, hilang juga posisinya sebagai warga di situ, warga di situ tinggal 99. Mengapa dikatakan demikian? Bila wagra kompleks itu musyawarah untuk suatu kebaikan, keluarga yang satu tadi itu tidak diikutsertakan. Itu kan sama saja dengan telah hilang. Mereka sekeluarga itu tidak lagi dihitung sebagai ada, sekalipun secara fisik keluarga itu tadi masih ada.
Nah, di sinilah letak pentingnya pendidikan akhlak itu diberikan kepada manusia, terutama di sekolah; pendidikan akhlak itu diberikan untuk menjamin manusia disebut manusia dan untuk menjamin manusia itu tetap ada baik secara fisik maupun secara non-fisik.

Tidak ada komentar: