Rabu, 16 Juli 2008

Pendidikan Keimanan Sebagai Core Sistem Pendidikan (Upaya Strategis Menyelamatkan Bangsa)

Oleh: Ahmad Tafsir


Pada pertengahan tahun 1997 kita dikagetkan oleh suatu kenyataan yang sulit sekali dipahami. Apa? Ternyata orang Indonesia itu banyak yang tidak baik akhlaknya. Sulit dipahami, karena sejak lama orang Indonesia itu dikenal sebagai orang yang murah senyum, tinggi toleransinya, ramah, rasa solidaritas yang tinggi, suka bergotong royong, berbudaya tinggi. Sekarang terbukti bahwa itu tidak benar. Ternyata banyak orang Indonesia yang brangasan, merampok dan kadang-kadang memperkosa, menjarah harta milik orang lain, bahkan sekarang-sekarang ini sering main hakim sendiri, orang disiram bensin lantas dibakar. Aneh ya.
Apa ini? Tentu ada yang salah. Tapi apa? Jawabnya, ini kesalahan pendidikan. Ada yang salah dalam pendidikan kita.
Manusia itu mememiliki dua sifat utama yaitu sifat kebinatangan dan sifat kemalaekatan. Sifat mana yang akan berkembang akan ditentukan oleha pendidikan yang diterimanya.
Pendidikan kita sudah ada sejak zaman dahulu sekali, yaitu sejak adanya orang Indonesia. Bila kita perhatikan kita akan memahami bahwa sejak kemerdekaan 1945 itu kita sudah punya undang-undang pendidikan, tegasnya sejak 1 Januari 1946 zaman KH Dewantara menjadi menteri pendidikan dan pengajaran. Nah, ada yang salah dalam undang-undang pendidikan kita itu. Undang-undang itu memang tidak memungkinkan menhgasilkan lulusan yang mendekati sifat-sifat kemalaekatan. Karena itu lulusannya, yaitu kita-kita ini, kadang-kadang lebih muncul sebagai binatang dari pada sebagai malaekat. Ada juga sih yang mendekati malaekat yaitu orang-orang yang mendapat pendidikan tambahan selain dari sistem pendidikan nasional yang diterimanya. Undang-undang yang salah inilah yang menjadi penyebab utama hancurnya negara kita seperti sekarang.
Hebatnya, sampai hari ini kita belum juga menyadari bahwa sistem pendidikan nasional kita itu salah dan belum juga menyadari bahwa sistem pendidikan nasional itu harus segera diubah.
Pada tahun pertengahan tahun 1997 itu muncul gerakan reformasi. Gerakan itu masih berjalan sekarang. Tetapi reformasi di bidang pendidikan –yang sebenarnya adalah akar reformasi itu- belum juga dilakukan. Yang dilakukan adalah tambal sulam di bidang pendidikan. Ya, tambal sulam. Bila tambal sulam, itu berarti reformasi hanya terjadi pada bagian aksesori bukan pada bagian esensi. Akibatnya perubahan mendasar tidak muncul dan tidak akan muncul.
Meminjam tulisan Kuhn, perubahan penting akan terjadi bila yang berubah itu paradigma. Kuhn benar. Bila kita mengharap ada perubahan mendasar dalam pendidikan nasioanl kita, maka yang diubah seharusnya paradigma pendidikan kita.
Pendidikan kita harus dibangun dari dasar filosofis negara kita yaitu Pancasila. Pancasila itu core (inti) nya ialah gambar bintang. Cobalah lihat lagi gambar Pancasila itu. Itu berarti keimanan itu adalah core filosofi bangsa Indonesia. Wajarnya, bila kita berpikir benar, seluruh undang-undang menjadikan keimanan sebagai corenya. Ini bila berpikir wajar. Selama ini kita tidak berpikir wajar. Dalam pasal 4 UU nomor 2 Tahun 1989 diketahui bahwa core pendidikan kita adalah mansusia utuh. Padahal manusia utuh itu tidak jelas juntrungannya. Agar sesuai dengan filsafat negara seharusnya pasal itulah yang paling perlu diubah. Seharusnya tujuan pendidiakan nasional itu adalah manusia beriman yang…., bukan manusia utuh yang….sebagaiamana pada pasal 4 itu. Bila ini diubah maka kita telah melakukan perubahan paradigma. Nah, barulah kita dapat mengharap akan terjadi perubahan mendasar.
Akibat dari pasal 4 (manusia utuh) itu ialah kurikulum kita terkompartemental. Dan inilah yang menyebabkan pendidikan keimanan tidak menjadi pusat perhatian pendidikan. Akibat selanjutnya ialah akhlak lulusan kadang-kadang lebih berat ke sifat binatang ketimbang ke sifat malaekat. Maka jangan kaget bila murid berani melawan guru secara tidak proporsional, anak melawan orang tuanya, ngeganja, nyabu, ngompas, tawuran, dan sebagainya seperti yang kita saksikan sekarang. Yang sudah punya kesempatan korupsi ya korupsi, yang sudah punya kedudukan politik ia mau menang sendiri. Dan, negara kita terjerumus seperti sekarang.
Setelah keadaan seperti benang kusut sekarang lantas para “ahli” mencari kambing hitam. Mereka menemukan, penyebabnaya ialah ada kesalahan di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Apa iya? Bukankah pembuat aturan politik, ekonomi, dan hukum, pelaku politik, ekonomi dan hukum itu adalah lulusan pendidikan. Kesalahan kita sejak 1945 hanya satu: salah dalam desain pendidikan. Kita tidak menjadikan keimanan sebagai inti tujuan pendidikan, baik pendidikan di sekolah, di rumah, dan di tempat lainnya.
Memang mengenaskan, negara yang seharusnya sudah lebih makmur ketimbang Jepang kok sekarang terpuruk-puruk. Ya terpuruk dong jika akhlak warga negara itu buruk. Mungkin ada orang meragukan hal ini. Baik. Lihatlah dalam sejarah, tidak ada negara yang hancur karena tidak meguasai saintek, tidak ada negara (dalam sejarah) yang hancur karena miskin. Dalam sejarah, selalu saja negara hancur karena akhlak warga negaranya buruk, terutama akhlak para pemimpin.
Mungkin Anda sependapat dengan saya bahwa kunci masalah terpagang: pendidikan akhlak. Maka ubahlah secepatnya pasal 4 UU No.2/1989 itu. Ubah lah itu secepatnya mumpung negara ini belum benar-benar hancur. Utamakan pendidikan akhlak, jadikan pendidikan akhlak sebagai core pendidikan.
Akhlak itu sifat batin bukan sifat lahir. Perangai lahir itu hanya indikator bukan kepastian. Karena sifat batin maka pembinaannya harus berdasar agama yang mendidik batin. Inilah rahasia hadis nabi saw “Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak.” Memang hanya akhlak, tetapi akhlak itu perlu sarang, sarangnya ialah iman. Semakin kuat iman seseorang akan semakin baik akhlaknya.
Setiap tahun baru selalu saja ada laporan bahwa prestasi akademik siswa merosot. Ya saja wong akhlaknya merosot. Terdapat korelasi positif antara akhlak dengan prestasi akademik, semakin baik akhlak siswa akan semakin tinggi capaian akademiknya. Jadi, dengan mengintensiflan pendidikan akhlak (pendidikan keimanan) berarti kita juga meningkatakan mutu akademik siswa-siswa kita.
Oke, kita tingkatkan pendidikan akhlak, agar negara ini cepat pulih dan penguasaan saini dan teknologi semakin cepat. Kalau begitu jadikan pendidikan keimanan (pendidikan agama) sebagai core sistem pendidikan nasional. Itu bukan berarti menambah jam pelajaran agama. Itu artinya mengubah paradigma pendidikan. Bagaimana pendidikan akhlak itu dilaksanakan? Dasar teorinya ialah “seamakin kuat iman akan semakin baik akhlak.” Jadi pendidikan akhlak pada hakikatnya adalah pendidikan keimanan.
Dalam Islam pendidikan agama itu dimulai sejak dini sekali, yaitu sejak memilih jodoh. Lebih intensif lagi sejak dalam rahim. Kemudian lebih intensif lagi tatkala anak hidup dalam keluarganya. Itu diteruskaan pada lembaga pendidikan formal dan pada lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Berbuatlah sebelum terlambat sebelum Anda ditendang atau ditempeleng oleh anak Anda sendiri dan sebelum negara ini benar-benar hancur.

PEMBINAAN KALBU INTI SEMUA PENDIDIKAN

Oleh: Ahmad Tafsir


Banyak orang berbicara tentang kekurangan pendidikan kita. Kata mereka, pendidikan kita kurang berhasil karena tidak mampu menghasilkan lulusan siap pakai. Pendidikan kita tidak sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Mungkin ada orang beranggapan inilah masalah paling besar dalam pendidikan kita.
Cara berpikir seperti ini adalah cara berpikir pragmatis. Dalam hal ini pendidikan yang benar ialah pendidikan yang mampu menghasilkan lulusan yang langsung dapat bekerja. Dari sini orang akan menyimpulkan bila lulusan yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja yang tersedia maka pendidikan itu tidak benar alias gagal. Apakah memang demikian?
Apa benar pendidikan gagal karena tidak mampu menghasilkan lulusan siap pakai, sehingga tidak siap pakai ini dianggap sebagai masalah besar? Apakah tidak terlihat bahwa lulusan pendidikan kita juga sanggup berbohong, sanggup merampas hak orang lain, tega korupsi, ingin benar sendiri, kurang mampu menghargai pendapat orang lain, kurang peka terhadap orang kecil? Apakah ini bukan kegagalan yang lebih besar? Apakah ini bukan merupakan masalah yang lebih besar? Mengapa pendidikan masih menghasilkan lulusan suka perang, tega membunuh sesama manusia, berani merampok, menjarah, sanggup memperkosa? Ya, mengapa? Bukankah ini merupakan masalah yang lebih besar dalam pendidikan? Jauh lebih besar dari pada sekedar tidak siap pakai?
Pada masa permulaan sejarah, yaitu pada zaman Yunani Lama pendidikan diadakan memang bukan untuk menyiapkan tenaga kerja. Pendidikan diadakan dengan tujuan untuk lebih memanusiakan manusia, agar derajat manusia menjadi lebih tinggi, sekurang-kurangnya lebih tinggi dari pada binatang. Hal ini didasarkan pada pengalaman sejarah. Bila manusia tidak dididik ia dapat saja berkembang menjadi makhluk yang lebih jahat dari pada binatang. Kita harus benar-benar waspada, bila pendidikan memberikan kesehatan dan kekuatan jasmani, kecerdasan, kepintaran, pengetahuan, keterampilan saja, maka pendidikan itu dapat menghasilkan binatang sehat, kuat, cerdas, pintar, berpengetahuan, berketerampilan. Ini lebih berbahaya ketimbang binatang yang benar-benar binatang. Penjahat cerdas dan terampil lebih jahat dari pada penjahat bodoh dan tidak terampil. Kita menginginkan manusia yang berkemanusiaan tinggi, cerdas, berpengetahuan, terampil. Tetapi tetap saja yang paling utama ialah manusia yang berkemanusiaan. Untuk itu kita harus mengetahui apanya pada manusia itu yang paling utama harus dididik. Kita harus tahu lebih dahulu hakikat manusia.
Manusia adalah makhluk Allah, karena itu hanya Allah lah yang mengetahui hakikat manusia. Di dalam al-Qur`an surat al-An’am ayat 2 dikatakan Allah menciptakan kamu dari tanah, ... namun kemudian kalian ragu. Di dalam surat al-Mukminun ayat 12-14 dikatakan sebagai berikut: Kami ciptakan manusia dari intisari tanah, kemudian Kami jadikan ia mani yang tersimpan dalam wadah kokoh, kemudian Kami jadikan mani itu segumpal darah, lalu Kami ciptakan darah itu menjadi segumpal daging dan gumpalan daging itu Kami ciptakan menjadi tulang, lantas tulang itu Kami balut dengan daging, kemudian Kami jadikan ia menjadi makhluk yang lain. Maha suci Allah, Pencipta Yang Paling Baik.
Berdasarkan ayat-ayat al-Qur`an di atas itu tahulah kita bahwa manusia itu dicipta oleh Allah; bahan manusia adalah materi yaitu tanah; manusia tidak dicipta sekaligus melainkan melalui tahap-tahap. Kemudian dijelaskan proses selanjutnya sebagai berikut: Yang telah menciptakan makhlukNya sebaik-baiknya, Ia mulai menciptakan manusia dari tanah, kemudian Ia ciptakan keturunannya dari mani yang hina, kemudian Ia sempurnakan bentuknya dan Ia hembuskan ke dalam janin itu ruhNya dan Ia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, tetapi sedikit sekali di antara kalian yang bersyukur (al-Sajadah:7-9).
Sampai di sini kita telah mengetahui bahwa manusia itu terdiri atas dua unsur yaitu unsur materi yang berasal dari tanah atau sari tanah dan unsur ruh yang immateri yang yang ditiupkan Allah. Pengertian inilah yang dibakukan dalam bahasa Indonesia bahwa manusia itu terdiri dari jasmani dan ruhani. Kelengkapan manusia ialah bila kedua unsur itu telah menyatu secara harmonis.
Di dalam al-Qur`an terdapat petunjuk yang menyatakan bahwa manusia itu memiliki dua daya yaitu daya berpikir yang berpusat di kepala dan daya merasa yang berpusat di dada.
Banyak ayat al-Qur`an yang menjelaskan adanya daya pikir, antara lain dalam surat al-Baqarah ayat 164 berikut: Sungguh pada kejadian langit dan bumi, pada pergantian malam dan siang, pada kapal yang berlayar di lautan yang membawa manfaat bagi manusia, pada air yang diturunkan dari langit dan dengan itu Ia hidupkan bumi sesudah matinya, pada binatang yang Ia sebarkan di atasnya, dan pada perkisaran angin dan awan yang terkendali antara langit dan bumi, pada semua itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang menggunakan akal.
Tanda-tanda itu mesti dipikirkan dan pemikiran itu terjadi melalui akal yang berpusat di kepala.
Ayat berikut adalah sebagian dari ayat al-Qur`an yang menjelaskan adanya rasa yang terdapat di dalam dada: Sungguh al-Qur`an diturunkan oleh Tuhan alam semesta, dibawa turun oleh ruh suci ke dalam hatimu, agar kamu memberikan peringatan (al-Syu’ara: 192-94). Tetapi Allah menjadikan kamu cinta pada iman dan menjadikannya indah dalam hatimu (al-Hujarat:7). Sungguh, bukanlah mata yang buta melainkan hati yang ada di dalam dada (al-Hajj:46).
Berdasarkan ayat-ayat yang dikutip terjemahnya di atas jelaslah bahwa manusia tersusun atas unsur jasmani dan ruhani, ruhani itu tersusun dari akal dan hati atau rasa. Jadi, ada tiga unsur manusia yaitu jasmani, akal, dan rasa.
Kekuatan yang membangun manusia ialah kekuatan jasmani, kekuatan akal atau pikir dan kekuatan rasa. Inilah hakikat manusia menurut Allah.
Daya jasmani, bila dididik dengan benar akan menghasilkan jasmani yang sehat serta kuat; akal bila dididik dengan benar akan menghasilkan akal yang cerdas serta pandai; rasa atau hati yang dididik dengan benar akan menghasilkan nurani yang tajam. Perkembangan hamonis ketiga unsur ini akan menghasilkan manusia yang utuh (kaffah).
Dalam kajian lebih lanjut ditemukan bahwa antara ketiga unsur itu ternyata unsur hati atau rasa atau kalbu itulah yang merupakan unsur terpenting pada mansusia. Ini diketahui antara lain dari salah satu sabda rasul saw yang mengatakan bahwa di dalam diri manusia itu ada segumpal daging, bila daging itu baik maka baiklah keseluruhan manusia itu dan bila daging itu jahat maka jahatlah keseluruhan manusia itu, daging itu ialah hati.
Hadis di atas mengandung pengertian bahwa hati yang dimakud di sini ialah kalbu, tempat atau pusat rasa yang ada pada manusia dan merupakan pusat kendali manusia. Jadi, bila kita bertanya apa hakikat manusia maka jawabnya adalah hatinya. Hati itulah pengendali manusia. Dari sini dapat pula kita mengetahui bahwa tujuan utama pendidikan seharusnya adalah membina manusia secara seimbang antara jasmani, akal dan kalbunya; kalbu haruslah diutamakan.
Sekarang mari kita melihat pendidikan kita. Apanya pada pendidikan kita yang ganjil? Yang kita temukan ialah pendidikan kita terlalu mengutamakan pembinaan aspek jasmani dan akal. Aspek kalbu kurang mendapat perhatian. Karena itu janganlah kaget bila kita memiliki lulusan sekolah yang sehat serta kuat jasmaninya, cerdas serta pandai akalnya, tetapi ia belum mampu juga menampilkan diri sebagai orang yang baik. Karena itulah maka masih banyak lulusan kita yang sanggup melakukan perbuatan tercela, tidak konstruktif dalam masyarakat. Mari kita soroti hal ini lebih jernih.
Pendidikan segi jasmani telah berjalan dengan baik.Untuk ini ada mata pelajaran Olah Raga dan mata pelajaran Kesehatan. Hasilnya ialah lulusan yang sehat serta kuat. Untuk aspek akal disediakan banyak sekali mata pelajaran. Ada mata pelajaran Logika, Matematika, Fisika, Biologi, dan lain-lain. Tetapi lihatlah, adakah usaha guru dengan sungguh-sungguh mengajarkan Fisika itu sampai siswa menyadari bahwa alam semesta ini beserta hukum-hukumnya adalah ciptaan Tuhan? Teori-teori sains hanya diajarkan teorinya saja secara apa adanya.
Sialnya, guru agama juga kebanyakan demikian. Yang mereka lakukan ialah mengajarkan agama agar siswa memiliki pengetahuan tentang agama. Hasilnya ialah siswa memiliki pengetahuan tentang agama, tentang Tuhan, tentang ibadah, tentang akhlak, dan sebagainya. Murid-murid memiliki pengetahuan tentang agama, bukan beragama. Siswa tahu bahwa Tuhan Maha Mengetahui, tetapi mereka tetap berani membohong, berani mencuri asal tidak diketahui orang. Mereka tahu hukum dan cara shalat tetapi mereka tidak shalat atau tidak rajin shalat. Mereka tahu jujur itu baik, tetapi banyak di antara siswa itu tidak jujur. Mereka tahu agama tetapi tidak beragama, mereka tahu iman tetapi mereka tidak beriman. Akhirnya pendidikan kita menghasilkan lulusan yang sehat kuat, cerdas pandai, tetapi tidak tinggi kemanusiaannya.
Kemanusiaan manusia ada di dalam hatinya. Hatinya itulah yang mengendalikan manusia. Karena itu pendidikan seharusnya mengutamakan pembinaan hati.
Supaya hati berkembang menjadi hati yang baik, hati itu harus berisi kebaikan. Tuhan adalah kebaikan tertinggi. Karena itu agar hati itu baik hati itu harus berisi Tuhan. Harusnya isi hati itu hanya Tuhan, atau Tuhan menjadi Raja di hati itu. Bila Tuhan telah bersemayam di hati dan Ia menjadi Raja di sana, maka hati itu akan baik. Orang yang beriman ialah orang yang hatinya berisi Tuhan dan Tuhan itu menjadi Raja di sana. Orang yang beriman dan bertaqwa seperti inilah sebenarnya yang dimaksud dalam rumusan tujuan pendidikan nasional (UU No.2/89 pasal 4).
Iman tidak bertempat di badan atau jasmani, tidak pula di pikiran atau akal. Iman itu di dalam hati. Berkata orang-orang Arab pegunungan, kami telah beriman; katakan (olehmu Muhammad), kalian belum beriman... karena iman belum masuk ke dalam hati kalian (al-Hujarat:14).
Rupa-rupanya, iman orang Arab pegunungan itu baru berada di lidah mereka atau di kepala mereka, belum masuk ke dalam hati mereka.
Iman itu di hati; ini dapat dipahami, karena hati adalah pusat kendali manusia, hati adalah inti sari manusia.
Bila manusia telah beriman berarti Tuhan telah berada di dalam hati orang itu, maka orang itu secara keseluruhan akan dikendalikan Tuhan. Inilah hakikat beriman yaitu tatkala manusia telah sepenuhnya dikendalikan Tuhan. Bila konsep itu telah dipahami maka tidak ada kemungkinan lain selain mengerahkan segenap usaha pendidikan untuk menanamkan iman di hati.
Bila hati telah dipenuhi iman, artinya, bila Tuhan telah bertahta di hati, maka isi hati itu hanyalah Tuhan, dengan sendirinya ingatan orang itu hanya Tuhan dan tidak pernah lepas dari ingat pada Tuhan. Orang itu mungkin saja suatu ketika memikirkan uang, kedudukan, atau lainnya, tetapi itu semua tidak pernah lepas dari Tuhan. Keadaan inilah yang disebut dikr (zikir), yang dimaksud ialah dzikrullah. Jadi, iman ialah zikir.
Zikir adalah suatu kondisi tatkala orang ingat pada Tuhan. Iman yang tinggi ialah bila selalu ingat pada Tuhan. Menjaga kondisi selalu zikir diperintahkan Tuhan seperti terlihat di dalam al-Qur`an surat Ali ‘imran ayat 191: ... yaitu orang-orang yang mengingat Allah tatkala berdiri, duduk, maupun berbaring. Berdiri, duduk, berbaring itu mengambarkan seluruh keadaan manusia.
Ayat itu menegaskan bahwa zikir itu harus terus menerus, dalam semua keadaan, baik keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring. Dalam surat al-Jum’ah ayat 10 ditegaskan oleh Allah agar orang beriman itu zikir sebanyak-banyaknya. Di dalam surat al-Ahzab ayat 35 dikatakan: Bagi orang-orang yang zikir kepada Allah sebanyak-banyaknya akan disediakan Allah pahala yang besar. Di dalam surat al-Ahzab ayat 41 ada juga perintah agar orang mukmin zikir kepada Allah sebanyak-banyaknya.
Ayat-ayat itu memerintah kita agar ingat kepada Allah sebanyak-banyaknya. Bila banyak ingat maka diharapkan lama kelamaan kita tidak sanggup lagi terlepas dari Allah. Dan memang berbahaya bila kita sebentar saja lupa kepada Allah. Bila lupa kepada Allah sebentar saja maka setan segera menggaet kita untuk dijadikan temannya (Hadis Riwayat ).
Uraian di atas itu menjelaskan bahwa proses penanaman iman ialah proses menjadikan hati dalam kondisi dzikrullah terus menerus sebab iman yang benar ialah dzikrullah terus menerus.
Persoalan pelik ialah cara menanamkan iman di hati, agar Tuhan bertempat di situ, tidak pergi-pergi. Peliknya ialah apa bahannya, bagaimana caranya.
Untuk mencapai kondisi dzikrullah terus menerus atau iman penuh, kita harus melaksanakan kehidupan sesuai dengan petunjuk Allah. Ini merupakan rumus umum yang dapat dioperasionalkan menjadi: Jauhi dosa besar tinggalkan dosa kecil. Rumus singkat itu dapat dirinci sebagai berikut:
(1) Tobat, yaitu berhenti berbuat dosa, besar maupun kecil;
(2) Kerjakan perintah wajib;
(3) Kerjakan perintah sunnat;
(4) Selalu zikir di luar amal-amal wajib dan sunnat itu
(5) Tinggalkan syubhat.
Kehidupan seperti inilah yang sering disebut orang sebagai kehiduan shufi. Shufi ialah orang Islam yang menjalani kehidupan menurut ajaran Tashawwuf.
Mari kita lihat masalah ini lebih rinci. Pertama, shalat. Di dalam surat Thaha ayat 14 Allah memerintahkan Dirikan shalat agar kamu mengingatKu. Jadi, shalat merupakan salah satu cara dzikrullah. Shalat wajib yang lima kali itu bila dijumlahkan ternyata hanya memerlukan waktu sekitar 50 menit (10 X 5 menit). Sisa waktu sehari semalam masih ada 23 jam 10 menit. Sisa waktu sekitar 23 jam itu harus diisi dengan dzikrullah dalam bentuk kegiatan bukan shalat. Kedua, zakat. Ini hanya sekali setahun. Ketiga puasa. Ini hanya sebulan dalam setahun, sisanya masih sebelas bulan. Bila ditambah puasa sunat Senen dan Kamis toh masih ada sisa lima hari setiap minggu. Sisa itu akan diisi apa? Keempat hajji. Ini hanya sekali seumur hidup. Jadi, bila perintah wajib sudah diamalkan semua maka sisa waktu masih amat banyak. Sisa inilah yang masih harus diisi dengan kegiatan dzikrullah. Mengapa? Karena kita harus selalu dalam keadaan zikir.
Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah dikatakan:
Seorang laki-laki bertanya kepada rasulullah saw ya rasulallah sesungguhnya syari’at Islam sudah biasa kulaksanakan, beritahu aku sesuatu yang dapat aku bergantung padanya, rasulullah saw menjawab hendaklah lidahmu senantiasa basah oleh dzikrullah.
Hadis ini memberikan penjelasan bahwa selain ibadah-ibadah khas itu tadi, waktu lowong hendaklah diisi dengan zikir dalam bentuk menyebut-nyebut Allah. Apa yang diucapkan? Ibnu Majah melaporkan hadis nabi saw yang lain yang menyatakan bahwa ucapan dzikrullah yang paling baik ialah sebutan La ila ha Illallah
Semua ibadah khas mempunyai waktu tersendiri. Bila dibandingkan dengan sisa waktu yang tersedia itu hanya sedikit sekali. Karena itu datanglah anjuran dari Allah agar orang yang telah mulai beriman kepada Allah mengisi sisa waktu yang panjang itu dengan dzikrullah seperti yang tersebut di dalam surat al-Jum’ah ayat 10, al-Ahzab ayat 35,41. Di dalam surat al-Nisa` ayat 103 Allah memerintahkan bila selesai shalat maka zikirlah baik dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring. Jadi, di luar shalat kita harus zikir. Gunanya ialah untuk memperkuat iman yang telah ada di dalam hati tadi.
Di dalam surat al-Qaf ayat 4,39, Rum ayat 17-18, dijelaskan bahwa zikir itu boleh juga dilakukan dalam bentuk membaca tasbih (Subhanallah)
Di dalam surat al-Kahfi ayat 28, al-A’raf ayat 205, Allah mencela orang yang lalai dzikrullah. Menarik sekali hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi:
Rasulullah saw berkata, janganlah kalian banyak bicara tanpa dzikrullah sebab bicara banyak tanpa dzikrullah akan menyebabkan hati menjadi hati.
yang keras, orang yang hatinya keras itu adalah orang yang jauh dari Allah.
Perlu diketahui bahwa yang selalu berusaha supaya kita lupa dzikrullah ialah setan. Ini disebut di dalam al-Qur`an surat al-Mujadalah ayat 19:
Setan menguasai mereka, lalu setan itu menjadikan mereka orang yang lupa mengingat Allah (dzikrullah). Di dalam surat al-Ma`idah begini: Sesungguhnya setan itu bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di anatara kalian (lantaran kalian meminum khamar dan berjudi) dan menghalangi kalian mengingat Allah.. Di dalam surat al-Munafiqun ayat
9 dikatakan bahwa harta benda dan anak-anak juga dapat menyebabkan kita lalai mengingat Allah: Hai orang-orang yang beriman janganlah harta dan anak-anakmu menyebabkan kamu lalai mengingat Allah. Tentang ini selanjutnya lihatlah al-Qur`an surat al-Hasr ayat 19, Thaha ayat 124, al-Zukhruf ayat 17, al-Jinn ayat 17, al-Mujadalah ayat 19, al-Zumar ayat 22.
Sampai di sini dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:
(1) Masalah besar dalam pendidikan kita memang banyak, yang terbesar ialah
pendidikan kita kurang berhasil dalam menanamkan iman, padahal iman
itu adalah pengendali manusia. Iman itu di dalam hati. Jasmani sehat
serta kuat ditambah dengan akal cerdas serta pandai, amat berbahaya bila
tidak dikendalikan oleh hati yang penuh oleh iman.
(2) Hati harus dibina dengan cara menanamkan iman di hati itu, cara ialah
dengan cara menempatkan Tuhan di hati itu dan mengusahakan agar hati
itu dipenuhi Tuhan. Tuhan itu kebaikan, bila Tuhan berada di hati maka
hati itu akan baik.
(3) Iman yang semurna ialah bila seseorang selalu berada dalam keadaan
dzkrullah.
(4) Dzikrullah itu dilakukan dalam bentuk pengamalan rukun Islam yang
wajib, sisa waktu diisi sepenuhnya dengan mengamalkan yang sunnat,
sisanya diisi dengan amal dalam bentuk menyebut-nyebut (nama) Allah,
dengan lidah atau pun hanya dengan hati.

MENJADIKAN MADRASAH SEKOLAH UMUM UNGGULAN

Oleh: A.Tafsir

Kata madrasah sudah sangat umum dikenal baik oleh komunitas muslim maupun non-muslim. Dalam pemakaiannya sehari-hari kata madrasah digunakan untuk menunjuk berbagai lembaga pendidikan. Anak-anak yang pergi mengaji ke mesjid di sore hari sering disebut akan ke madrasah. Ibu-ibu yang akan mengaji di majlis ta’lim sering juga menyebut dirinya akan ke madrasah. Ada juga yang lebih mapan yaitu istlah madrasah diniyah. Kata madrasah diniyah ini dahulu sangat dikenal di daerah Minangkabau. Dahulu, di sana ada madrasah yang sangat terkenal yaitu Madrasah Diniyah Putri Padangpanjang. Yang akan dibicarakan dalam tulisan ini adalah madrasah sebagai sekolah umum.
Madrasah artinya sekolah. Maka ada kawan saya yang memang tidak paham, ia mengatakan bahwa anaknya sekolah di madrasah, tentu yang lain dapat saja mengatakan “anak saya sekolah di sekolah.”
Madrasah yang paling popular sekarang adalah sekolah umum yang berciri khas Islam, terdiri atas Madrasah Ibtida`iyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah. . Berikut ini dibicarakan definisi madrasah tersebut, perhatian masyarakat terhadap madrasah itu, dan bagaimana menjadikan madrasah tersebut sebagai sekolah umum unggulan.
Istilah madrasah sebagai sekolah umum muncul mula-mula dalam undang-undang tentang system pendidikan nasional (UUSPN) nomor 2 tahun 1989. Di situ dikatakan bahwa madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas agama Islam. Dalam UUSPN nomor 20 tahun 2003, yang berlaku sekarang, definisi madrasah seperti dalam UU No.2/89 tidak muncul, penggantinya ialah teks yang menyebutkan bahwa Madrasah Ibtida`iyah sama dengan SD, Madrasah Tsanawiyah sama dengan SMP, Madrasah Aliyah sama dengan SMA. Teks ini sebenarnya sama esensinya dengan teks dalam UU sebelumnya.
Sejak berlakunya UU No.2/89 (dilanjutkan dalam UU No.20/2003) di Indonesia ini kita mengenal dua macam sekolah umum, yaitu sekolah dan madrasah. Sekolah terdiri atas SD-SMP-SMA, madrasah terdiri atas Ibtida`iyah-Tsanawiyah-Aliyah.
Sekolah umum lawannya bukan sekolah khusus; sekolah umum itu lawannya ialah sekolah kejuruan; jadi di kita ada sekolah umum dan ada sekolah kejuruan yang disebut Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Kalau dilihat isi programnya (kurikulumnya), sekolah umum itu, yaitu sekolah dan madrasah, sebenarnya hanya sampai SMP. Di SMA sudah ada jurusan-jurusan. Kurikulum SD sampai SMP sama saja dengan kurikulum Ibtida`iyah sampai Tsanawiyah. Tetapi jurusan yang ada di SMA dan Aliyah tidak dapat disebut sebagai sekolah kejuruan, SMA dan Aliyah tetap disebut sekolah umum. Istilah sekolah umum kelihatannya lebih menunjuk ke pendidikan akademik, katakanlah penguasaan teori, sedangkan seolah kejuruan lebih menunjuk ke penguasaan keterampilan.
Tatkala madrasah dikenalkan pada tahun 1990, yaitu tatkala UU No.2/89 mulai berlaku, banyak sekali pendapat beredar dalam masyarakat yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap madrasah. Itu disebabkan jam pelajaran agama di madrasah tersebut sama dengan jam pelajaran agama di sekolah, yaitu dua jam pelajaran setiap minggu. Ada anggota masyarakat berkata “namanya madrasah, tetapi jam agamanya kok hanya dua jam.” Kalimat itu sebenarnya merupakan kekecewaan. Akibatnya ialah muncul pandangan dalam masyarakat bahwa menyekolahkan anak ke madrasah sama saja dengan menyekolahkan anak ke sekolah. Akibat selanjutnya ialah madrasah relatif kekurangan murid sementara sekolah tetap kebanjiran murid.
Madrasah adalah sekolah umum. Ya, ini benar. Lantas di mana bedanya sampai ia harus disebut madrasah? Bedanya ialah pada kekhasan system. Madrasah ialah sekolah umum yang berciri khas Islam. Inilah kalimat kunci untuk memahami madrasah sebagai sekolah umum. Jadi, Ibtida`iyah ialah SD islami, Tsanawiyah ialah SMP islami, Aliyah ialah SMA islami. Itulah sebabnya kita mengatakan bahwa perbedaan madrasah dan sekolah terletak pada sistemnya. Jika sekolah adalah lembaga pendidikan umum yang sistemnya bukan islami, sementara madrasah adalah lembaga pendidikan yang sistemnya islami. Artinya, segala sesuatu di madrasah haruslah islami. Teori-teori ilmu yang diajarkan haruslah islami, tata tertib madsarah harus islami, pergaulan di madrasah haruslah islami, berpakaian, berkata, segala kelakukan, haruslah islami. Jadi, jam pelajaran agama sebenarnya sekitar 48 jam pelajaran perminggu, bukan dua. Yang dua jam itu ialah jam pelajaran untuk memperoleh pengetahuan agama Islam. Inilah yang pertama-tama yang kurang dipahami selama ini. Yang kedua, yang kurang dipahami, ialah tujuan pendidikan agama di madrasah bukanlah untuk menguasai keahlian, bukan untuk menjadi ahli agama. Madsarah itu sekolah umum, sama dengan sekolah, bedanya “hanyalah” keberagamaan murid madrasah diharap lebih baik dari pada murid sekolah. Itu diharapkan muncul dari tradisi sehari-hari yang islami itu tadi.
Nah, untuk yang nantinya ingin mendalami pengetahuan agama, disediakan jurusan agama sejak kelas dua Aliyah. Tetapi jurusan ini kurang laku karena jurusan ini membatasi murid dalam memilih fakultas di perguruan tinggi. Sebagai contoh, tamatan Aliah jurusan agama diterima masuk fakults Syari’ah di PTAI, jurusan lain pun diterima, bahkan yang dari SMA juga diterima. Mengapa? Karena di fakultas Syari’ah kuliah agama itu dimulai dari awal.
Dilihat dari segi model desain, sebenarnya system madrasah lebih baik dari pada sekolah karena pengetahuan umum yang diberikan di madrasah sama dengan yang diberikan di sekolah, pengetahuan agama jumlah jamnya sama dengan yang diberikan di sekolah, kelebihannya terletak pada sistemnya. Madrasah menganut system islami, yaitu segala program kurikuler maupun non-kurikuler di madrasah (seperti disebut di atas tadi) haruslah islami. Kita harapkan lulusan madrasah itu pengetahuan umumnya sama dengan lulusan sekolah tetapi tingkat keberagamaannya lebih baik. Untuk mudahnya begini: lulusan Aliyah itu sama dengan lulusan SMA tetapi dengan akhlak yang lebih baik. Gambaran umumnya ialah: Lulusan Aliyah itu pengetahuan umumnya sama dengan lulusan SMA, tetapi mereka tidak mabuk dan tidak tawuran.
Ketinggian akhlak inilah sebenarnya nilai lebih madrasah. Karenanya madrasah dapat disebut sekolah plus. Pada tahun 1990 saya pernah meramal, jika madrasah dijalankan dengan benar, maka kelak SD-SMP-SMA itu akan kehabisan murid. Ramalan saya itu telah terbukti pada tingkat SD. Di beberapa daerah banyak SD yang tidak kebagian murid tetapi Ibtida`iyah di dekatnya kebanjiran murid. Ramalam saya itu belum terbukti untuk tingkat Tsanawiyah dan Aliyah, sekalipn memang pada kenyataannya semakin banyak Tsanawiyah dan Aliyah yang meningkat peminatnya. Ya, tetapi kenapa orang-orang muslim masih banyak yang kurang berminat memasukkan anaknya ke madrasah?
Pertama, ada beberapa murid muslim yang enggan berkehidupan secara muslim yang diterapkan di madrasah. Anak-anak perempuan muslim mungkin keberatan masuk madrasah karena peraturan berpakaian muslimah yang dirasa terlalu ketat. Pergaulan bebas antara siswa putra dan siswa putri memang sangat ketat di madrasah, hal itu sedikit longgar di sekolah. Ini dapat saja menjadi penyebab murid enggan masuk madrasah. Mungkin juga ada anggapan masuk madrasah berarti telah mengumumkan keberpihakan, sementara masuk sekolah dianggap netral. Tetapi penyebab yang paling utama ialah karena mutu pendidikan umum di madrasah secara rata-rata memang masih di bawah sekolah.
Kunci menjadikan madsarah sebagai sekolah umum unggulan yang dijadikan rebutan calon murid ialah peningkatan mutu mata pelajaran umum, khususnya Bahasa Inggeris dan MIPA. Jika pada mata pelajaran umum (khususnya Bahasa Inggeris dan MIPA) sudah setingkat dengan sekolah terbaik di satu kota, maka orang tua di kota itu akan berebut memasukkan anaknya ke madrasah. Tetapi bila sudah muncul madrasah seperti itu, dan sekarang sudah ada beberapa, hendaknya pengelola madrasah janganlah lupa kata kuncinya: orang-orang berebut menyekolahkan anaknya ke madrasah karena dua hal (1) karena mutu pendidikan umumnya setingkat dengan sekolah terbaik, dan (2) madrasah menjamin anaknya tidak nakal.
Tidak nakal adalah sebagian sifat akhlak karimah. Jadi, pembinaan akhlak adalah kata kunci juga untuk menarik minat orang tua menyekolahkan anaknya ke madrasah. Akhlak karimah itu fondasinya ialah iman, bahkan sulitlah dibedakan mana akhlak dan mana iman. Iman yang kuat akan menghasilkan akhlak yang karimah. Akhlak yang baik adalah pertanda iman yang kuat. Karena itu praktek kehidupan yang dapat memperkuat iman sangat perlu di madrasah.
Penanaman iman (dan akhlak) bukanlah hal pengajaran. Bercermin pada para nabi dan ulama pemimpin umat, penanaman iman dan peningkatan akhlak selalu dilakukan dengan pembiasaan, peneladanan, serta pemotivasian.
Mengapa orang tua murid memasukkan anaknya ke madrasah? Satu di antara alasannya ialah karena madrasah menjamin anaknya tidak akan nakal. Ini tantangan bagi pengelola madrasah. Inilah plusnya madrasah. Dari segi desain system tuntutan itu dapat dipenuhi oleh madrasah. Yang masih menjadi persoalan ialah apakah pengelola madrasah bena-bena telah memahami visi dan misi madrasah dan telah memahami pula hakikat madrasah?
Orang tua tidak ingin anaknya nakal karena beberapa alasan yang dapat dipahami. Pertama, anak nakal itu kesehatan fisik dan psikisnya rawan; misalnya saja bila ia sering keluar malam, kesehatannya akan terancam. Kedua, anak nakal itu biayanya mahal, coba saja kalau ia ngebut lantas nabrak, kan mahal biayanya, memperbaiki motor, berobat bila terluka atau patah; bila ditangkap polisi karena menabrak jelas orang tuanya akan mengeluarkan biaya. Bila Anda miskin sebaiknya jangan punya anak nakal. Anak nakal itu biayanya besar. Ketiga, anak nakal itu akan menurun kemampuan belajarnya, teorinya: semakin nakal anak semakin merah rapornya. Ini mudah dipahami. Karena kenakalannya itu pikirannya tidak focus; karena kenakalannya itu ia tidak sempat mengerjakan tugas-tugas dari sekolah. Keempat, orang tua malu bila anaknya nakal. Jadi, masuk akal bila orang toa tidak ingin punya anak nakal. Nah, madrasah dapat memberikan jaminan itu, bila madrasah dioperasikan dengan benar.

MADRASAH YANG TERMARGINALISASI

Oleh: Ahmad Tafsir
Melanjutkan tulisan Mas Supriyoko dalam Pikiran Rakyat Bandung
18 September 2001

Pada tahun 1970an saya beberapa hari dalam seminggu ikut membantu beberapa pekerjaan ringan di Departemen Agama di Jakarta yaitu di Balitbang Agama. Suatu waktu, setelah capek bekerja, biasanya bos-bos ngumpul, saya ikut juga, biasanya ngobrol-ngobrol. Salah seorang bos ketika itu bertanya kepada saya “Pak Tafsir, mungkin tidak di Indonesia ini diadakan Sekolah Dasar Islam Negeri (SDIN), Sekolah Menengah Pertama Islam Negeri (SMPIN) dan Sekolah Menengah Atas Islam Negeri (SMAIN).” Waktu itu saya masih muda (28 tahun), pengetahuan sudah agak banyak karena saya senang membaca tetapi pengetahuan itu masih kacau, belum bersistem. Saya katakan dengan nada yang rata “Tidak mungkin karena negara kita menganut sistem yang tunggal.” Lalu bagaimana, kata mereka. Kata saya, masukkan saja ke SD-SMP-SMA berbasis Islam seperti SD-SMP-SMA Muhammadiyah, SD-SMP-SMA NU atau yang berbasis Islam lainnya. Mereka mengatakan bahwa hal itu beresiko bagi kami sebagai pejabat negara, nanti ada yang menuduh kami memihak pada salah satu golongan.

Sejak diberlakukannya UU No.2/1989 (tentang sistem pendidikan nasional) kita memiliki dua macam sistem pendidikan umum. Pertama sistem sekolah dan kedua sistem madrasah. Sebenarnya madrasah itu artinya sekolah. Sistem sekolah ialah sekolah umum yang umum yaitu jenjang SD-SMP-SMA (saya pakai nama lama) sedangkan sistem madrasah ialah sekolah umum yang berciri khas Islam yaitu jenjang Ibtida`iyah-Tsanawiyah-‘Aliyah. Sekolah umum berciri khas Islam ialah sekolah umum yang islami. Jadi Ibtida`iyah itu sama dengan Sekolah dasar Islam (SDI), Tsanawiyah itu sama dengan SMPI, ‘Aliyah sama dengan SMAI; jika milik pemerintah maka Madrasah Ibtida`iyah Negeri (MIN)=SDIN, Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN)=SMPIN, dan Madrasah ‘Aliyah Negeri (MAN)=SMAIN.
Peristilahan di atas itu memang perlu dijelaskan karena masih ada orang yang menyangka MI atau Mts atau MA sekarang ini sama dengan MI atau MTs atau MA yang lama yang sudah kita bubarkan itu. MI-MTs-MA yang lama bukanlah sekolah umum, sedangkan MI-MTs-MA yang sekarang adalah sekolah umum, tetapi sekolah umum berciri khas Islam sedangkan SD-SMP-SMA adalah sekolah umum yang berciri khas umum. Inilah yang saya maksud “kita memiliki dua sistem” tadi. Dahulu kita memiliki satu macam sistem saja yaitu sekolah umum jenjang SD-SMP-SMA. Mengapa tidak cukup satu macam sistem sekolah umum saja seperti dahulu? Karena umat Islam yang mayoritas ini memerlukan sekolah umum yang islami.
Uraian di atas itu hanya mengenai peristilahan saja. Tidak penting. Yang penting ialah uraian berikut ini.
Kira-kira pada tahun 1991 atau 1992 saya diminta menguraikan makna “berciri khas Islam” yang ada pada madrasah, di hadapan pejabat-pejabat Departemen Agama se Jawa Barat. Ya, saya uraikan. Tentu cukup panjang uraian saya itu. Beberapa konsep saja yang saya bicarakan dalam tulisan ini.
Dalam uraian itu saya mengatakan “Dilihat dari segi model untuk sekolah umum, madrasah ini merupakan model sekolah umum terbaik yang kita miliki sekarang.” Model ini lebih baik dari pada model sekolah umum yang umum. Maksud saya model MI-MTs-MA itu lebih baik dari pada model SD-SMP-SMA. Nah, banyak pejabat yang hadir waktu itu yang tidak menyetujui pernyataan saya itu. Saya dapat memahami ketidaksetujuan mereka. Saya juga tidak menyekolahkan anak-anak saya di MI-MTs-MA. Saya menyekolahkan anak-anak saya di SD-SMP-SMA. Berikut adalah pembuktian sederhana bahwa MIN-MTsN-MAN lebih baik dari pada SDN-SMPN-SMAN.
Tokoh-tokoh Yunani Lama kira-kira 600 tahun SM telah merumuskan bahwa tugas utama pendidikan ialah membantu manusia menjadi manusia. Untuk menghasilkan manusia seperti itu ada tiga tugas pokok pendidikan. Pertama, membantu murid agar memiliki kemampuan mengendalikan diri. Jadi, tugas pokok pertama ini adalah pengendalian diri. Di kita pengendalian diri ini sama atau mirip sekali dengan akhlak. Tugas pokok pertama itu adalah pendidikan akhlak, bukan pendidikan budi pekerti. Kedua, membantu murid agar menjadi manusia yang mencintai tanah air. Di kita, tugas ini mirip benar dengan pendidikan civic. Manusia harus memakmurkan alam tempat tinggalnya. Konsep ini kira-kira sama dengan filsafat I Ching tentang hubungan manusia dengan alam. Ketiga, membantu manusia agar memiliki pengetahuan. Orang Yunani Lama amat menghargai pengetahuan teoritis terutama filsafat, mereka kurang mengharagai keterampilan.
Sekolah-sekolah kita sekarang, baik di Barat maupun di Timur, telah amat menyempitkan missi pendidikan, sudah menjadi jauh lebih sempit dari pada missi yang dianjurkan oleh orang Yunani Lama itu. Sekarang missi pendidikan kadang-kadang telah menyempit menjadi sekedar ahli dagang, ahli menghitung, ahli membius, ahli membedah, ahli membuat obat, ahli mengoperasikan komputer, bahkan hanya ahli ngelas.
Keahlian-keahlian itu harus diakui memang diperlukan, bahkan keahlian itu boleh lebih menjurus lagi. Tetapi, mestinya yang paling utama ialah mendidik murid itu menjadi manusia lebih dahulu. Kita menginginkan manusia ahli dagang, manusia ahli hitung, manusia ahli membuat obat, manusia ahli ngelas. Jadi, yang utama dan pertama, pendidikan harus menjadikan manusia itu manusia.
Bila teori orang Yunani Lama itu kita gunakan untuk membandingkan sistem madrasah dan sistem sekolah pada persekolahan kita, barangkali kita menemukan keadaan kasar sebagai berikut: madrasah banyak berhasil dalam akhlak dan civic, banyak gagal dalam missi pengetahuan; sekolah banyak gagal dalam missi akhlak dan civic dan banyak berhasil dalam missi pengetahuan. Bila dipindahkan ke dalam matrik, kira-kira begini:

Akhlak Civic Pengetahuan
Madrasah (MI-MTs-MA) + + -
Sekolah (SD-SMP-SMA) - - +

Matrik di atas tentu saja amat kasar bahkan cenderung gegabah. Tetapi, bila kita jadikan mabuk dan tawuran sebagai indikator kegagalan pendidikan akhlak, mencoret coret tembok dan membuang sampah sebarangan sebagai indikator kegalan pendidikan civic, dan prestasi dalam UMPTN sebagai indikator keberhasilan pendidikan pengetahuan, kiranya isi matrik di atas sulit juga untuk ditolak begitu saja.
Pemikiran seperti di atas inilah yang menyebabkan saya berani mengatakan “Bila pemerintah ingin memperbaiki sekolah, sementara uangnya hanya sedikit, sebaiknya didahulukan madarsah. Pertama, jumlah madrasah tidak sebanyak sekolah; kedua, kekurangannya tidak separah sekolah. Kekurangan madrasah hanyalah pada Bahasa Inggeris dan MIPA. Proyeknya: penambahan jumlah dan mutu guru Bahasa Inggeris dan MIPA dan pengadaan peralatannya. Amat sederhana. Mudah dihitung, mudah dirancang, mudah dilaksanakan, mudah dievaluasi. Cobalah bandingkan dengan kekurangan yang terdapat pada sekolah. Bagaimana menghitung, merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi proyek untuk meningkatkan mutu pendidikan akhlak dan civic di SD-SMP-SMA?
Di sinilah saya melihat bagian yang paling penting dalam artikel Mas Supriyoko dalam koran Pikiran Rakyat tanggal 18 Setember 2001. Dia melihat bahwa biaya untuk peningkatan madrasah lebih kecil dari pada biaya untuk peningkatan sekolah. Padahal mestinya lebih besar. Saya yakin negara ini masih dapat dibangun menjadi negara besar dengan kemanusiaan yang tinggi bila diperbanyak madrasah dan ditingkatkan mutunya dan sekolah diubah sistemnya seperti (sekali lagi seperti) madrasah.

MANAJEMEN PENDIDIKAN MENUJU MADRASAH YANG POPULIS

Oleh: A. Tafsir


Dalam sebuah sekolah, madrasah, atau satuan kerja apa pun, manajemen yang baik diperlukan, terutama oleh pemimpin satuan kerja itu. Dalam hal madrasah, kepala madrasah adalah orang yang paling penting memiliki manajemen yang efektif. Karena itu pembahasan berikut ini ialah tentang manajemen kepala madrasah.
Salah satu tugas kepala madrasah ialah “menjual” madrasah agar sebanyak mungkin orang tua murid tamatan SD atau Ibtida`iyah memasukkan anaknya ke Tsanawiyah. Yang dimaksud dengan “menjual” ialah mempromosikan. Tidak hanya komoditi dagang yang perlu dipromosikan, program juga perlu dipromosikan. Kepala madrasah harus menjelaskan (dengan berbagai cara) kepada orang tua calon murid apa keunggulan madrasah termasuk Madrasah Tsanawiyah, dengan itu orang tua calon murid mengetahui apa untungnya mereka menyekolahkan anaknya di Madrasah Tsanawiyah. Anda perlu mempromosikan; Anda tidak boleh menganut filsafat emas: emas tidak perlu dipromosikan, emas adalah emas, di manapun tempatnya, apapun pembungkusnya orang pasti tahu bahwa itu adalah emas.
Dalam medesain manajemen madrasah (termasuk Madrasah Tsanawiyah), hal-hal berikut ini perlu sekali dipertimbangkan: (1) hakikat madrasah, (2) tujuan madrasah, (3) program pendidikan madrasah, (4) proses pendidikan di madraah, (5) evaluasi hasil pendidikan madrasah.
(1) Hakikat Madrasah
Kata madrasah menjadi kata yang lebih terkenal karena kata ini ada di dalam UU No.2/1989 tentang sisdiknas. Di situ dikatakan bahwa madrasah ialah sekolah umum berciri khas agama Islam. Sejak UU itu diberlakukan kita mengenal dua macam sekolah umum yaitu sekolah dan madrasah. Sekolah ialah sekolah umum yang terdiri atas SD, SMP, SMA/SMK sementara madrasah ialah sekolah umum yang terdiri atas MI, MTs, dan MA/MAK Tidak ada perbedaan antara sekolah dan madrasah baik pada tujuan maupun kurikulumnya; perbedaannya terletak pada system. Madrasah memakai system islami sedangkan sekolah memakai system -mungkin- pancasilais.
Oleh karena itu di dalam UU Nomor 20/2003 dikatakan bahwa Madrasah Ibtida`iyah itu sama dengan SD; Madrasah Tsanawiyah itu sama dengan SMP; Madrasah Aliyah itu sama dengan SMA; definisi madrasah seperti yang disebut dalam UU No.2/89 tidak ada dalam UU No.20/2003. Karena perbedaan hanya pada system maka kita dapat mengatakan bahwa MI itu sama dengan SDI; Mts itu sama dengan SMPI; MA itu sama dengan SMAI. MIN itu sama dengan SDIN; MtsN itu sama dengan SMPIN; MAN itu sama dengan SMAIN.
Kurikulum madrasah dan sekolah persis sama; termasuk jam pelajaran agama yaitu sama-sama dua jam. Dan jam agama ini jangan ditambah. Lantas mengapa disebut madrasah bila sama? Yang tidak sama ialah sistemnya seperti disebut di atas tadi. Di Madrasah itu semuanya harus islami, berpakaian islami, berkata-kata islami, peraturan-peraturan harus islami, pergaulan sehari-hari islami, pelaksanaan ibadah harus islami, teori-teori pengetahuan yang diajarkan harus pula islami. Pokoknya madrasah itu adalah sekolah islami.
(2) Tujuan Pendidikan Madrasah
Tujuan pendidikan di madrasah sama dengan di sekolah. Karena sistemnya islami maka murid-muridnya harus menjadi muslim yang sempurna. Bila disederhanakan maka tujuan pendidikan madrasah sama dengan tujuan sekolah tetapi dengan keimanan yang tahan banting. Masih sering orang mengatakan kalau anak sekolah nakal, hal itu biasa; tetapi anak madrasah tidak boleh nakal, karena system islami itu tidak mungkin memberi peluang muridnya nakal. Jadi, murid tamatan MA mutunya sama dengan murid tamatan SMA tetapi dengan keimanan yang tahan banting. Murid tamatan MTs sama dengan murid tamatan SMP tetapi dengan keimanan yang tahan banting.
(3) Program
Untuk mencapai tujuan itu, yaitu penguasaan pengetahuan dan keterampilan umum sama dengan sekolah plus keimanan yang tahan banting, perlu disediakan program (kurikulum dalam pengertian luas) yang sesuai. Kurikulum umum (pengetahuan umum dan keterampilan umum) sekurang-kurangnya sama dengan kurikulum sekolah, lebihnya ialah di madrasah harus ditambah dengan kurikulum untuk menanamkan keimanan sehingga tercapai tujuan berkeimanan yang tahan banting tadi.
Jam pelajaran agama cukup dua jam. Ya, sama dengan di sekolah. Bahasa Inggeris dan Matematika sebaiknya ditambah masing-masing 1 jam pelajaran lebih banyak dari pada yang ada di sekolah. Itu dengan cara menambah jam pelajaran dua jam setiap minggu, bukan dengan mengurangi jam mata pelajaran lain, dan bukan dengan mengurangi lamanya jam pelajaran. Penambahan 1 jam pelajaran itu dilakukan sementara madrasah masih terpaksa menerima murid yang mutunya kurang bagus.
(4) Proses
Proses pendidikan di madrasah sama saja dengan di sekolah. Perbedaannya ialah kegiatan penanaman iman di madrasah berlangsung sepanjang hari plus kerjasama dengan orang tua murid secara intensif.
Penanaman keimanan itu tidak dapat dilakukan melalui proses pengajaran kognitif; penanaman keimanan itu dilakukan melalui peneladanan, pembiasaan, pemotivasian, mungkin melalui penegakan hukum dan sebagainya. Kesemuanya teknik itu dirangkum dalam metode internalisasi. Metode internalisasi itu metode yang tepat untuk menanamkan iman yang kuat. Yang meneladankan, membaiasakan, memotivasi, dan lain-lain itu ialah kepala sekolah, semua guru, semua pegawai sekolah, tukang sapu, penjaga sepeda, juga ibu-ibu yang berjualan di kantin sekolah; di rumah peneladan itu dilakukan terutama oleh ayah dan ibu murid itu.
Mungkin ada orang yang belum tahu bahwa pendidikan keimanan dan ketakwaan itu sebenarnya adalah tugas Diknas, pengajaran agama dilakukan oleh Depag atas nama Diknas. Jadi, adalah wajib hukumnya seluruh aparat Diknas, terutama yang ada di sekolah itu untuk melaksanakan pendidkan keimanan dan ketakwaan.
(5) Evaluasi
Evaluasi hasil pendidikan di madrasah sama juga dengan yang di sekolah. Perbedaan mungkin terletak pada evaluasi hasil penanaman iman. Dalam garis besarnya evaluasi hasil pendidikan keimanan itu dilakukan dengan portofolio; penilaian dilakukan secara terus menerus (progressive assessment).
Bila madrasah dimanej seperti itu sudah dapat dipastikan akan banyak murid yang masuk madrasah. Pada tahun 1990 saya pernah meramal bahwa bila madrasah itu dimanej dengan baik maka SD, SMP, SMA itu nanti akan bubar, muridnya akan pindah ke madrasah, atau akan kekurangan muird sementara madrasah akan kebanjiran murid. Ramalan saya itu telah banyak buktinya; sudah banyak SDN yang kekurangan murid bahkan tidak dapat murid sama sekali sementara MI di dekatnya kebanjiran murid. Sudah semakin banyak MA yang menjadi pilihan pertama sebelum SMAN, jadi MAN sebagai pilihan pertama.
Mengapa madrasah lebih baik dari pada sekolah? Karena madrasah dapat menjamin muridnya tidak nakal. Bila prestasi di bidang pengetahuan umum sama dengan sekolah, apalagi lebih baik, sementara kenakalan lebih kecil kemungkinannya di madrasah, tentu saja orang tua murid akan memasukkan anaknya ke madrasah. Tidak ada orang tua murid yang ingin anaknya nakal. Jadi kuncinya ialah: mutu pendidikan umum sama dengan sekolah, lebihnya ialah ada jaminan tidak nakal. Bisakah? Harus, karena madrasah itu ialah sekolah islami; MI itu adalah SD Islami; Mts itu adalah SMP Islami, MA itu adalah SMA Islami. Harus bisa. Itulah cara menjual madrasah, itulah cara mempromosikan madrasah. Ya, itu memerlukan manager yang hebat. Siapa manager itu? Kepala sekolah.

Senin, 14 Juli 2008

KESATUAN PENGETAHUAN DALAM ISLAM

Oleh: Ahmad Tafsir
Makalah Disajikan pada Seminar Nasional Tauhid Ilmu yang Diselenggarakan Oleh
Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Bandung, 29-30 November 1999


Yang dimaksud dengan “tauhid ilmu” ialah kesatuan pengetahuan. Dalam pandangan kesatuan pengetahuan, pengetahuan itu satu tidak dikotomis. Berikut ini dibahas secara ringkas dasar filosofis kesatuan pengetahuan, definisi dikotomi agama-umum, dan bagaimana kesatuan pengetahuan itu dalam pendidikan.

Kesatuan Pengetahuan
Sebenarnya manusia itu tidak memiliki pengetahuan sama sekali. Yang memiliki pengetahuan hanyalah Allah. Lantas Allah menggelarkan dua sumber pengetahuan yaitu al-Qur`an dan alam. Dengan membaca al-Qur`an manusia memperoleh bermacam-macam pengetahuan, dengan membaca alam manusia juga memperoleh pengetahuan yang banyak.
Pengetahuan yang berasal dari al-Qur`an itu tidak mungkin berlawanan dengan pengetahuan yang berasal dari alam. Pengetahuan yang berasal dari al-Qur`an adalah pengetahuan yang benar karena berasal dari Yang Selalu Benar, pengetahuan yang berasal dari alam juga pengetahuan yang benar karena juga berasal dari Yang Selalu Benar. Tidak mungkin -misalnya- pengetahuan dari al-Qur`an mengatakan riba halal sementara pengetahuan dari alam (dalam hal ini ilmu ekonomi) mengatakan riba boleh. Itu tidak mungkin karena tidak ada pertentangan dalam pengetahuan Tuhan. Pengetahuan Tuhan itu sangat banyak dan tidak satu pun pengetahuaNya itu yang saling berlawanan.


Allah

al-Qur`an Alam

Bermacam-macam Bermacam-macam
Pengetahuan (A) Pengetahuan (B)

A tidak mungkin berlawanan dengan B, baik seluruhnya maupun unsurnya.


Definisi Dikotomi Agama-Umum
Sudah agak umum orang menyebut ilmu agama-ilmu umum, ulama-sarjana dan sebutan lainnya yang senada dengan itu. Orang mengatakan bahwa itu adalah pandangan dikotomi. Agar tidak dianggap menganut dikotomi orang tidak mau menyebut guru agama-guru umum. Lalu orang menyebutnya guru agama guru-non agama, guru agama-guru bukan agama. Sebenarnya bila kita menyebut guru agama-guru umum, tidak mengapa, itu bukan pertanda kita berpaham dikotomi. Sebutan guru agama-guru umum, justru sudah benar. Kata “agama” dan kata “umum” di situ hanya penamaan, hanyalah nominasi.
Dikotomi agama-umum itu adalah pandangan atau paham dalam filsafat pengetahuan. Bila orang menganggap agama itu tidak boleh disatukan atau tidak boleh dicampurkan atau tidak boleh dihubungkan atau tidak boleh dikaitkan dengan agama, maka orang itu adalah penganut paham dikotomi agama-umum. Atau, orang yang berpendapat bahwa ajaran agama tidak boleh dinilai oleh teori pengetahuan umum, orang itu adalah juga penganut dikotomi agama-umum alias penganut paham sekuler. Kata lain untuk paham dikotomi agama-umum ialah paham sekuler. Jadi, penganut dikotomi sebenarnya adalah penganut paham sekuler.

Bagaimana Kesatuan Pengetahuan itu dalam Pendidikan
Dalam pendidikan yang harus kita ajarkan adalah pengetahuan yang tidak dikotomis. Pengetahuan yang terdikotomis berbahaya diajarkan. Bila pengetahuan yang terdikotomis itu berlawanan dan lantas kita ajarkan maka ada dua bahayanya. Pertama pasti salah satu yang salah atau kedua-duanya salah, berarti kita pasti mengajarkan pengetahuan yang salah. Kedua, pelajar yang memperoleh pengetahuan seperti itu akan terbelah kepribadiannya (split personality).
Agar kita tidak mengajarkan pengetahuan yang saling berlawanan, maka sebelum diajarkan teori pengetahuan umum yang hendak kita ajarkan itu diperiksa lebih dahulu apakah berlawanan dengan ajaran agama atau tidak. Dan sebaliknya, ajaran agama yang hendak diajarkan seharusnya kita periksa lebih dahulu apakah tidak berlawanan dengan teori pengetahuan umum yang sudah pasti benarnya.

URGENSI PENDIDIKAN AKHLAK DI SEKOLAH: PENDEKATAN FILSAFAT

Oleh: A. Tafsir


Di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung yang dahulu disebut IKIP Bandung ada jurusan atau program studi bernama Program Studi Pendidikan Umum (PU), satu-satunya program studi (prodi) yang ada di Indonesia. Prodi ini ada pada jenjang S2-S3 Sekolah Pascasarjana UPI Bandung.
Yang diajarkan dan diperdalam pada program studi (prodi) ini ialah pendidikan nilai, karena itu Prodi PU sering disebut Prodi Pendidikan Nilai. Apa yang dimaksud prodi ini dengan istilah nilai?
Nilai adalah harga. Sesuatu berharga tinggi karena ia bernilai tinggi. Seseorang dihargai karena ia memiliki nilai atau karena ia bernilai. Emas berharga tinggi karena nilainya tinggi. Buktinya, banyak orang menyimpan uang dalam bentuk emas. Emas gampang diuangkan karena ia memiliki nilai tinggi.
Dalam filsafat dikenal ada tiga macam nilai, ini sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno sekitar tahun 500an SM. Pertama nilai benar salah, kedua nilai baik buruk dan ketiga nilai indah tidak indah.
Nilai benar salah ialah nilai yang diukur dengan logika, turunannya ialah nilai-nilai (sebenarnya teori-teori) dalam ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu social. Orang sering mengatakan bahwa nilai benar salah itu ialah nilai ilmu. Nilai baik buruk ialah nilai yang melekat pada tingkah laku manusia, tidak pada selain manusia. Dalam filsafat nilai ini disebut Etika. Etika itu di situ berarti Budi Pekerti. Budi pekerti yang dibuat berdasar akal dan adat istiadat disebut Etika; sementara Budi Pekerti yang dibuat berdasar agama di sebut akhlak. Adapun nilai indah tidak indah, inilah yang disebut nilai Estetika, yaitu nilai seni. Itu biasanya ada pada suara (misalnya nyanyian), pada gerak (misalnya tarian), atau pada benda mati seperti lukisan dan pahatan. Ada juga pada susunan kata dan atau kalimat, misalnya puisi. Jadi, ada tiga macam nilai yaitu nilai Logika, nilai Etika, dan nilai Estetika.
Nilai yang dikembangkan pada prodi PU adalah nilai Etika. Di sana berkembang nilai Etika (dalam arti Budi Pekerti) baik yang Etika (nilai berdasarkan akal dan adat) maupun Akhlak (nilai yang berdasarkan agama). Pembahasan ini hanya mengenai Akhlak dan hanya hendak memberikan landasan filsafat tentang perlunya pendidikan akhlak di sekolah.
Perlukah pendidikan akhlak di sekolah? Untuk menjawab pertanyaan ini cobalah renungkan argumen berikut.
Orang Yunani, kira-kira 600 tahun SM telah menyimpulkan bahwa manusia barulah dapat disebut manusia bila ia berakhlak mulia. Tentu saja keiteria akhlak yang mereka buat sesuai dengan apa akhlak yang baik menurut mereka pada waktu itu. Manusia dapat disebut manusia bila ia memiliki akhlak mulia. Maka dapat saja muncul manusia (orang) yang setengah manusia dan setengahnya bukan manusia. Setengah yang bukan manusia itu biasanya hewan. Jadi dapat saja seseorang itu setengah adalah manusia dan setengahnya lagi adalah hewan. Atau dapat saja seseorang itu 12 jam menjadi manusia 12 jam sisanya ia hewan; atau mungkin saja seseorang itu tatkala di menjid, di rumah ia manusia, tatkala di pasar atau di proyek ia hewan. Orang seperti ini sebenarnya membingungkan, apa ia kita sebut manusia atau kita panggil hewan. Manusia kita sebut manusia bila orang itu 100% manusia. Nah, orang yang disebut manusia, yaitu orang yang 100% manusia, itu disyaratkan ia memiliki akhlak 100% akhlak yang mulia, yaitu akhlak yang wajar dimiliki oleh manusia. Dalam argumen pertama ini pendidikan akhlak itu perlu agar manusia itu menjadi manusia, agar manusia itu disebut manusia.
Argumen kedua menjelaskan bahwa pendidikan akhlak itu diperlukan untuk menjamin eksistensi manusia, tegasnya akhlak itu syarat utama untuk adanya manusia. Bila tidak ada akhlak maka manusia itu tidak ada.
Cobalah lihat bagaimana menghilangnya manusia pada zaman nabi Nuh. Karena mereka tidak berakhlak lagi maka mereka dihilangkan Tuhan (dalam arti fisik) dengan cara mengirim banjir yang menelan mereka itu; yang tertinggal hanya nabi Nuh dan beberapa gelintir manusia yang memilki akhlak. Cobalah lihat manusia pada zaman nabi Luth. Mereka ditelan perut bumi dan hilang dari muka bumi ini (secara fisik) disebabkan mereka telah sangat kurang ajar, mereka tidak memiliki akhlak yang baik. Tempat tinggal mereka dibalik oleh Tuhan dan mereka ditelan bumi. Mereka hilang. Cobalah lihat umat yang dipimpin Ratu Bilqis, lihatlah umat Fir’aun, lihatlah penduduk Imperium Yunani, dan lain-lain. Mereka hilang disebabkan mereka krisis akhlak. Sejarah menjelaskan tidak ada negara yang hilang karena kurang menguasai sain dan teknologi, tidak juga karena miskin, negara-negara hilang karena hilangnya akhlak dari penduduknya, terutama para pemimpinnya. Pada argumen kedua ini pendidikan akhlak diperlukan agar manusia itu tetap ada.
Argumen kedua ini dapat menghasilkan kesimpulan lain, seperti seseorang bila ingin ada ia harus berakhlak mulia; rumah tangga bila ingin ada dan tetap ada, penghuni rumah tangga itu harus berakhlak mulia, negara akan tetap ada (eksis) bila penduduk negara itu berakhlak mulia.
Berdasarkan dua argumen di atas dapatlah dipahami mengapa satu-satunya misi nabi Muhammad saw adalah menyempurnakan akhlak manusia. Tanpa diturunkan nabi Muhammad (dan nabi-nabi lain) manusia akan memiliki akhlak, tetapi belum sempurna. Akhlak sempurna itulah yang dapat menjamin manusia dapat disebut manusia dan dapat menjamin adanya manusia. Bila tidak ada akhlak mulia maka manusia itu tidak dapat disebut manusia dan manusia itu akan hilang atau dihilangkan, manusia akan tidak ada. Cobalah ambil pelajaran dari ilustrasi berikut.
Ada sebuah kompleks perumahan, di situ ada 100 rumah, berarti di situ ada 100 kepala keluarga dengan anggota keluarganya masing-masing. Keseratus keluarga itu semuanya memiliki akhlak karimah. Mereka disebut manusia dan mereka ada secara mapan. Entah mengapa, satu keluarga hilang akhlak karimahnya. Maka keluarga itu tidak disebut manusia. Buktinya, seringkali ada warga di sana mengatakan bahwa si bapak itu seperti binatang, isterinya seperti belut, anak-anaknya seperti anak monyet. Bukankah Anda sering mendengar langsung kata-kata seperti itu? Mungkin itu bukan sekedar kata-kata melainkan memang sebenrnya demikian. Ini pertama: mereka bukan lagi manusia. Lantas keluaga tadi, hilang juga posisinya sebagai warga di situ, warga di situ tinggal 99. Mengapa dikatakan demikian? Bila wagra kompleks itu musyawarah untuk suatu kebaikan, keluarga yang satu tadi itu tidak diikutsertakan. Itu kan sama saja dengan telah hilang. Mereka sekeluarga itu tidak lagi dihitung sebagai ada, sekalipun secara fisik keluarga itu tadi masih ada.
Nah, di sinilah letak pentingnya pendidikan akhlak itu diberikan kepada manusia, terutama di sekolah; pendidikan akhlak itu diberikan untuk menjamin manusia disebut manusia dan untuk menjamin manusia itu tetap ada baik secara fisik maupun secara non-fisik.

PANDANGAN ISLAM TENTANG GENDER

Oleh: Ahmad Tafsir

Tidak hanya orang yang berasal dari non Islam, tidak hanya orang Islam yang dangkal pengetahuannya tentang Islam, orang Islam yang khusus mempelajari Islam pada tingkat tinggi pun kadang-kadang gagal memahami ajaran Islam.

Mengapa? Persoalannya terletak pada kenyataan bahwa Islam itu adalah suatu sistem. Nah, bila orang memahami sesuatu aspek ajaran Islam dan tidak melihatnya dari sistem di mana aspek itu hanyalah salah satu komponen sistem itu, ia akan gagal memahami ajaran Islam tentang aspek itu. Lihatlah bagaimana silang sengketa pemahaman –misalnya- tentang pembagian waris, tentang pembatasan jumlah anak, tentang haji yang sunnat dikerjakan berkali-kali, tentang poligami, dan tentang gender. Melesetnya orang memahami ajaran Islam tentang gender antara lain disebabkan karena orang tersebut tidak meletakkan gender itu dalam Islam sebagai suatu komponen sistem, ia melihat gender itu sebagai suatu aspek ajaran Islam terpisah dari aspek ajaran Islam lainnya. Kasus-kasus seperti ini banyak sekali, mungkin pada semua aspek ajaran Islam.

Saya masih harus menambahkan penjelasan tentang konsep ini. Seseorang, bila hendak menilai ajaran Islam, ia harus menilai sistem Islam, ia harus menilai Islam sebagai sebuah sistem. Orang tidak boleh menilai Islam pada aspek tertentu saja. Secara akademis cara itu tidak dibenarkan. Saya berikan contoh. Laki-laki boleh poligami, perempuan tidak. Talak kira-kira 75% ada di tangan suami, pada tangan isteri hanya kira-kira 25%. Anak laki-laki mendapat bagian dua kali anak peempuan dalam pembagian waris. Nah, melihat ini lantas orang berkesimpulan, ajaran Islam tidak adil. Kesimpulan itu tidak sah.Tidak sah karena ada kesalahan pada segi epistemologi. Dari sudut pandang seperti itulah uraian tentang gender berikut ini dibuat.

Pertama, harus dikatakan bahwa gender hanyalah salah satu aspek kecil saja dalam ajaran Islam sebagai suatu sistem. Harus ditegaskan lagi bahwa pemahaman tentang gender harus terkait dengan pemahaman kita tentang sistem Islam itu.

Kedua, gender itu ada dalam ajaran Islam. Dengan kata lain, Islam memperhatikan gender. Islam memberikan perhatian yang cukup terhadap gender.

Ketiga, aturan Islam tentang gender sudah selesai. Apa-apa yang telah dirumuskan oleh para ulama tempo dulu masih relevan untuk zaman sekarang.

Keempat, kesan sementara orang ialah bahwa gender dalam Islam terlalu memihak laki-laki. Sampai-sampai ada joke yang mengatakan Islam itu agama laki-laki.

Kelima, ajaran Islam tentang gender, yang telah dirumuskan sampai hari ini, sudah tepat, sudah benar, sudah sesuai dengan sistem Islam. Kita tinggal mempelajari rumusan itu. Kita tidak perlu lagi merevisinya. Pada masa depan, jika terjadi perubahan kondisi luar biasa, mungkin kita harus merevisi rumusan-rumusan itu.

Berikut adalah beberapa rumusan tentang gender dalam ajaran Islam.

(1) Dalam ajaran Islam laki-laki dan perempuan itu berpasangan, bukan berhadapan. Rumusan ini merupakan yang terpenting dalam hal gender. Rumusan ini menurunkan konsekwensi-konsekwensi yang besar. Rumusan inilah yang menurunkan rumusan lain yang mengatakan bahwa dalam Islam tidak ada permasalahan lagi tentang gender. Di Barat timbul banyak masalah tentang gender antara lain disebabkan di Barat laki-laki dan perempuan itu dianggap berhadapan.

(2) Perubahan situasi menyebabkan perubahan rumusan. Situasi sekarang memungkinkan perempuan (isteri) bekerja di luar rumah. Timbul masalah di mana perempuan dikatakan “merebut” pekerjaan laki-laki. Gender Islam merumuskan bahwa perempuan boleh saja melakukan pekerjaan di luar rumah asal saja atribut muslimahnya tidak hilang. Situasi sekarang ditandai juga oleh adanya persaingan. Gender Islam merumuskan bahwa perempuan boleh saja melakukan pekerjaan apa saja asal mampu mengerjakannya –sekurang-kurangnya- sebaik laki-laki.

(3) Keadilan merupakan salah satu prinsip dalam Islam. Karena sifat biologis dan psikologisnya, maka gaji pekerja perempuan boleh jadi lebih kecil dari pada gaji yang diterima oleh pekerja laki-laki. Itu dapat dibuktikan pada produk perpotong yang dihasilkan mereka. Karena sifat biologis dan psikologisnya boleh jadi ada pekerjaan yang tidak mungkin dilakukan oleh perempuan atau pekerjaan itu pasti akan lebih baik bila dikerjakan oleh laki-laki. Itu adil. Karena prinsip keadilan itu juga dapat terjadi sebaliknya yaitu dalam berbagai hal gaji pekerja laki-laki lebih kecil dan mungkin ada jenis pekerjaan yang tidak mungkin dikerjakan oleh laki-laki atau pekerjaan itu pasti lebih baik hasilnya bila dilakukan oleh perempuan.

(4) Zina diharamkan dalam ajaran Islam, ia merupakan salah satu dosa besar. Dalam kerangka inilah orang harus melihat ajaran Islam tentang pakaian perempuan muslim. Umumnya orang melihat masalah ini dari sudut perempuan saja, sehingga timbul issue yang mengatakan bahwa ajaran Islam tentang pakaian perempuan mempersulit perempuan muslim.

M U T U G U R U

Oleh: A. Tafsir


Sampai saat ini pendidikan masih dipercaya sebagai faktor sangat penting -kalau bukan satu-satunya- dalam menentukan kemajuan sesuatu bangsa. Baik buruknya, maju mundurnya, suatu bangsa, sangat ditentukan oleh mutu pendidikan bangsa itu; teori ini masih berlaku sampai saat ini. Terpuruknya bangsa kita sekarang dapat dipastikan disebabkan antara lain -kalau bukan satu-satunya- oleh kurang baiknya mutu pendidikan kita. Jadi, berbicara tentang pendidikan sebenarnya berbicara tentang mutu negara. Untuk mengetahui apa kekurangan pendidikan kita, tentu bukan pekerjaan gampang.
Apa pendidikan yang kita maksud? Pendidikan itu luas sekali; ada ahli pendidikan yang mengatakan bahwa pendidikan itu ialah kehidupan itu. Para ahli mengelompokkan pendidikan itu antar lain menurut sifatnya; dari sudut ini pendidikan dibagi menjadi pendikan informal, nonformal, dan pendidikan formal. Pendidikan formal ialah sekolah. Dalam tulisan ini pendidikan sekolah itulah yang dibahas.
Jika pernyataan di atas tadi kita sederhanakan, maka pernyataannya ialah: baik buruknya negara akan sangat ditentukan oleh baik buruknya mutu sekolah. Jika pernyataan ini didramatisasi maka: satu-satunya yang menentukan mutu sesuatu negara ialah mutu sekolah yang ada di negara itu. Pernyataan terakhir ini bukanlah rumusan yang dibuat sambil bersiul.
Berdasarkan rumusan ini maka untuk memperbaiki negara ini perbaikilah sekolahnya. Bagaimana memperbaiki mutu sekolah?
Bila hendak memperbaiki mutu sekolah perbaikilah sekurang-kurangnya hal-hal berikut:
  1. Rumusan tujuan pendidikan sekolah, misalnya tujuan pendidikan SD, tujuan pendidikan MI, tujuan pendidikan SMA, dan seterusnya. Rumusan itu harus berisi kompetensi yang hatus dimiliki lulusan. Rumusan itu dipahami oleh semua stake-holder.
  2. Kurikulum sekolah itu; yaitu program pendidikan yang diperkirakan dapat mencapai tujuan tadi, itu akan terbagi dua, yaitu kurikulum berupa mata pelajaran (teori-teori) dan kedua kurikulum non-mata pelajaran. Kurikulum non mata pelajaran inilah yang selama ini kurang diperhatikan; ini bukan kurikulum tersembunyi (hidden curriculum).
  3. Peralatan sekolah; ini mencakup hal yang sangat luas baik soft-ware maupun hard ware. Jika kita perhatikan sekolah-sekolah kita sekarang peralatan lunaklah yang sangat kurang.
  4. Guru dan staff sekolah. Mereka harus memiliki kompetensi tinggi dalam bidangnya masing-masng.
  5. Proses pendidikan, baik proses pengajaran maupun proses pendidikan non pengajaran. Proses itu harus selalu diarahkan untuk mencapai penguasaan kompetensi lulusan.
  6. Manajemen sekolah; di sini diperlukan kepala sekolah yang memiliki managerial skill.
  7. Keterlibatan orang ua dan masyarakat; dalam pendidikan keterlibatan ini sangat penting. Yang dimaksud dengan masyarakat di sini ialah seluruh stake-holder sekolah.
  8. Penilaian diri; ini sangat penting, dan penilaian diri itu sebaiknya berstandar internasional. Ada baiknya setiap sekolah memliki badan penjamin muitu yang sifatnya independen.
Uraian berikut hanya tentang guru, yaitu sedikit pembahasan tentang cara meningkatkan mutu guru.
Banyak ahli berpendapat bahwa mutu sekolah sangat ditentukan oleh mutu guru. Pendapat ini benar. Pendapat inilah antara lain yang melatarbelakngi muncul undang-undang guru dan dosen di kita; dari UU ini muncul kebijakan uji kompetensi bagi para guru dan dosen.
Bagaimana cara meningkatkan mutu guru? Pemerintah menegaskan mutu guru Indonesia akan tinggi bila ditingkatkan empat kompetensinya, yaitu kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Untuk meningkatkan mutu guru dalam empat kompetensi ini tentulah diperlukan uraian yang luas. (1) Bagaimana meningkatkan kompetensi profesioanl guru? (2) Bagaimana meningkatkan kompetensi pedagogik guru? (3) Bagaimana meningkatkan kompetensi kepribadian guru? (4) Bagaimana meningkatkan kompetensi sosial guru?
Salah satu cara yang strategis dalam usaha meningkatkan kompetensi guru ialah -mungkin uraian ini berguna bagi menteri pendidikan- menyesuaikan kurikulum pendidikan guru sehingga mencakupi empat kompetensi itu. Saya kira sudah waktunya fakultas Tarbiyah dan fakultas lain yang menyiapkan guru mereview kurikulumnya berdasarkan empat kompetensi ini. Nanti dalam kurikulum LPTK itu akan kelihatan: (1) Kelompok kurikulum untuk mencapai kompetensi profesional, (2) Kelompok kurikulum untuk mencapai kompetensi pedagogik, (3) Kelompok kurikulum untuk mencapai kompetensi kepribadian, dan (4) Kelompok kurikulum untuk mencapai kompetensi sosial.
Bila kurikulum LPTK ingin menggunakan empat kompetensi ini sebagai dasar orientasi review kurikulum maka oreintasi lama memang harus ditinggalkan. Kita mengenal ada pembagian: (1) Mata kuliah umum (MKU); (2) Ada mata kuliah dasar umum (MKDU); (3) Ada mata kuliah dasar keahlian (MKDK); dan (4) Ada mata kuliah keahlian (MKK) yang disebut juga mata kuliah jurusan. Pernah pula kita mengenal (di Indonesia) pembagian (1) Kelompok mata kuliah pokok, (2) Kelompok mata kuliah penunjang, dan (3) Kelompok mata kuliah pilihan.
Pembagian ini tidak salah, tetapi agak bertele-tele bila yang ingin dihasilkan ialah guru yang memiliki kompetensi tinggi dalam empat kompetensi itu sebagai guru. Agaknya pembagian kelompok berikut patut dipertimbangkan:
  1. Kelompok program untuk kompetensi profesional; ialah kelompok mata kuliah dan program non mata kuliah yang akan memperkuat kompetensi profesional calon guru. Ini berupa pengajaran ilmu (teori-teori) dan program non mata pelajaran (non teori) yang diberikan agar calon guru itu betul-betul menguasai mata kuliah atau bidang pekerjaan yang akan diampunya kelak tatkala ia menjadi guru. Jika menyiapkan guru agama Islam (GAI) maka mata-mata pelajaran (mata kuliah tentang agama Islam) lah yang diberikan dan program non mata pelajaran tetapi berdaya mematangkan pengetahuan tentang agama Islam. Perlu dicatat bahwa program keilmuan yang diberikan itu haruslah berorientasi pada sillabus ilmu (dan atau kegiatan) yang ada di sekolah tempat calon guru itu mengajar kelaknya.
  2. Kelompok program untuk kompetensi pedagogik. Ini berupa sillabus yang menyiapkan calon guru untuk mampu menjadi pendidik. Minimal ia disiapkan supaya dapat menjadi teladan muridnya, dan ia mampu melaksanakan proses pengajaran (PBM) sebaik-baiknya. Sekarang, kelihatannya kompetensi ini terlalu fokus kepada penguasan teori dan keterampilan mengajar (PBM); fokus itu boleh saja tetapi tidak hanya itu.
  3. Kelompok program untuk penguasaan kompetensi kepribadian. Bagian ini tidak mudah merancangnya. Apa mata pelajaran yang diberikan kepada mahasiswa agar ia memiliki kepribadian guru? Kepribadian guru itu terumuskan dalam kalimat “Guru ditiru dan digugu.” Mata kuliah apa yang harus diberikan? Yang terpenting bukanlah mata kuliah apa, yang terpenting ialah ada pemikiran dalam merancang kurikulum bahwa bagian ini harus ada programnya; soal apa programnya itu hal kedua. Mengapa hal ini perlu diingatkan? Karena selama ini kepribadian guru memang tidak menjadi perhatian LPTK, karena itu tidak ada program yang jelas itu mencapai itu. Kelompok ini dapat saja disatukan dengan kelompok kedua.
  4. Kelompok program untuk kompetensi sosial. Inipun sulit merencanakannya. Yang dimaksud dengan kompetensi sosial ialah kemampuan berhubungan dengan orang lain, yaitu dengan kepala sekolah, dengan teman sejawat, dengan orang tua murid, dan dengan mara murid. Itu saja dulu. Seringkali hal ini dianggap spele, karena itu tidak diprogramkan oleh desainer kurikulum. Padahal seringkali kesalahpahaman terjadi antara guru dengan kepala sekolah, guru dengan otrang tua murid, guru dengan murid. Kesalahpahaman itu kadangkala menjadi penyebab persoalan yang kelaknya berkembang menjadi persoalan serius. Kelompok ini pun dapat disatukan dengan kelompok kedua.
Jadi pengelompokan itu cukup dua saja, yaitu (1) Kelompok program profesional, dan (2) Kelompok prtogram pedagogik.